Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROESLAN ABDULGANI, 75 tahun, Menteri Luar Negeri RI 1956-1957. SAYA kira munculnya reaksi sekelompok orang di sini pada masalah Irak adalah akibat kurangnya pengetahuan mendasar tentang situasi politik internasional. Sebab, kalau dianalisa, apa yang dilakukan Saddam Hussein adalah realisasi dari cita-cita Partai Baath mewujudkan Pan Arabisme (menyatukan rumpun Arab), yakni Arab Saudi, Maroko, dan Yaman. Landasan dari cita-cita itu adalah sosialisme. Sosialisme dijalankan berdasarkan ajaran-ajaran Islam dan budaya Arab. Nah, alat untuk mewujudkannya adalah pendidikan militer. Dan mereka sangat anti terhadap campur tangan Barat dan feodalisme. Pada 1980, ketika pecah Perang Irak-Iran, Irak dibantu Amerika. Sebab, di mata AS, Ayatullah Khomeini lebih berbahaya daripada Irak. Mereka takut Iran akan meniupkan revolusi Islam di mana-mana. PBB membiarkan perang terus berlangsung, dengan harapan kedua negara akan capek sendiri, lalu berhenti perang. Tapi keadaan ternyata makin panas. Pada 1987-1988 PBB baru turun tangan. Nah, tapi di sini Amerika salah menilai Irak. Disangkanya Irak lemah. Padahal, tidak. Dengan penduduk 17,5 juta ditambah 1 juta tentara, Irak membuktikannya dengan mencaplok Kuwait, negara yang sudah lama diincarnya. Apa yang dilakukan Irak itu pun tak lepas dari tujuan minyak. Selama ini, seperti kita ketahui, harga minyak turun terus. Ini memang permainan para emir di negara-negara Arab. Mereka punya investasi besar di Amerika. Kalau harga minyak tinggi, bisa-bisa investasinya diutak-utik. Sebaliknya, jangan dikira kehadiran Amerika di Arab untuk melindungi negara itu. Amerika juga punya investasi besar, berupa ladang-ladang minyak, di sana, yang sudah tentu harus dilindungi. Karena Irak kejepit akibat blokade dan embargo, ia menggunakan sentimen Islam, dengan mengatakan Amerika (Bush) sebagai orang kafir. Di negara Arab, seperti Yordania, Palestina, dan Mesir, kalau orang bicara Amerika, pasti benci. Mereka tidak lagi melihat apakah yang dilakukan Irak betul atau tidak. Sebetulnya, kemarahan itu tidak semata-mata ditujukan pada negara superkuat tersebut, tetapi lebih pada dukungan Amerika pada Israel. Israel kan sudah mengebomi dan menduduki sebagian wilayah Arab. Jadi, dalam keadaan demikian, umat Islam di Indonesia mesti menyadari apa yang terjadi. Jangan terburu-buru mengambil sikap. Ini bukan berarti kita tidak punya pendirian. Sebab, Irak mencaplok Kuwait juga tidak kita setujui. Tapi kehadiran AS di Arab Saudi juga tidak bisa ditolerir. Orang Indonesia suka salah pengertian, menyamakan negara Arab dengan Islam. Yang perang itu kan negara Arab, bukan Islamnya. DR. AMIEN RAIS, M.A., 46 tahun, dosen jurusan hubungan internasional Fisipol-UGM. INTENSITAS keterlibatan umat Islam Indonesia dalam krisis Teluk tidak akan setinggi umat Islam di negeri-negeri Islam lainnya seperti Malaysia dan Turki. Karena umat Islam Indonesia sudah telanjur berada dalam situasi yang relatif terisolasi di dunia Islam. Dalam kasus Salman Rushdie, misalnya, umat Islam Indonesia paling lemah memberikan reaksi dibanding dengan umat Islam di pojok bumi lain. Juga diperkirakan, rata-rata sikap umat Islam di Indonesia yang cenderung membela Saudi bukan berarti membela Kerajaan Saudi yang dipimpin Raja Fahd. Tapi karena ikatan emosional dengan kedua tanah suci, Mekah dan Madinah, yang sekarang seolah-olah diduduki tentara Amerika. Sebaliknya, simpati kalangan umat Islam Indonesia pada Saddam Hussein dari hari ke hari akan semakin besar. Mula-mula, memang umat Islam Indonesia sangat tidak simpati dengan Irak. Yang dilakukan Saddam Hussein dianggap suatu kesalahan yang tidak dapat diampuni. Tetapi, melihat reaksi Amerika yang kalap dan sangat berlebihan, persepsi pada Saddam Hussein dari antipati menjadi simpati. Betapapun, Irak merupakan negara berkembang, negara nonblok, dan mewakili negara Islam, yang sedang digencet oleh kekuatan Barat (Amerika, Inggris, Prancis, Australia, Kanada, Belanda, bahkan Soviet). Mula-mula, saya pribadi sangat kritis dan ikut mengutuk Saddam. Tapi, setelah melihat kelakuan imperialis Amerika yang sewenang-wenang dan bahaya yang lebih besar, dosa-dosa Saddam seperti termaafkan. Hati nurani saya yang bicara sekarang bukan analisa politik internasional yang bermain dengan logika. LUKMAN HARUN, 56 tahun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah. PADA prinsipnya, saya menentang segala bentuk intervensi. Kedaulatan Arab Saudi dan Kuwait harus terjamin. Krisis di kawasan Teluk Persia ini tampaknya dimanfaatkan oleh AS untuk menjajal senjata mutakhirnya. Perang dingin dengan Uni Soviet sudah berakhir, tapi perlombaan senjata jalan terus. AS punya sikap yang double standard alias bermuka dua. Kalau toh AS bersikeras menjaga Arab Saudi, itu lantaran AS punya kepentingan atas minyak. Buktinya kenapa sikap serupa tak dilakukan terhadap Israel. Ini hipokrit namanya. Amerika itu munafik. Sombong. Dulu, ketika menyerbu Libya, dia berusaha menciptakan opini dunia, seolah-olah tindakannya itu sah. Begitu juga ketika menyatroni Grenada. Bila Israel yang mengacau Timur Tengah, dia tidak bereaksi. Malah cenderung mendukung. Kalau saya ditanya mendukung Arab Saudi atau Irak, saya jawab tidak dua-duanya. Pokoknya, kalau negara-negara Arab terpengaruh, mereka yang rugi. Juga Islam. Makanya, yang penting sekarang bagaimana agar perang jangan sampai terjadi. Bisa hancur semuanya. Bangsa Arab jadi mundur 50 tahun, sementara AS semakin maju. Organisasi Konperensi Islam (OKI) harus bertindak aktif. Jangan hanya mengecam, tapi harus mencegah terjadinya perang. Saya tak setuju pengiriman sukarelawan, ke mana pun tujuannya. Logikanya apa. Orang kita kan tak terbiasa berperang di padang pasir. Apalagi pakai senjata modern, bisa konyol. EMHA AINUN NADJIB, 37 tahun, seniman/cendekiawan Islam. SADDAM Hussein mencoba menunjukan kepada mata dunia bahwa tindakannya menduduki Kuwait berlatar belakang multiperspektif. Pertama, konteks bahwa yang disebut Kuwait sebenarnya adalah bagian dari Irak. Politik divide et impera kaum kolonialis Eropa dan Amerika yang dulunya menciptakan pemetaan geografis dan politis di sana. Kedua, sentimen Pan-Arabisme yang sudah tumbuh sesudah abad ke-8 di dunia Arab. Yakni, setelah terpecah-pecahnya dunia Arab sesudah hegemoni kolonialis asing, yang situasinya tak beda dengan masa pra-Islam alias zaman jahiliah. Ciri-cirinya dapat dilihat dari friksi kesukuan dan royokan ekonomi. Bahkan friksi yang terjadi pada masa jahiliah masih lebih baik keadaannya daripada yang terjadi sekarang ini di dunia Arab, dengan adanya Kaabah. Dulu Kaabah masih bisa sebagai pusat untuk meredam konflik antarsuku. Tapi sekarang fungsi Kaabah hanya tersisa untuk aspek ritual. Saddam, sebagaimana juga Muammar Qadhafi dan Husni Mubarak, ingin memelopori, memimpin, dan menguasai rekonstruksi kekuatan dan kesatuan dunia Arab. Ketiga, meskipun Islam dalam keadaan kepepet, bisa terbuka kemungkinan bahwa penjaringan Pan-Islamisme berkembang menjadi kenyataan. Kalau situasi multiperspektif makin mewataki konflik Teluk, kejadiannya bisa lain sama sekali. Titik pusatnya adalah zionisme Yahudi. Sebab, memang dalam warna itulah "Rambo" AS memasuki tanah Arab. Kalau benar ada tanda-tanda Israel akan menyerbu Irak, Arab Saudi tak lagi bisa membiarkan dirinya bersikap mendua. Tapi sebaiknya Irak juga mengalihkan fokusnya dari Kuwait ke Israel, tanpa perlu menunggu Israel bikin perkara. Dengan Irak menyerang Israel, akan terjadi kiamat kecil di kawasan Timur Tengah. Dan terbuka kans bagi eksistensi negara Palestina. Masalah Saddam Hussein, kebanditannya tetap salah. Tapi mungkin Anda sedang berhadapan dengan kasus pencuri yang masuk ke rumah Anda, namun telah berjasa membuka rahasia bahwa istri Anda tidur dengan lelaki lain. Pencuri tetap bersalah dengan tindakan mencurinya. Tapi ia juga berjasa kepada hari depan pria yang istrinya berbuat serong itu. Masalahnya adalah bukan soal berpihak kepada siapa. Melainkan kepada apa. Moderasinya, kalau apa adalah kebaikan atau keburukan. Mungkin orang memilih berpihak kepada siapa yang lebih mengandung kemungkinan kebaikan. Dan dalam konteks global, bisa jadi Irak akan "menang pemilu" untuk dipihaki. Itu bisa terjadi seandainya umat Islam mulai sembuh dari sakit katarak yang membabi-buta, dengan mengidentikkan Arab dengan Islam. ABDURRAHMAN WAHID, 50 tahun, Ketua PB NU. IDE dasar penyerbuan Saddam ke Kuwait adalah untuk menggantikan pemerintahan Syeikh Jabar Al-Sabah. Harus diingat, Kuwait memang pernah jadi wilayah Irak. Karena kolonialis Inggris, Irak dan Kuwait terbelah. Saya lama belajar di Baghdad. Saya tahu betul bahwa sejak dulu orang Irak menganggap Kuwait sebagai bagiannya. Saddam tidak bisa dikatakan sebagai agresor. Dia berbeda dengan Hitler. Hitler main serbu, tanpa pandang bulu. Hitler tidak punya klaim atas negara-negara yang diserbunya. Hitler memang agresor. Tapi bukan berarti saya membenarkan tindakan Saddam Hussein. Dia telah melanggar hukum internasional. Seharusnya dia mengajak Kuwait menyelesaikan konflik lewat meja perundingan. Saya tidak setuju bila serbuan Irak ke Kuwait akan meningkatkan solidaritas dunia Islam. Syarat solidaritas adalah persamaan kepentingan. Dalam kasus Irak-Kuwait, setiap negara punya kepentingan sendiri. Mesir, misalnya, selain ingin mendekati AS -- tiap tahun AS membantu Mesir 2,3 milyar dolar -- juga ingin menciptakan kesan pada pemerintah Arab Saudi bahwa Mesir sangat berjasa. Salah satu kesalahan fatal Saddam adalah menganggap enteng Amerika Serikat. Amerika itu kuat sekali, lo. Semua senjata Irak, Amerika punya. Tank yang diandalkan Irak, saya yakin dengan gampang bisa ditumpas Amerika. Namun, tidak mungkin AS menyerbu Irak. Iran tentu akan membantu Irak. Sebab, Iran tidak mau hidup berdampingan dengan AS. Yang lain, suku Kurdi di Irak sangat kuat untuk bertempur gerilya. AS malah bisa konyol. H. RIDWAN SAIDI, 48 tahun, cendekiawan Islam. SAYA tidak yakin Saddam menganeksasi Kuwait dengan tujuan tak semena-mena mendudukinya. Karena Inggris dan AS sedang membangun basis militer di sana, yang bisa digunakan untuk menyerbu Irak. Maka, menurut saya, tindakan Saddam dipahami. Dia tidak punya alternatif lain kecuali menghancurkan basis itu. Tindakan Saddam didorong oleh kebenciannya terhadap kesombongan Inggris dan AS. Buktinya, begitu menduduki Kuwait, Irak langsung menciduk 33 perwira Inggris. Kebanyakan analis menduga bahwa latar belakang penyerbuan Irak lantaran minyak. Padahal, sebelum pertemuan Riyadh, Saddam sudah mengingatkan supaya Kuwait tidak dijadikan basis militer. Kuwait nantinya bakal jadi seperti Kamboja. Pemerintahan dibentuk atas dasar kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang bertikai: Arab, Amerika, dan Inggris. Nasib Saddam di Baghdad, menurut saya, tak mungkin jatuh oleh rakyatnya. Saat ini dia betul-betul berhasil menciptakan isu yang menyebabkan rakyatnya terpaksa bersatu. K.H. HASAN BASRI, 70 tahun, Ketua Umum MUI. KRISIS Teluk yang terjadi saat ini tidak ada hubungannya de ngan masalah agama. Bukan karena perbedaan mazhab. Selain kaum Suni, penduduk Irak sendiri kan banyak yang Syiah. Menurut saya, krisis itu semata-mata karena konflik kepentingan, terutama konflik memper ebutkan pengaruh untuk jadi pemimpin negara-negara Arab. Nampaknya, Saddam ingin menjadi pemimpin Arab. Dan memang, orang-orang Arab itu terkenal temperamental, khas padang pasir. Itu sudah sejak dulu. Perang antarsuku hampir menjadi tradisi. Mereka cepat sekali memutus kan perang. Tapi juga cepat damai. Saya tidak bisa menerima tindakan Irak, tetapi saya juga menentang keterlibatan Amerika Serikat. Sebaiknya, masing-masing pihak menjaga diri. Kalau sampai terjadi bentrok fisik, maka akibatnya sangat fatal bagi dunia. H. ALI YAFIE, Wakil Rais Am NU. IRAK dan Kuwait itu sama-sama Islam. Meskipun demikian, saya sulit memahami serangan Irak itu. Tentang alasan Saddam Hussein, itu mungkin ada benarnya. Tapi serbuan atas sebuah negara yang berdaulat, apa pun alasannya, sulit diterima begitu saja. Saya kira sebagian besar umat Islam Indonesia setuju dengan sikap MUI, dan juga Pemerintah menyesalkan serbuan Irak itu. Memang ada yang berpendapat lain, seperti Ridwan Saidi. Tapi kita harus menghormati pendapat orang, pendapat Ridwan Saidi. Artinya, kita harus memaklumi bahwa seorang Ridwan Saidi barangkali mengerti alasan-alasan penyerbuan itu. Tentang adanya sukarelawan ke Arab Saudi? Itu terserah masing-masing. Namanya juga sukarelawan, artinya mereka rela dan berniat untuk bergabung dengan sebuah kelompok untuk menjaga Haramain. Pada hemat saya, membela kepentingan Tanah Suci itu merupakan salah satu kewa jiban umat Islam. Terus terang, saya merasa sulit untuk memahami Saddam Hussein, yang mengaku bergerak atas nama Islam. Pemerintahan Saddam Hussein itu hasil dukungan Partai Baath yang berhaluan sosialis. Mereka tidak Islami. Dia tak pernah menyebut-nyebut Islam, kecuali sekarang sekarang ini. Jangan pula dilupakan bahwa Kuwait punya andil besar dalam penyiaran Islam, lewat dananya yang disalurkan ke mana-mana. Itu tak pernah dilakukan Irak. Bahwa ada orang-orang yang berniat menjadi sukarelawan untuk salah satu pihak, saya kira itu tak akan membahayakan persatuan umat Islam di Indonesia. Persatuan umat Islam di Indonesia terlalu kuat untuk diguncangkan oleh peristiwa itu. K.H. SHOLEH ISKANDAR, 67 tahun, Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren, Jawa Barat. MASALAH keamanan Haramain adalah tanggung jawab semua umat Islam. Tapi tak berarti semua orang muslim harus pergi ke sana. Dalam pandangan saya, tanggung jawab membela Haramain itu hukumnya wajib kifayah. Konflik di kawasan Teluk itu memang dapat memba hayakan Haramain. Kalau kita pergi ke sana, bukan berarti kita pro Irak atau Arab Saudi. Yang kita bela adalah Tanah Suci. Seandainya Irak ingin menjadi pemimpin negara-negara Islam, semestinya perhatiannya dicurahkan ke Israel saja. Sayang, hal itu tak dilakukan oleh Irak. Saya ingatkan bahwa umat Islam itu kini punya musuh, yakni Israel. Tapi yang terjadi sekarang adalah ancaman perang besar yang bisa menyulut Perang Dunia III, dan memecah belah dunia Islam. Untuk mencegah perang besar itu, menurut saya, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, penarikan pasukan Irak dari Kuwait. Dan kedua, penarikan tentara Amerika dari Arab. Pengiriman sukarelawan yang sedang direncanakan saat ini adalah dalam kaitannya dengan Haramain. Supaya ada perdamaian di sana. Tolong, jangan ditafsirkan bahwa pengiriman sukarelawan itu berarti para ulama menyokong peperangan. Yang kami kehendaki adalah perdamaian. Tapi rencana itu belum ada kongkretnya. Semua itu nantinya tergantung Pemerintah juga. DR. SALEH AL-JUFRI, 50 tahun, Ketua Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPLI) Sunan Ampel, Surabaya. Tokoh "kebulatan tekad Jawa Timur". NEGARA-negara Arab itu sudah tidak Islami lagi. Serbuan Irak terhadap Kuwait tidak Islami. Agresi Irak terhadap Kuwait sudah menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam dan mengambil ideologi di luar Islam. Begitu juga Arab Saudi yang merelakan tentara multinasional - terutama AS -- menempatkan tentaranya di Haramain. Yang artinya, Saudi berlindung pada kekuatan kafir. Siapa yang berlindung kepada orang kafir akan celaka. Kuwait, contohnya, yang selalu "dikendalikan" oleh AS. Kuwait selalu melanggar kuota minyak, yang menyebabkan harga minyak jatuh. Dan Ku wait adalah negara yang terjerembab ke dalam kemewahan dan maksiat. Dalam Quran, mereka itu tergolong mutraf, yakni orang yang selalu mencari kemewahan dan berfoya-foya dalam kemaksiatan. Sekarang mereka kena balak. Untuk menyelesaikan konflik di teluk, mestinya pasukan-pasukan Arab sendiri yang menengahi. Sayangnya, Liga Arab lemah. Pasukan Mesir datangnya juga terlambat, sudah keduluan AS. Indonesia, yang umat Islamnya terbesar, harusnya mengirimkan delegasi perdamaian ke sana. Sebagai pimpinan rombongan bisa ditunjuk Roeslan Abdulgani, yang punya hubungan pribadi dengan Saddam Hussein. Anggota delegasi, Ali Alatas, Mochtar Kusuma Atmadja, Fuad Hassan, Lukman Harun, Hasan Basri, dan Saleh Al-Jufri. DR. NURCHOLISH MADJID, 51 tahun, doktor filsafat Islam lulusan Universitas Chicago, Ketua Yayasan Paramadina. KRISIS di Teluk memang terjadi antara sesama negara Arab. Tapi, karena sekarang yang terlibat tidak hanya negara Arab, ada AS dan ne gara asing lainnya, maka wajar kalau umat Islam Indonesia jadi merasa terlibat. Karena munculnya semangat "solidaritas" sesama muslim, yang berawal ketika terjadi perang melawan Israel. Menurut kajian fikih, perbedaan pendapat boleh-boleh saja. Arab Saudi merasa benar mengundang Amerika Serikat untuk melindungi kepentingannya. Sementara perbuatannya itu membuat sejumlah pemuda Islam tersinggung. Jadi, itu kan hanya soal pengolahan data, informasi, tahu persoalan apa tidak. Ya, toh? Saya tidak mendukung siapa-siapa. Yang jelas, tindakan Saddam Hussein dengan aneksasinya, yang mengancam Arab Saudi, tidak bisa dibenarkan. Persoalan akan selesai jika Irak keluar dari Kuwait tanpa syarat dan mengembalikan pemerintahan yang sah. Tapi Kuwait juga harus mengembalikan citranya dengan tidak menghambur-hamburkan uangnya -- kelakukan para syekh dan raja minyak dan mempermainkan harga minyak. TUAN GURU K.H. M. ZAINUDDIN ABDUL MADJID, 85 tahun, Rais Am Dewan Mustasyar Nahdlatul Wathan, Pancor, Lombok Timur. MASYA Allah, itu bukan ajaran Islam. Islam itu artinya menyelamatkan orang lain. Yang sekarang ini adalah berlomba-lomba mengejar ke duniawian. Janganlah Islam menjajah Islam. Apa pun alasannya, Irak telah menjajah dan menyerbu Kuwait. Irak harus keluar dan Kuwait. Negara asing yang ada di Arab Saudi tidak apa-apa, mereka ada juga yang Islam. Pemerintah Indonesia harus turun tangan menjadi wasit atas kemelut di Teluk. Indonesia sering berhasil meredakan persoalan yang berat-berat. Indonesia harus menjadi pelopor untuk keadilan dan manusia. Jika Arab Saudi terancam, sama artinya dengan terancamnya umat Islam sedunia. Kita wajib menghentikan pertumpahan darah itu. Nawaitu -- niat -- kita adalah membela Mekah dari kehancuran. K.H. ZAINUDDIN MZ, 38 tahun, mubalig terkenal. SAYA tak setuju pencaplokan Irak terhadap Kuwait. Tetapi saya memahami posisi Saddam Hussein. Saya melihat nasionalisme Saddam tinggi dan saya menghormatinya. Arab Saudi dan Kuwait sangat pro negara-negara Barat. Dari kaca mata Islam ini suatu kerugian. Masyarakat kita menanggapi Irak seolah-olah salah. Padahal, itu disebabkan oleh informasi yang salah dari pers Barat. Selama ini pers Barat mendengung-dengungkan bahwa Saddam Hussein adalah tukang jagal, agresor. Apalagi kalau kita melihat bahwa Menlu Irak adalah orang Nasrani. Menanggapi reaksi para sukarelawan Indonesia, ya kita serba salah. Kalau dikirim bertempur, maka kita akan berperang sesama Islam. Kalau kita memihak Irak misalnya, hal itu sudah jelas salah karena Irak mencaplok Kuwait. Sebaliknya, bila ditinjau dari segi Akidah Islam, kita kan berperang melawan kaum kafir. Masyarakat kita lebih banyak mendukung ke Arab Saudi karena tidak adanya filter berita yang datang dari Barat. Orang-orang kita tak dapat membedakan antara Tanah Suci dan Arab Saudi. Itulah kelebihan Arab Saudi. Karena itu, saya menerima sikap pemerintah Indonesia yang mendukung keputusan PBB. DRS. JALALUDDIN RAKHMAT, 41 tahun, dosen di Universitas Padjadjaran dan ITB. Ahli ilmu komunikasi dan pengamat masalah-masalah Islam. PERSOALAN Arab bukanlah berarti persoalan Islam. Dan krisis Teluk adalah mutlak persoalan Arab. Memang selalu terjadi, jika ada negara Arab yang bertengkar, mereka selalu membawa-bawa Islam. Saddam Hussein, Presiden Irak, berasal dari Partai Baath yang sosialis. Malah musuh bebuyutannya adalah organisasi Islam Ad Dakwah, yang ditumpasnya dengan kejam dan membunuh ulama Islam Irak, Sayid Baqr Hadi. Bahkan sebelum Irak menyerbu Kuwait, Saddam mengadakan perayaan yang tujuannya mengagungkan kembali imperium Bynzantium lama yang berada di bawah Nebuchadnezar. Jadi, sebetulnya akar budaya Irak bukanlah Islam. Sama dengan Syah Iran sebelum revolusi tahun 1979, Saddam selalu berusaha menangkal pengaruh Islam dalam menjalankan kekuasaannya. Tapi, ketika menyerbu Kuwait, ia menggunakan isu-isu Islam. Ia mengatakan perang yang dilakukannya adalah jihad suci untuk membebaskan tiga tempat suci. Yakni Mekah dan Madinah di Arab Saudi dan Masjid Aqsa di Israel, dari orang kafir. Jelas, dia ingin melibatkan orang Islam. Begitu pula Arab Saudi, yang sekarang melobi negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam. Dengan kedok untuk melindungi kota-kota suci. Tapi tampaknya dunia Islam tidak terpengaruh. Kecuali the rulling elite yang punya kepentingan tertentu. Jelas, krisis ini merugikan umat Islam. Karena yang bertengkar itu anggota utama Organisasi Konperensi Islam (OKI). Kerusakan besar yang akan terjadi tentu saja kerugian Islam. Jika perang belum berhenti sampai musim haji mendatang, ibadah haji akan terganggu kalau tidak dihentikan sama sekali. Kerugian kedua, posisi umat Islam sekarang makin tergantung negara asing. Ketika negara-negara Eropa Timur melepaskan ketergantungannya pada Soviet, umat Islam malah membentuk diri menjadi satelit membenarkan media massa berhak mencantumkan nama lengkap tersangka dalam berita-beritanya. Melalui kuasa hukum Kamal Firdaus, Winang menggugat harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta, agar membayar ganti rugi Rp 250 juta karena telah mencemarkan nama baiknya. Lewat berita 23 Desember 1989, Bernas dengan terang-terangan memuat nama Winang tersangkut dalam kasus pencurian lukisan. Tapi Hakim Nyonya Wiesye Ratna Dewi, Kamis pekan lalu, tak menerima gugatan Winang. Pada pertimbangan hakim, penyiaran berita itu tidak termasuk kualifikasi pencemaran nama baik. Sebab, nama yang tertera di berita itu tak sesuai dengan aslinya. Dalam berita yang ditulis Bernas, disebut nama tersangka Winang Sufla Suwarna, sedang nama penggugat yang benar adalah R.M. Winang Suryosumarno. "Justru penggugat yang mencemarkan nama baiknya sendiri. Karena setelah gugatannya diajukan ke pengadilan, nama sebenarnya diketahui," ujar Nyonya Wiesye. Selain itu, materi gugatan juga dinilai hakim lemah. Misalnya, pengajuan ganti rugi tidak dirinci. Para tergugat yang dituntut tak pula lengkap. Artinya, penerbitan lain yang juga menyiarkan kasus yang sama, seperti Suara Merdeka, Jawa Pos, dan TEMPO, tidak ikut digugat Winang. Kamal Firdaus menilai putusan hakim aneh. "Mestinya putusan itu bukan tidak diterima, tapi ditolak -- artinya bisa diajukan lagi dengan perbaikan," katanya. Sebab, dalam materi perkara tidak ada masalah. Suatu perkara diputus tidak diterima jika ada pihak tergugat tidak disertakan. Padahal, menurut Kamal, dari direktur utama, pemimpin umum, sampai pemimpin redaksi ikut sebagai tergugat. Perkara yang sangat menarik perhatian kalangan pers itu bermula dari kasus raibnya lukisan Musafir di Padang Pasir, berusia 150 tahun, koleksi museum milik Dullah di Solo pada 29 November 1989. Dalam tempo singkat, polisi berhasil menggulung komplotan pencuri, di antaranya Winang. Dalam sebuah penyergapan, Winang -- salah seorang anggota komplotan -- tertembak kakinya (TEMPO, 6 Januari 1990). Berita hilang sampai ditemukannya Musafir di Padang Pasir, goresan cat minyak pelukis modern pertama Indonesia, Raden Saleh, itu dimuat semua media. Tapi penulisan nama tersangkanya tidak seragam. Sebagian menulis inisialnya saja. Lainnya, seperti Suara Merdeka, TEMPO, dan Bernas, menyebut jelas nama tersangka. Winang menganggap pemberitaan model terakhir itu sebagai tindak pencemaran nama baik dan melanggar asas praduga tak bersalah. Hingga sekarang beda tafsir soal itu memang masih berkepanjangan. Inilah akibatnya, jika sebuah peraturan tak jelas apa maunya. Kamal Firdaus tetap ngotot di depan sidang, bahwa pemuatan nama lengkap tersangka adalah melanggar asas praduga tak bersalah. "Secara keseluruhan telah terjadi trial by the press," katanya. Ia menganggap layak meminta ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Sebaliknya, kuasa hukum Bernas, Jeremias Lemek dan Muhammad Iqbal, tidak menganggap cara pemberitaan Bernas itu sebagai pelanggaran. Apalagi penulisan nama tersangka bukan R.M. Winang Suryosumarno, melainkan Winang Surya Suwarna. Kalaupun ditulis R.M. Winang Suryosumarno, kata Jeremias, tidak ada masalah. "Kalau berita itu benar adanya, maka tidak bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran asas praduga tak bersalah." Alasannya, pers sebagai alat kontrol wajib mengungkapkan yang terjadi demi kepentingan umum. Tapi Kamal Firdaus bertekad membawa perkara ini sampai Mahkamah Agung. "Putusan kasasi itu penting, karena bisa menjadi yurisprudensi," katanya. Sebaliknya Pemimpin Umum Berita Nasional, Abdurachman, "Negara kita negara hukum, apa yang diputuskan hakim harus diterima," komentarnya, lega. Tri Jauhari, Siti Nurbaiti (Yogyakarta), dan Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo