Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Fauzie, Pembohong Atau Tumbal ?

Achmad Fauzie Saleh Hasan diseret ke pengadilan dengan tuduhan membobolkan American Express Bank lewat bank draft senilai us$ 250 ribu. Fauzie mengaku dijadikan tumbal. 5 komplotan lain diperiksa.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACHMAD Fauzie Saleh Hasan, 40 tahun, yang Kamis pekan lalu diseret ke pengadilan dengan tuduhan membobolkan American Express (Amex) Bank lewat bank draft senilai US$ 250 ribu ternyata hanya mengaku sebagai tumbal dalam perkara itu. Sebab, katanya, dari lima tersangka, yang disimpulkan Mabes Polri sebagai pelaku kejahatan bank itu, kini hanya dia sendiri yang diadili. Kelima orang itu, menurut Fauzie di hadapan majelis hakim yang diketuai I Gde Sudharta, adalah Robert L. Soerber seorang warga negara Amerika Serikat Rustandi, Imam Soesatyo, Yoso Dihardjo serta Sulaeman. Tapi Rustandi, Imam, dan Sulaeman tak pernah diperiksa selaku tersangka. Bahkan Soerber, yang pernah diperiksa Polri, belakangan dibiarkan pulang kembali ke negerinya. "Jelas ada kesengajaan penyidik dan penuntut umum untuk mengorbankan Fauzie sebagai terdakwa tunggal," ujar pengacara Fauzie, O.C. Kaligis. Kejahatan yang dilakukan Fauzie bersama komplotannya membobolkan Amex Bank Juli 1986, menurut jaksa, terhitung rapi. Dalam dakwaan Jaksa M. Daud, ia bersama komplotannya berhasil memalsukan bank draft senilai US$ 250 ribu dan US$ 425 ribu. "Bank draft tersebut dibuat seolah-olah terjadi pembayaran transaksi barang antara Soerber dan Fauzie, yang sebenarnya tak pernah ada (fiktif)," kata Jaksa M. Daud. Bank draft Fauzie itu seakan-akan dikeluarkan Asia Pacific Marchion (APM) Bank Ltd. di Vanuatu, Pasifik Selatan, dengan tujuan Pittsburgh National Bank di Philadelphia, USA. Kertas berharga itu oleh komplotan tadi dicairkan melalui Amex Jakarta dan New York, dan kemudian ditransfer ke rekening Fauzie di Bank Rama. Belakangan Amex New York mengetahui, tak ada dana APM di Amex, dan ternyata kertas berharga tersebut palsu. Tapi sudah telanjur. Hasil pencairan bank draft itu, sekitar Rp 281 juta, masuk ke kantung Fauzie -- Rp 110 juta diberikannya kepada Yoso. Menurut Fauzie, Soerber memberikan bank draft itu sebagai persekot dari rencana jual-beli izin pengelolaan sebuah bank swasta di Jakarta. Fauzie mewakili para pemegang saham bank itu sementara Soerber selaku pembeli. "Kalau bank draft itu ada dananya, transaksi bisa dilanjutkan. Kalau tidak, saya akan minta pertanggungjawaban Soerber," ujar Fauzie. Bahwa bank draft itu palsu, sambung Fauzie, sama sekali tidak diketahuinya. Ia juga menyatakan tak tahu siapa yang mengurus pencairan bank draft itu dan memindahkan ke rekeningnya. "Justru saya datang ke Mabes Polri untuk memperoleh penjelasan soal bank draft itu, eh, malah ditahan," tutur Fauzie. Tapi Jaksa M. Daud membantah menjadikan Fauzie sebagai tumbal perkara itu. "Mereka melakukan pembobolan itu bersama-sama, dan akan diadili secara terpisah," kata Daud. Artinya, tak ada istilah pelaku utama ataupun pembantu. Bahwa Fauzie berdalih "bersih", "Lihat saja nanti pembuktian di persidangan," ucap Daud. Kadispen Mabes Polri, Brigjen. Pol. T. Guntar Simanjuntak, juga membantah menjadikan Fauzie sebagai tumbal. "Itu fitnah," kata Guntar. Menurut Guntar, kelima orang komplotan Fauzie itu akan diajukan sebagai terdakwa. Fauzie diadili lebih dulu, karena bukti materiil perkaranya, sekarang ini, lebih kuat ketimbang tersangka lain. Hanya saja, Guntar membenarkan bahwa sampai kini baru Yoso yang diketahui alamatnya -- karena sedang sakit ginjal. Sementara itu, tersangka lainnya melarikan diri. Rustandi, misalnya, diperkirakan berada di Hong Kong. Sementara Soerber, yang terpaksa dilepaskan polisi karena Fauzie ketika itu belum tertangkap, kini entah di mana. Presiden Direktur Bank Rama, Soeroso Patmodihardjo, malah menuduh Robert L. Soerber dan Fauzie sama saja penipu. Semua keterangan yang diberikan kedua orang itu kepadanya, kata Soeroso, setelah dicek ternyata omong kosong. "Fauzie itu berani mengaku diberi kuasa untuk menjual Bank Umum Nasional. Itu 'kan penghinaan terhadap BUN," kata Soeroso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus