ORANG kuat itu telah tiada. Lim Keng Eng alias Eddy Lukman,
tokoh yang dituduh memegang rekor penyelundupan tekstil sebanyak
3001 kali, tiba-tiba meniggal dunia Minggu, 3 Oktober lalu. Toh
banyak orang yang tahu kematian itu, kecuali setelah membaca
iklan dukacita di berbagai koran sehari kemudian.
Pengacara almarhum sendiri, Albert Hasibuan, juga mengaku kaget.
Sehingga, kata Albert, dia hanya sempat mengirimkan kembang duka
ke rumah Keng Eng, Jalan Pal VII, Kebayoran Lama, Jakarta
sebelum mayat dikebumikan di Bogor. "Perkaranya masih saya urus
dalam proses kasasi di Mahkamah Agung," ujar Albert.
Albert juga tidak tahu sakit apa yang diderita kliennya itu
sebelum meninggal. Sebab hampir semua keluarga Keng Eng menutup
mulut tentang sebab kematian itu. "Orangnya sudah pergi, tak
usah diungkit-ungkit lagi yang lama itu," kata Lim Hok Tjuan
seorang anak Keng Eng. Rumah dengan pagar tertutup dengan dua
antena menjulang di Kebayoran Lama itu, dijaga rapi oleh
beberapa orang dan terpisah dari kehidupan penduduk sekitarnya.
Keng Eng, 52 tahun ayah 4 orang anak, memang tokoh legendaris di
kalangan para penyelundup di Indonesia. Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat menuduh dia telah menyelundupkan tekstil-tekstil impor
sehingga merugikan negara Rp 7,6 milyar. Di persidangan in
absentia tahun 1978, saksi-saksi dari Bea Cukai mengaku tidak
berani memeriksa dokumen-dokumen impor Lim Keng Eng karena takut
dimutasikan. Sebab itu, di kalangan petugas BC, ia digelari
sebagai "Dirjen Bea Cukai Bayangan." (TEMPO 13 Mei 1978).
Orang yang dikatakan Albert Hasibuan sebagai buta huruf dan
tidak bisa berbahasa Inggris ini, ternyata ulet menghindari
tangan-tangan hukum. Ketika tim "902" yang dipimpin waktu itu
Jaksa Agung Ali Said, sekarang Menteri Kehakiman, menggebrak
pelaku-pelaku pcnyelundupan tahun 1976, Keng Eng bersama adiknya
Keng Yan sudah kabur lebih dulu ke Singapura.
Sebab itu ia terpaksa diadili in absentia. Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diketuai H.M. Soemadijono
menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara untuk Keng Eng dan 9 tahun
penjara untuk Keng Yan karena terbukti melakukan subversi dan
korupsi. Dalam perkara ekonomi, kedua adik kakak itu juga
dijatuhi hukuman. Semua barang yang diduga berkaitan dengan
penyelundupannya disita puluhan ribu yard tekstil, rumah, tanah
dan puluhan mobil dinyatakan dirampas untuk negara.
Namun 4 hari setelah putusan in-absentia jatuh 20 Mei 1978, Keng
Eng menyerahkan diri ke Kejaksaan Agung diantar pengacaranya
Albert Hasibuan. Tidak jelas bagaimana ia bisa masuk ke
Indonesia padahal petugas negara selalu mengincar.
Menurut sumber TEMPO, Keng Eng menyerahkan diri karena banyak
kesalahan rekan-rekan penyelundup ditimpakan kepadanya. Ia
pulang, data sumber itu, membawa misi untuk mengungkapkan apa
sebenarnya yang dilakukan rekan-rekannya itu. Dan memang,
beberapa hari setelah Keng Eng muncul di Jakarta, 48 orang eks
tahanan 902 yang telah dibebaskan dari Nusakambangan, diambil
kembali oleh Opstib (TEMPO 27 Mei 1978).
Tapi sumber lain mengungkapkan pula. Kembalinya Keng bukan hanya
untuk membuktikan kesalahan orang yang sebelumnya melemparkan
semua beban kepada dia. Tapi juga erat hubungannya dengan barang
bukti, khususnya yang tidak masuk ke dalam berkas perkara
sebagai sitaan. "Lebih banyak barang bukti yang di luar daripada
yang ada dalam berkas," ujar sumber itu.
Terhadap vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keng Eng
menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi. Menunggu bandingnya, ia
sempat ditahan di kejaksaan, tidak di Nusakambangan sebagaimana
penyelundup lain. Januari 1979, 6 bulan setelah ditahan, ia
dibebaskan dari tahanan sementara oleh Hakim Soemadijono. Alasan
hakim ketika itu. Ken Eng ternyata menderita sakit kencing
manis, jantung dan darah tinggi. Soemadijono beberapa waktu
kemudian "dirumahkan", bersama beberapa hakim lainnya.
Keputusan Pengadilan Tinggi, 29 Desember 1979, lebih mengagetkan
lagi. Majelis Hakim diketuai D.J. Staa (termasuk hakim yang
dirumahkan), membebaskan Keng Eng dari tuduhan subversi dan
korupsi. Keputusan itu membuat kelabakan para jaksa karena
mereka pada waktu itu umumnya mengajukan tuntutan korupsi dan
subversi untuk para penyelundup.
Staa bersama majelisnya pada waktu itu berpendapat, Keng Eng
tidak terbukti subversi karena perbuatannya tidak mempunyai
latar belakang politik. Dari segi tuduhan korupsi, kata hakim,
Keng Eng bukan pegawai negeri. Majelis menafsirkan UU
antikorupsi (UU No 3/ 1971) mensyaratkan pelaku harus pegawai
negeri. Keputusan yang kontroversial, karena sebelumnya
pengadilan yang sama memutuskan penyelundupan Robby Tjahyadi
sebagai melakukan korupsi, berdasarkan undang-undang itu.
Dalam perkara pelanggaran ekonomi Pengadilan Tinggi menolak
banding Keng Eng. Alasan hakim, dalam perkara in absentia
pelanggaran ekonomi tidak dapat dimintakan banding. "Sebab itu
sejak putusan pengadilan negeri, perkara ekonomi Keng Eng sudah
mempunyai kekuatan hukum pasti," ujar Asisten Operasi Kejaksaan
Tinggi DKI, A.I. Adnan.
Kejaksaan naik kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
dalam kasus korupsi dan subversi. "Walaupun sekarang ia
meninggal, ahli warisnya bisa meneruskan kasasi," ujar seorang
Hakim Aung yang memeriksa perkara itu. Hakim Agung yang tidak
mau disebutkan namanya itu mengatakan, perkara Keng Eng
sebenarnya sudah diprioritaskan sebelum orang itu meninggal.
Tapi karena salah seorang majelis, Hakim Agung Hendrotomo
meninggal dunia beberapa waktu lalu, perkaranya terlalaikan.
Meninggalnya, Keng Eng, kata Jaksa Adnan, tidak mempengaruhi
kasasi perkaranya. "Perkara itu satu paket dengan adiknya Keng
Yan yang masih hidup," ujar Adnan. Hal itu dibenarkan oleh
Pengacara Albert Hasibuan. "Hanya untuk Keng Eng perkara itu
gugur, karena orangnya sudah tidak ada," ujar Albert.
Hakim agung yang memcriksa perkara Keng Eng mengatakan, bukan
tidak mungkin keputusan pengadilan tinggi diubah kembali, walau
tersangka mendapat pembebasan penuh. "Yurisprudensi memberikan
peluang untuk menguji apakah pembebasan itu murni atau
pembebasan terselubung (vrisipraak verkapte)," ujar Hakim
Agung itu.
Yang masih menjadi masalah adalah harta Keng Eng yang dirampas.
Menurut sumber TEMPO sebelum meninggal Keng Eng sempat menulis
surat, memprotes rencana kejaksaan untuk melelang hartanya
karena merasa perkaranya masih kasasi. Asisten II Kejaksaan
Tinggi, Adnan, membenarkan adanya surat itu. "Tapi tidak benar
perkara ekonomi itu di tingkat kasasi, karena di pengadilan
tinggi bandingnya ditolak. Jadi perkara itu sudah mempunyai
kekuatan hukum," ujar Adnan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini