MOHAMMAD SADLI JAN PRONK, Menteri Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda merangkap Ketua IGGI, sudah pulang. Tapi gema kunjungannya mudah-mudahan tahan agak lama. Kehadirannya membawa angin sejuk, karena merupakan contoh keluguan, informalitas, kesungguhan dalam keyakinan, dan keterbukaan serta transparansi dalam dialognya dengan berbagai kalangan di Indonesia. Liputan yang luas oleh media massa memungkinkan masyarakat mengikuti ulah diplomat yang tak mau pakai jas-dan-dasi kalau sedang "turba" ke wilayah kumuh, melihat industri rakyat, dan mencari keterangan tangan pertama dari orang kecil. Sikap Pemerintah RI yang mengizinkan segala liputan ini harus dihargai. Mudah dibayangkan jika pemerintah merasa waswas menyongsong kunjungannya. Dialah menteri, ketua IGGI, dan anggota Partij van den Arbeid (sosialis) yang kini ikut duduk dalam Pemerintah Belanda. Dan dari pemerintah itu sudah keluar tanda tak berkenan terhadap eksekusi hukuman mati narapidana G30S-PKI, dan pencarian bantuan uang dari Negeri Belanda mau ditangguhkan. Pronk juga bukan kenalan baru bagi Indonesia. Pada akhir 1973 ia datang dalam kedudukan sama. Waktu itu ia sangat welcome, dan bebas berceramah serta berdialog dengan mahasiswa UI. Tapi, sejak peristiwa Malari, kepercayaan diri dan keterbukaan di bidang politik di kalangan resmi Indonesia mengalami beberapa perubahan. Pronk, kali ini pun, ingin punya audience untuk berdialog. Alasannya: "nostalgia 1973". Akhirnya, UI memberikan padanya kesempatan dengan peserta terbatas: dosen, pakar ekonomi, pejabat, dan mahasiswa. Namun, isi uraiannya yang sejam menarik dan mendalam. Pokok pembicaraannya tidak mengenai Indonesia secara langsung. Tapi Pronk menggambarkan perjalanan sejarah hubungan Utara-Selatan pada 1990-an. Tahun 1950-an dan 1960-an adalah era bantuan luar negeri yang konvensional. Arus dana mengalir dari negara-negara industri ke negara berkembang, dengan berbagai motivasi. Negara terkaya, Amerika Serikat, punya motif untuk membendung komunisme dunia. Baik Marshall Plan untuk Eropa maupun bantuan kepada negara berkembang bermotif demikian. Motif beberapa negara Barat lain lebih komersial, yakni promosi ekspor mereka. Juga, negara berkembang waktu itu belum punyabargaining power. Akhir 1960-an ada motif baru yang serba etis: bantuan kepada negara berkembang harus membantu memberantas kemiskinan. Program ditujukan kepada pemenuhan basic human needs. Gagasan tersebut populer dan jadi landasan beberapa bantuan luar negeri, dan sempat memenuhi program bantuan internasional, juga program pemerintah kita. Tentu motif politik sekuriti dan motif dagang negara donor tetap masih ada. Tahun 1970-an adalah era yang penuh romantik bagi negaraberkembang. Kepercayaan diri (politik internasional) meningkat, juga oleh karena OPEC dan Kelompok 77 di UNCTAD mulai menuntut terbentuknya Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB), yang lebih adil. Jan Pronk sebagai orang sosialis dan idealis mendukungnya, dan ia sempat bekerja di UNCTAD dan PBB. Tapi menjelang akhir 1970-an perjuangan TEIB tampak kandas, karena negara superkuat belum mau menerimanya, serta OPEC juga tak mau terlalu berkorban untuk memenangkan perjuangan UNCTAD. Tahun 1980-an disebut Pronk sebagai kurun waktu yang sangat sulit dan berat bagi negara berkembang, karena harus mengadakan restrukturisasi, reformasi, konsolidasi, dengan segala pengetatan ikat pinggang. Hasil adjustment (penyesuaian) ini jelek bagi Amerika Latin, dan lebih jelek lagi bagi banyak negara Afrika hitam. Hanya Asia rupanya mampu bertahan. Dalam proses penyesuaian struktur ekonomi di dunia, gagasan yang konservatif dan liberal, yang lebih mengandalkan pada "mekanisme pasar" dan sektor swasta, rupanya menang. Ini adalah era Reagan dan Thatcher. Tapi negara-negara sosialis pun akhirnya harus mengakui keunggulan "ekonomi pasar" terhadap "ekonomi berencana". RRC banting setir pada 1979, lalu Eropa Timur dan Uni Soviet mengikuti belakangan ini. Ini tak berarti sosialisme sudah mati, tapi ekonomi dunia akan semakin terpadu dalam hubungan kait-mengait (interdependent). Ekonomi yang 100% kapitalis dan 100% sosialis tak ada lagi yang ada adalah berbagai campuran seperti gado-gado, akan tetapi mekanisme pasar bebas mendapat tempat yang semakin terhormat. Pronk juga menekankan, semua negara berkembang tak dapat menghindarkan keterkaitannya pada ekonomi dunia. Globalisasi ekonomi dunia adalah proses yang tak dapat dihentikan lagi. Tapi interdependensi baru ini perlu suatu sistem pengelolaan internasional, dan dia belum melihatnya. Tidak seperti yang diidam-idamkan Kelompok 77 pada 1970-an, namun tetap harus demokratis. Artinya, setiap negara, besar-kecil, kaya-miskin, harus bisa ikut bicara. Negara berkembang butuh bantuan dari negara industri, tapi negara industri butuh kerja sama dengan negara berkembang untuk mengamankan kelestarian sistem ekologi dunia. Sebagai orang sosialis, secara pribadi, dia cemas juga. Kekuatan ekonomi yang besar, yang akan memelopori globalisasi dan integrasi ekonomi dunia, adalah perusahaan multinasional, konglomerat, bank besar, pasar modal, teknologi unggul MNC, dan sebagainya. Di negara berkembang hidup berjuta-juta orang kecil, orang desa, yang tak dapat dilibatkan pada globalisasi pasar. Mereka adalah the forgotten people. Amanat orang miskin ini tetap masih harus didengarkan dan diperjuangkan. Maka, di sini Jan Pronk 1990 masih sama seperti Jan Pronk 1973: idealis, pendekar bagi si miskin, walau kadang tampak mirip Don Quichot, kesatria Spanyol dalam cerita khayal yang suka melawan kincir angin. Dia menyerukan agar dunia internasional melansir suatu intemational public sector program sebagai kompensasi terhadap kekuatan pasar dan unsur-unsur kapitalis yang akan memperkuat lagi golongan masyarakat di negara berkembang yang sudah maju, sudah kuat, sudah mapan. Dia juga menekankan bahwa negara berkembang dalam menghadapi tuntutan tahun 1990-an harus lebih mendemokratisasikan masyarakatnya, melakukan pembangunan yang partisipatif, mengusahakan pembangunan dari bawah (sebagai kompensasi dari pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah). Semua yang diuraikan Pronk bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Tapi kali ini diucapkan dengan penuh keyakinan oleh seorang tokoh internasional, ketua IGGI, sedang IGGI untuk tahun ini kebetulan telah memilih tema pokok "pembasmian kemiskinan" (sudah ditelapkan tahun yang lalu). Bagi masyarakat Indonesia, yang dewasa ini ramai mendiskusikan masalah pemerataan, masalah demokrasi ekonomi, masalah kesenjangan sosial, maka kontribusi Jan Pronk kepada dialog nasional ini harus sangat dihargai. Tapi juga Pemerintah RI menyadari bahwa RI menyadari bahwa glasnost (keterbukaan) akan membawa manfaat bagi kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini