Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Meninggal dunia

Terdakwa dalam perkara penyelundupan tekstil 3001 kali, lim keng eng, meninggal dunia, perkaranya masih dalam proses kasasi mahkamah agung. (hk)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kuat itu telah tiada. Lim Keng Eng alias Eddy Lukman, tokoh yang dituduh memegang rekor penyelundupan tekstil sebanyak 3001 kali, tiba-tiba meniggal dunia Minggu, 3 Oktober lalu. Toh banyak orang yang tahu kematian itu, kecuali setelah membaca iklan dukacita di berbagai koran sehari kemudian. Pengacara almarhum sendiri, Albert Hasibuan, juga mengaku kaget. Sehingga, kata Albert, dia hanya sempat mengirimkan kembang duka ke rumah Keng Eng, Jalan Pal VII, Kebayoran Lama, Jakarta sebelum mayat dikebumikan di Bogor. "Perkaranya masih saya urus dalam proses kasasi di Mahkamah Agung," ujar Albert. Albert juga tidak tahu sakit apa yang diderita kliennya itu sebelum meninggal. Sebab hampir semua keluarga Keng Eng menutup mulut tentang sebab kematian itu. "Orangnya sudah pergi, tak usah diungkit-ungkit lagi yang lama itu," kata Lim Hok Tjuan seorang anak Keng Eng. Rumah dengan pagar tertutup dengan dua antena menjulang di Kebayoran Lama itu, dijaga rapi oleh beberapa orang dan terpisah dari kehidupan penduduk sekitarnya. Keng Eng, 52 tahun ayah 4 orang anak, memang tokoh legendaris di kalangan para penyelundup di Indonesia. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menuduh dia telah menyelundupkan tekstil-tekstil impor sehingga merugikan negara Rp 7,6 milyar. Di persidangan in absentia tahun 1978, saksi-saksi dari Bea Cukai mengaku tidak berani memeriksa dokumen-dokumen impor Lim Keng Eng karena takut dimutasikan. Sebab itu, di kalangan petugas BC, ia digelari sebagai "Dirjen Bea Cukai Bayangan." (TEMPO 13 Mei 1978). Orang yang dikatakan Albert Hasibuan sebagai buta huruf dan tidak bisa berbahasa Inggris ini, ternyata ulet menghindari tangan-tangan hukum. Ketika tim "902" yang dipimpin waktu itu Jaksa Agung Ali Said, sekarang Menteri Kehakiman, menggebrak pelaku-pelaku pcnyelundupan tahun 1976, Keng Eng bersama adiknya Keng Yan sudah kabur lebih dulu ke Singapura. Sebab itu ia terpaksa diadili in absentia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diketuai H.M. Soemadijono menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara untuk Keng Eng dan 9 tahun penjara untuk Keng Yan karena terbukti melakukan subversi dan korupsi. Dalam perkara ekonomi, kedua adik kakak itu juga dijatuhi hukuman. Semua barang yang diduga berkaitan dengan penyelundupannya disita puluhan ribu yard tekstil, rumah, tanah dan puluhan mobil dinyatakan dirampas untuk negara. Namun 4 hari setelah putusan in-absentia jatuh 20 Mei 1978, Keng Eng menyerahkan diri ke Kejaksaan Agung diantar pengacaranya Albert Hasibuan. Tidak jelas bagaimana ia bisa masuk ke Indonesia padahal petugas negara selalu mengincar. Menurut sumber TEMPO, Keng Eng menyerahkan diri karena banyak kesalahan rekan-rekan penyelundup ditimpakan kepadanya. Ia pulang, data sumber itu, membawa misi untuk mengungkapkan apa sebenarnya yang dilakukan rekan-rekannya itu. Dan memang, beberapa hari setelah Keng Eng muncul di Jakarta, 48 orang eks tahanan 902 yang telah dibebaskan dari Nusakambangan, diambil kembali oleh Opstib (TEMPO 27 Mei 1978). Tapi sumber lain mengungkapkan pula. Kembalinya Keng bukan hanya untuk membuktikan kesalahan orang yang sebelumnya melemparkan semua beban kepada dia. Tapi juga erat hubungannya dengan barang bukti, khususnya yang tidak masuk ke dalam berkas perkara sebagai sitaan. "Lebih banyak barang bukti yang di luar daripada yang ada dalam berkas," ujar sumber itu. Terhadap vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keng Eng menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi. Menunggu bandingnya, ia sempat ditahan di kejaksaan, tidak di Nusakambangan sebagaimana penyelundup lain. Januari 1979, 6 bulan setelah ditahan, ia dibebaskan dari tahanan sementara oleh Hakim Soemadijono. Alasan hakim ketika itu. Ken Eng ternyata menderita sakit kencing manis, jantung dan darah tinggi. Soemadijono beberapa waktu kemudian "dirumahkan", bersama beberapa hakim lainnya. Keputusan Pengadilan Tinggi, 29 Desember 1979, lebih mengagetkan lagi. Majelis Hakim diketuai D.J. Staa (termasuk hakim yang dirumahkan), membebaskan Keng Eng dari tuduhan subversi dan korupsi. Keputusan itu membuat kelabakan para jaksa karena mereka pada waktu itu umumnya mengajukan tuntutan korupsi dan subversi untuk para penyelundup. Staa bersama majelisnya pada waktu itu berpendapat, Keng Eng tidak terbukti subversi karena perbuatannya tidak mempunyai latar belakang politik. Dari segi tuduhan korupsi, kata hakim, Keng Eng bukan pegawai negeri. Majelis menafsirkan UU antikorupsi (UU No 3/ 1971) mensyaratkan pelaku harus pegawai negeri. Keputusan yang kontroversial, karena sebelumnya pengadilan yang sama memutuskan penyelundupan Robby Tjahyadi sebagai melakukan korupsi, berdasarkan undang-undang itu. Dalam perkara pelanggaran ekonomi Pengadilan Tinggi menolak banding Keng Eng. Alasan hakim, dalam perkara in absentia pelanggaran ekonomi tidak dapat dimintakan banding. "Sebab itu sejak putusan pengadilan negeri, perkara ekonomi Keng Eng sudah mempunyai kekuatan hukum pasti," ujar Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI, A.I. Adnan. Kejaksaan naik kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus korupsi dan subversi. "Walaupun sekarang ia meninggal, ahli warisnya bisa meneruskan kasasi," ujar seorang Hakim Aung yang memeriksa perkara itu. Hakim Agung yang tidak mau disebutkan namanya itu mengatakan, perkara Keng Eng sebenarnya sudah diprioritaskan sebelum orang itu meninggal. Tapi karena salah seorang majelis, Hakim Agung Hendrotomo meninggal dunia beberapa waktu lalu, perkaranya terlalaikan. Meninggalnya, Keng Eng, kata Jaksa Adnan, tidak mempengaruhi kasasi perkaranya. "Perkara itu satu paket dengan adiknya Keng Yan yang masih hidup," ujar Adnan. Hal itu dibenarkan oleh Pengacara Albert Hasibuan. "Hanya untuk Keng Eng perkara itu gugur, karena orangnya sudah tidak ada," ujar Albert. Hakim agung yang memcriksa perkara Keng Eng mengatakan, bukan tidak mungkin keputusan pengadilan tinggi diubah kembali, walau tersangka mendapat pembebasan penuh. "Yurisprudensi memberikan peluang untuk menguji apakah pembebasan itu murni atau pembebasan terselubung (vrisipraak verkapte)," ujar Hakim Agung itu. Yang masih menjadi masalah adalah harta Keng Eng yang dirampas. Menurut sumber TEMPO sebelum meninggal Keng Eng sempat menulis surat, memprotes rencana kejaksaan untuk melelang hartanya karena merasa perkaranya masih kasasi. Asisten II Kejaksaan Tinggi, Adnan, membenarkan adanya surat itu. "Tapi tidak benar perkara ekonomi itu di tingkat kasasi, karena di pengadilan tinggi bandingnya ditolak. Jadi perkara itu sudah mempunyai kekuatan hukum," ujar Adnan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus