Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Semudah nikah semudah bercerai

Disertasi henry lee a weng, lektor kepala fh-usu membahas masalah perkawinan wni cina. mereka lebih senang nikah di kelenteng, karena gampang ketimbang di kantor catatan sipil yang prosesnya ruwet. (hk)

29 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANJI berjanji dalam pernikahan terasa sekadar formalitas. Adalah suatu dasar hukum pengikatan, mestinya. Kejelian Henry Lee A Weng melihat masalah ini menhasilkan gelar doktor di USU, Medan, awal bulan ini. Terhadap hukum Islam, misalnya, A Weng, 55, yang lulus FH USU tahun 1962 itu, mempertanyakan esensi taklik talak dalam akad nikah. "Kenapa calon istri tidak pernah dihadirkan ketika calon suami mengucapkannya di hadapan para saksi? Sedangkan janji yang diucapkan calon suami itu 'kan ditujukan kepada calon istri," katanya di hadapan tujuh orang penguji, termasuk Rektor USU, Prof. Dr. Adiputra Parlindungan, yang menjadi ketua tim penguji. Masalah lalu berkembang pada tradisi WNI bermata sipit yang cenderung mengabaikan Kantor Catatan Sipil baik yang diperintahkan UU Perkawinan No. 1/1974 maupun hukum perdata sebelumnya (BW). Mereka merasa cukup menikah di kelenteng. A Weng, yang telah dituakan menjadi pengetua adat Tionghoa di Medan itu, tidak membantah kenyataan demikian. Menurut dia, itu bukannya tidak berdalih. "Kawin melalui Catatan Sipil, jika terjadi perceraian, proses hukumnya sering berlarut-larut," jawabnya. Memang, proses perceraian bisa menjadi cerita panjang kalau persoalan harta, misalnya, harus diselesaikan di pengadilan. Padahal, tidak selalu persoalan segera beres demikian keputusan itu berkekuatan hukum tetap. Malah, dalam proses hukum yang berbelit itu, menurut A. Weng, terbuka kesempatan "pengompasan" oleh aparat penegak hukum yang mengurus sengketa itu. Artinya, beban yang harus ditanggung pasangan yang ingin cerai itu menjadi lebih terasa berat. Kecenderungan golongan yang merasa cukup sah menikah di kelenteng ini lalu bercerai lewat iklan di koran. Mudah, murah, dan cepat. A Yen, 38, yang kisahnya ditemukan sedang dalam persidangan Pengadilan Negeri Medan, misalnya, menikah di kelenteng saja dengan Hartono Limanjaya. Suaminya, yang memberinya tiga anak, dicerai dengan cara memasang iklan di sebuah koran harian di Medan. Alasannya? Tidak ada kesesuaian paham. "Cukup lewat koran. Menurut adat istiadat kami, itu sah," katanya. A Yen, yang berprofesi sebagai sinse atau dukun dewa, lalu melangsungkan pernikahan dengan Ationg Wijaya -- juga di kelenteng -- yang sebenarnya sudah mempunyai istri dan anak. Sejak hamil 6 bulan, A Yen merasa tak dipedulikan suaminya. Sesudah melahirkan A Yen, yang langsing, ayu, dan kelihatan muda itu, menggaet adik iparnya, Kingma Wijaya, 30, yang memang sering datang sejak ia ditinggalkan Ationg. "Entah mengapa dia mencintai saya. Saya menerima dengan terbuka, tentu. Saya kira tidak salah," kata A Yen kepada Amir S. Torong dari TEMPO. Tapi, belakangan, A Yen disidangkan berdasarkan gugatan Kingma Wijaya, yang merasa dicemarkan nama baiknya karena diakui suami oleh A Yen. Terlebih diberitakan di sebuah koran mingguan terbitan Jakarta, awal Mei lalu bahwa ia pergi tanpa pesan, meninggalkan istri dan anak. Kingma Wijaya, mahasiswa fakultas kedokteran itu, menggugat Rp 10 juta. Tapi A Yen menggugat balik Rp 9,7 juta, untuk biaya membesarkan anak hasil hubungan mereka sampai usia 19 tahun nanti. Mudah kawin dan mudah cerai seperti inilah yang disayangkan A Weng, doktor ketujuh yang dihasilkan USU Medan selama 8 tahun terakhir ini. "Jika kawin di muka petugas pencatatan sipil, seperti diatur pasal 29 UU No. 1/1974 sebelumnya pasal 100 BW -- sebenarnya sangat aman," kata Tionghoa kelahiran Sipare-pare, Kabupaten Asahan, yang rajin ke kelenteng ini. Aman, karena pernikahannya menjadi sah. Anak yang terlahir pun dilindungi hukum. Dan, menurut A Weng, dengan melalui pencatatan itu, pihak wanita, misalnya, dalam perjanjian bisa minta agar suami tidak kawin lagi. "Tentu si istri tidak akan dimadu suaminya. Aman, 'kan?" katanya. Disertasi Some Legal Aspects of Marriage Contract dari penelitian di kodya dan kabupaten se-Sumatera Utara menghasilkan pujian sangat memuaskan bagi Henry, Lektor Kepala di Fakultas Hukum USU itu. Tak kurang dari Ketua Pengadilan Tinggi Islam dan Kanwil Departemen Agama Sumatera Utara yang hadir di Gedung Gelanggang Mahasiswa itu menciumi A Weng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus