VIDYA baru terdaftar di Taman Kanak-Kanak Buaran Baru, Jakarta. Ketika seorang pamannya bertandang ke rumahnya, sang bocah mencoba menunjukkan kebolehannya menyanyi. Sambil berlenggok, ia mendendang, "Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku." Itulah sepotong lagu Hati yang Luka hasil kerja Obbie Mesakh, yang kemudian dinyanyikan Betharia Sonatha. Vidya tak sendiri, memang. Banyak anak sebaya dia, di pelbagai pelosok yang berbahasa Indonesia dan dijangkau TVRI, akan menyanyikan lagu itu. Lagu dengan tema keretakan rumah tangga itu seperti dihafal di luar kepala, melebihi pelajaran di sekolah. Larik lagu itu mau tahu selengkapnya, Ayah-ayah dan Ibu-ibu? Berulang kali aku mencoba/ S'lalu untuk mengalah/Demi keutuhan kita berdua/ Walau kadang sakit/Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu/ Sering kau lakukan bila kau marah, menutupi salahmu/Samakah aku, bagai burung di sana, yang dijual orang/ Hingga sesukamu kau lakukan itu . . ./ Kalaulah memang kita berpisah, itu bukan suratan/Mungkin ini lebih baik, agar kau puas membagi cinta/Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku, . . ./ Dulu segenggam emas kau pinang aku/ Dulu bersumpah janji di depan saksi, hu ow, hu woo/Namun semua hilanglah sudah ditelan dusta hu wow, hu wow/ Namun semua tinggal cerita hati yang luka. Bukan mustahil anak-anak itu cepat menghafalnya. Mereka di antara golongan penonton paling setia menyimak TV. Sekurangnya lebih dari setengah tahun terakhir ini, Hati yang Luka digenjot terus untuk tampil di TVRI, melalui pelbagai acara. Dari Aneka Ria Safari, Selekta Pop, Kamera Ria, sampai Top Pop. Sepanjang menyusur ke dalam telinga pendengar, bahkan yang menyanyikan lagu itu tak melulu oleh penyanyi aslinya, Betharia Sonatha. Lewat tenggorok penyanyi lain, Hati yang Luka terus melengking berhu-wow-hu-woow dalam banyak versi. Selain sudah dikroncongkan, juga muncul versi Inggris. Lariknya diterjemahkan oleh Tya Adhitama, putri sulung Toeti Adhitama, penyiar Dunia dalam Berita TVRI dan pemimpin redaksi majalah Eksekutif. Dalam rekaman kasetnya yang dinyanyikan Dianne Karran, dengan musik Adie M.S., pada kalimat "pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku" itu diterjemahkan ke bahasa Inggris menurut kebiasaan di masyarakat sana, leave me on my own. Karena lagu itu sukses, Obbie Mesakh mendapat bonus Rp 75 juta dari perekamnya, Musica Studio. Betharia juga turut disiram rezeki tambahan. Tapi dia tak mau menyebut detailnya. Orang hanya tahu ia memiliki mobil Corolla terbaru. Ia hanya mengaku, dari 15 album sudah yang dinyanyikannya, setelah mengarungi pasar, ada empat kaset yang menuangkan rezeki melimpah ke kantungnya. Yakni Kau Tercipta Untukku (ciptaan Rinto Harahap), Aku Tak Ingin Sandiwara (Rinto Harahap), Hati Seorang Wanita (Pompi), dan Hati yang Luka. "Yang terakhir adalah the best, " kata Betharia. Maksud the best, ya, yang terbanyak memproduksi duit. Sebagai komoditi yang mengundang berganda rezeki, Hati yang Luka tak berhenti di situ saja. Lahir pula lagu jawabannya. Judulnya Penyesalan, yang didendang si penciptanya sendiri, Obbie. Ia bersedih pisah dengan istrinya. Lalu dijawab kembali oleh Betharia, dalam Tiada Duka Lagi. Mereka setuju berdamai dan rujuk. Lain Broery Pesolima. Ia menyanyikan jawaban versi tersendiri melalui Hati yang Dusta. Di sini dia menyilakan tokoh istri boleh hengkang meninggalkan rumah tangga. Bahasa lugas: diusir. Edan. Masih mengekor dan mencoba mengais kerak rezeki yang tercecer di belakang "luka-luka" itu bermunculan pula sejumput lagu bertema senada dari para epigon. Umpama, Pulangkan Saja (lis Sugiarti), Jangan Tangan yang Bicara (Ratih Purwasih), dan Aku tak Mau Dimadu (Nia Daniati). Yang paling belakang mendapat jawaban pula dari musisi semacam Deddy Dores, melalui Siapa Bilang Kau Dimadu. Siapa yang termasuk golongan setia sebagai konsumen produk hiburan TVRI. maka tak sulit membayangkan: media audio-visual milik pemerintah itu bagai abdi penyebaran lagu yang kebanyakan berirama merengek begitu. Belum lagi sejumlah nomor lain dari golongan pop sejenis. Tibalah klimaksnya. Dalam sambutannya untuk ulang tahun TVRI ke-26 pekan silam, Menteri Penerangan Harmoko mengimbau agar lagu kerupuk dan cengeng itu disetop penayangannya. Sebab, tidak sesuai dengan semangat bangsa yang sedang membangun. Ia mengingatkan, semangat kerja tidak tumbuh jika mata acara TVRI banyak diwarnai ratapan, keputusasaan, dan keretakan rumah tangga. "Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, sulit mengajak orang untuk bekerja keras," katanya. Harmoko memang tak menuding langsung lagu-lagu mana saja harus diganyang dari layar TV. Tapi seorang penyiar TVRI, dalam acara ulasannya Ahad kemarin, menyebutkan lagu dimaksud antara lain Hati yang Luka. Lalu, ada 12 lagu lain yang ditabukan TVRI -- kisah soal cerai berai rumah tangga itu termasuk di dalamnya. Demikian tutur Kepala Seksi Berita TVRI J.B. Wahyudi kepada wartawan TEMPO, Bambang H.S. Bagi TVRI, kebijaksanaan itu harus ditebus. Menurut Direktur TVRI Ishadi, "Konsekuensinya kita harus menghadapi kemungkinan berkurangnya dana yang masuk." Apalagi kalau bicara menyangkut kepentmgan, dan penuk nasi, selera, nama, sampai keterampilan menyusun kisah. Sembari mencari ialan untuk menerjemahkan imbauan Harmoko itu, tanggapan juga tak kurang. "Lagu cengeng? Definisinya apa?" begitu tanya Titiek Hamzah, 39 tahun. Penulis lagu dan penyanyi ini bahkan rada masygul demi mendengar banyak istilah yang tak tepat untuk menilai lagu-lagu pop Indonesia itu. Berbeda dengan Titiek Puspa, 52 tahun. Ia melihat perkara ini lebih tenang. Musik yang sekarang lagi membanjir di pasar itu, katanya, seperti mode saja. Warnanya itu didominasi oleh syair yang isinya cenderung mengecilkan arti wanita. "Seolah wanita tidak memiliki kepribadian. Lagunya manis dan meninabobokkan. Dan karena jenis dagangan ini seperti mode, nanti akan hilang sendiri," ujar Titiek Puspa. Yudhi Kristianto, bos J.K. Record, perusahaan kaset yang telah melahirkan 60 album -- mayoritas lagu sentimentil menganggap imbauan Menteri Harmoko itu terburu-buru. Seyogyanya, katanya, jabarannya dibuat secara kongkret. Juga ada penelitian. "Tapi saya sangat setuju kalau lirik yang nadanya tak mendidik tidak ditayangkan di TV. Selain itu, beri pula kategori yang jelas, lagu-lagu cengeng itu seperti apa," ujar Yudhi lagi. Bahkan kalau cuma dikaitkan ke Hati yang Luka, pengarang lagu Harry Angoman, yang karyanya menang pada Festival Lagu Produksi Dalam Negeri, mengakui ada kelatahan para pengekor atas suatu lagu yang laris di pasar. Dan lagu Obbie Mesakh itu malah terlalu sering keluar di TV. Ada apa sebenarnya? Obbie Mesakh, 28 tahun, tidak menjawab "ada apa" di balik sering lagunya itu berkumandang di TVRI. la hanya keberatan ciptaannya" itu dicap cengeng. "Lagu-lagu itu sentimentil, bukan cengeng," katanya pada Eddy Roesdiono, wartawan TEMPO di Surabaya. Karena semua itu masih imbauan, ia akan tetap memproduksi karya-karya semacam itu. "Kecuali kalau ada undang-undang yang melarangnya, saya baru berhenti dan menyesuaikan diri," ujar Obbie lagi. "Sekarang, lagu saya untuk konsumsi hiburan, bukan memotivasi pembangunan. Antara motivasi pembangunan dan hiburan harus diberi batas yang tegas." Betharia Sonatha malah pasrah saja. "Kalau menurut pemimpin pelarangan itu baik dan masyarakat menganggap juga demikian, saya nggak apa-apa kok. Saya 'kan sekadar membawakannya, walau sebenarnya lagu yang cengeng itu yang bagaimana? Saya nggak ngerti, sih," katanya. Agaknya bukan kecengengannya saja dipersoalkan. Justru suasana mandek yang tergambar dari lagu-lagu itu yang melukiskan berpikiran cekak, buntu menghadapi nasib, tak lagi kreatif. Yang ada hanya mengutak-atik irama dan cengkok yang sedang laris -- entah menjiplak lagu impor atau produk lokal. Lariknya selain bersumber dari ketakutan akibat cinta, keretakan rumah tangga, atau lantaran terjepit persoalan ekonomi, tetapi cara menyanyikannya pun sama saja mengkaing-kaing rintihannya. Kemandekan itu bahkan beralih "digemari" banyak orang, tak peduli bentuknya baru atau sudah usang. Contoh Patah Hati, karya Rachmat Kartolo yang dinyanyikannya sendiri. Populer pada 1963, lalu diganyang Bung Karno pada 1964 karena "menyuarakan kelembekan", pada 1984 dikibarkan lagi setelah diproduksi J.K. Record. Kaset itu membanjiri pasar, konon sampai satu juta, dan menghasilkan bonus sebuah Jimny buat Rachmat. Padahal, seperti kata Titiek Puspa, lariknya pesimistis, "Seperti tidak punya masa depan." Makjang, yang meringkih-ringkih begitu itu dipertahankan pula oleh Rinto Harahap. Ia telah menghasilkan 300-an lagu. Rinto, 39 tahun, malah mengharapkan agar lagu-lagu ciptaannya yang selalu diliputi rintihan cinta tetap bisa ditayangkan di TVRI. "Yang perlu kita jaga adalah frekuensinya. Kalau terlalu sering memang jenuh. Dan Jangan disalahkan penciptanya, jangan penyanyinya. Tapi TVRI yang menayangkannya," ujar Ketua Asiri itu. Tapi ia tidak menutupi kekesalannya apalagi jika TVRI jadi mengharamkan lagu-lagu cengeng. "Kalau alasan memang untuk menyetopnya karena dianggap berselera rendah dan merendahkan akhlak bangsa itu sangat kontras dengan apa yang terjadi," katanya. Ia mengambil contoh lagu dangdut Gubug Derita, yang berlirik tentang penderitaan. "Mendengar lagu itu, orang-orang malah tak ada yang menangis, tapi berjoget. "Rinto taat pada kredonya: lagu dilahirkan bukan seperti ilmu pengetahuan untuk diterapkan, tapi sebagai hiburan. Hiburan? Warna musik pop di sini layak dipertanyakan kembali. Dan bukan saja kepada Ebiet G. Adc yang mencari jawab hanya sebatas, rumput bergoyang. Sebab, dia juga cuma mampu menyemarakkan belantara musik pop dengan ber-Camelia satu saja. Camelia selebihnya: gagal dalam mutu. Selanjutnya sampai yang terakhir, Menjaring Matahari, membuktikan napasnya yang pendek. Kemudian Ebiet berselimut dalam istilahnya sendiri yang bertepuk dada: "penyair yang bernyanyi". Kenapa tidak ada lagi sodokan seperti Koes Bersaudara? Pada awal 1960-an, ketika khalayak terlena pada penyerahan nasib yang merana model Patah Hati-nya Rachmat Kartolo, kelompok anak-anak Koeswoyo itu justru maju dengan larik-larik yang lebih lugas dan sederhana -- padahal dalam desah lidah mereka tetap ada suara cinta, keindahan alam, dan seterusnya. Ingat saja pada Pagi yang Indah Sekali hingga Senja yang laris itu. Pada zaman itu, berpisah dengan pacar, bagi Tony Koeswoyo, tidak berhhhwoow-hhhwoow memelas. Dalam Hilang tak Berkesan antara lain dia berlarik, Kuingin berlari sendiri ke depan/kutinggal kasihku berdiri sendiri/ Aku berlari cepat sekali/kucoba lupakan semua .... " Mohamad Cholid, Sri Indrayati, Tri Budianto S., Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini