Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyidangkan kas kosong Samsat

Aminuddien Alie, kepala kantor kas daerah DKI Jakarta merangkap kepala Samsat di polda dan dua bawahannya, Dimyati dan Wagiran Martosuwito diadili dalam kasus korupsi uang PKB, sebesar Rp 11 milyar.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pegawai senior di Pemda DKI Jakarta diadili dalam kasus korupsi Rp 11 milyar lebih. Otaknya, seorang wanita tua pengusaha biro jasa, sudah lebih dahulu divonis. KANTOR Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Pemda DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya seakan-akan pindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tak kurang dari bekas Kepala Samsat, Aminuddin Alie, 46 tahun serta dua orang bawahannya, Dimyati, 44 tahun, dan Wagiran Martosuwito, 52 tahun, pekan-pekan ini, duduk di kursi terdakwa. Selain mereka juga akan menyusul dua orang bawahan Aminuddin lainnya, Subarkah dan Stephanus Djunaedi. Semua pejabat Samsat itu diminta mempertanggungjawabkan lenyapnya dana Pemda DKI dari penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rp 11 milyar lebih. Menguapnya dana yang besarnya terhitung "wah" itu menurut Jaksa S.T. Silangit dan J.R. Bangun -- di persidangan terpisah -- terjadi antara pertengahan 1987 dan September 1988. Barangkali, segenap bekas aparat Samsat itu tak akan pernah diajukan ke meja hijau jika saja manipulasi "gila-gilaan" itu tidak keterlaluan. Bayangkan, sekitar September 1988, uang sebesar itu sudah tercantum sebagai pemasukan kas Pemda DKI. Tapi begitu pemeriksa hendak menghitung duit itu, ternyata tak sesen pun uang ada di kas itu. Yang ada, cuma 246 lembar giro bilyet kosong -- senilai dana yang lenyap itu. Keruan saja, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto berang. Wiyogo pun membentuk sebuah tim peneliti, yang diketuai Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan, Basofi Sudirman, untuk mengusut penyelewengan tersebut. Ternyata, permainan itu diotaki seorang pengusaha biro jasa pengurusan PKB di Polda Metro Jaya, Nyonya Yuni Adhinata alias Ayun, S1 tahun. Pemilik restoran "Istana Ikan" di Jalan Raya Pasar Minggu Jakarta Selatan, ini berkali-kali membayar PKB kliennya ke kantor Samsat dengan giro yang tak ada dananya tadi. Semua "permainan" Ayun itu, menurut dakwaan jaksa, bisa terjadi berkat kerja sama dan fasilitas istimewa yang diberikan Aminuddin beserta keempat bawahannya. Dari "proyek" itu, kata Jaksa S.T. Silangit, Aminuddin memperoleh imbalan dari Ayun setidaknya Rp 56 juta. Pegawai DKI itu, sejak 8 Februari 1978, menerima honor antara Rp 500 ribu dan Rp 1 juta per minggu dari Ayun. Sedangkan anak buahnya, Dimyati yang waktu itu kebetulan menjabat Kasi Bank di Samsat, menurut Jaksa J.R. Bangun, kebagian lebih besar lagi. Pegawai DKI yang diangkat pada 1 Februari 1969 itu mengantongi sampai Rp 469,9 juta dari uang haram itu. Rekannya, Wagiran, dituduh kebagian sebesar Rp 8,7 juta. Pada 28 Agustus 1989, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ayun 9 tahun penjara. Putusan ini, pada 7 Februari 1990, dikukuhkan pengadilan banding. Hebatnya, bersamaan dengan proses pidana itu, permohonan pailit yang diajukan Ayun atas segala bisnisnya ternyata dikabulkan pengadilan perdata. Artinya, tak ada lagi harta kekayaan Ayun yang bisa disita sebagai uang pengganti kerugian negara akibat kasus korupsi ini. Kecuali itu, beberapa harta "utama" Ayun ternyata juga tak mungkin lagi disita. Sebab, harta tersebut -- restoran "Istana Ikan", sebuah ruang pamer, dan sebuah rumah di Jakarta -- berdasarkan putusan hakim pidana, diserahkan ke BRI. Apalagi, menurut J.R. Bangun, barang yang berstatus jaminan hipotek BRI itu memang tak ada sangkut-pautnya dengan kasus ini. Yang jelas, setelah peradilan Ayun, kini giliran para bekas pegawai Pemda DKI yang ketar-ketir menanti ketukan palu hakim. Seperti juga Ayun, mereka dibidik jaksa dengan senjata "seram", undang-undang antikorupsi -- plus delik suap untuk pegawai negeri (pasal 418 dan 419 KUHP). Di persidangan, pengacara Aminuddin, Richard Panjaitan, melalui eksepsinya menangkis tuduhan jaksa. Menurut Richard, tidak benar kliennya bekerja sama dengan Ayun, apalagi sampai menerima imbalan Rp 56 juta itu. "Apa yang dilakukan terdakwa adalah sebatas pada tugas yang diembannya. Dan dana yang dikatakan telah dikorupsi itu adalah utang Ayun kepada Pemda DKI Jakarta," kata Richard. Berdasarkan itu. Richard menilai kasus ini lebih menjadi kompetensi pengadilan perdata. Bagaimana penjelasan argumentasi itu memang belum tuntas. Sementara itu, Jaksa S.T. Silangit hanya tertawa mendengar eksepsi itu. Aminuddin sendiri tampaknya memilih "mengunci" mulut rapat-rapat. Pembela Dimyati, Turman Panggabean menganggap kliennya tak penting dalam kasus itu. "Ia dan Wagiran cuma embel-embel dalam kasus ini," katanya. Menurut Dimyati, sesuai dengan struktur organisasi Samsat dan job description di situ, hubungan kerja Ayun adalah langsung dengan Aminuddin selaku Kepala Kantor Kas Daerah sekaligus Kepala Samsat di Polda. Memang, ada beberapa giro bilyet yang kosong itu masuk ke bagian Dimyati dan Wagiran. Tapi tentu saja belum pasti dinikmati kedua terdakwa. "Kini giro senilai Rp 469,9 juta itu dituding seolah-olah uangnya sampai ke tangan terdakwa," kata Turman. Terdakwa juga membantah menikmati uang Samsat senilai giro kosong itu. "Akan saya buktikan nanti bahwa tuduhan itu tidak benar," ujar Dimyati. Dimyati juga mengingatkan bahwa setian hasil kerjanya -- termasuk soal giro Ayun itu -- selalu dilaporkan ke atasan langsungnya, Edward Syarif. Dalih senada juga diutarakan Wagiran dan tim pembelanya, T.A. Ronald Simanjuntak dan Sahat Napitupulu. Kata mereka, berbagai kejanggalan itu sebetulnya sudah dilaporkan ke atasan Wagiran, Kasta. Herannya, sebagaimana Edward, Kasta cuma menjadi saksi saja dalam kasus ini. Soal uang Rp 8,7 juta yang diterima Wagiran dari Ayun? "Itu hasil jual beli rangkaian bunga antara istri terdakwa dan Ayun. Ada semua kuitansinya," kata Sahat. Boleh juga. Happy S., Leila S. Chudori, Priyono B. Sumbogo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus