Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyoal Tanggung Jawab Presiden

Diterima atau ditolak, pertanggungjawaban Presiden Habibie tetap tak akan berakibat hukum. Ketiadaan sanksi semacam ini semakin menafikan prinsip akuntabilitas publik.

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANGGUNGJAWABAN Presiden B.J. Habibie tinggal menunggu hitungan hari. Pekan ini, tepatnya Kamis, 14 Oktober 1999, presiden yang berkuasa selama 16 bulan masa transisi itu akan berpidato di depan Sidang Umum MPR. Bagi yang menganggap acara itu mirip "pengadilan", pidato pertanggungjawaban Habibie tentulah dikategorikan sebagai pleidoi. Di sisi lain, para pengamat politik jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa reaksi MPR terhadap pidato tersebut—menerima atau menolak—bisa dijadi-kan indikasi tentang layak-tidaknya Habibie dicalonkan sebagai presiden periode 1999-2004. Habibie sendiri tidak menggubris semua itu. Kendati pasar—melalui kejatuhan kurs rupiah dan indeks harga saham—telah memberi angka rendah bagi kinerja Habibie, sang presiden yakin bahwa peluangnya untuk dicalonkan sama besar dengan peluang calon lain. Selain itu, apakah pidato Habibie akan segera diikuti tanya-jawab, atau para wakil rakyat akan mempelajarinya dulu dan penilaiannya menyusul kemudian, itu pun belum ada kejelasan. Namun, apabila ditinjau dari sisi hukum, persoalannya cuma satu: apakah pertanggungjawaban Presiden Habibie punya arti dan akibat hukum. Soalnya, andaikata MPR menolak pidato Habbie, ia tak perlu dipecat karena masa tugasnya sudah habis. Kalaupun ada sanksi, "hukuman" itu lebih merupakan sanksi moral, misalnya berupa imbauan agar Habibie tak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Soal pertanggungjawaban presiden memang menjadi masalah hukum tata negara yang serius. Sebabnya sederhana: Batang Tubuh UUD 1945 tak memuat hal tersebut. Baru pada Penjelasan Umum UUD 1945, soal itu ada. Itu pun dengan rumusan amat singkat. Pada masa awal Orde Baru, ketentuan itu dikembangkan melalui penolakan MPR Sementara terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno. Beberapa tahun kemudian, lahirlah Ketetapan MPR No. III Tahun 1978, yang memungkinkan MPR memecat presiden bila pertanggungjawabannya ditolak. Dan itu hanya mungkin bila pertanggungjawaban presiden disampaikan sebelum akhir masa jabatannya. Tapi aturan itu tak diterapkan dengan alasan stabilitas nasional bisa terganggu kalau presiden setiap saat bisa dipecat. Alhasil, Presiden Soeharto selalu menyampaikan pertanggungjawaban pada akhir masa tugasnya kepada anggota MPR baru—ketentuan yang sangat janggal ini diterima sebagai ketentuan yang wajar—yang kemudian secara aklamasi menerima pertanggungjawaban itu. Akibatnya, prinsip kedaulatan rakyat telah dengan sengaja dinafikan. Kontrol wakil rakyat terhadap pemerintah menjadi tumpul, demokrasi dipreteli. Era reformasi kini tak lagi mengakomodasi penyimpangan-penyimpangan semacam itu. Ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Soewoto, berpendapat seharusnya MPR bersidang setahun sekali untuk membahas pertanggungjawaban presiden. Gagasan ini cocok dengan rencana MPR periode 1999-2004, yang akan bersidang tiap tahun, dengan jadwal kerja sepanjang enam bulan dalam setahun. Dengan begitu, pengawasan dan mekanisme penjatuhan sanksi hukum terhadap presiden bisa dilakukan secara intensif. Kalau presiden mengundurkan diri—contoh: lengsernya Soeharto—MPR berwenang menilai kinerjanya. Soewoto juga mempersoalkan kriteria dalam Ketetapan MPR No. III/1978, yang merumuskan bahwa presiden bisa dipecat bila melanggar haluan negara. "Pengertian haluan negara itu mengambang dan... presiden bisa bersembunyi dengan aman di balik ketentuan itu," katanya. Mestinya, menurut Soewoto, kriteria untuk pemberhentian presiden mengacu pada Keputusan MPR Sementara yang menarik mandat dari Presiden Soekarno berdasarkan tuntutan rakyat. Atau karena presiden melanggar sumpah, menyalahgunakan wewenang, dan terlibat tindak pidana. Ini berarti, Ketetapan MPR No. III/1978 harus diubah. Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, menampilkan pandangan yang agak berbeda. Katanya, pertanggungjawaban presiden sebaiknya diatur dalam UUD 1945 yang diamandemen. Dalam amandemen itu perlu disebutkan bahwa pertanggungjawaban presiden harus disampaikan kepada MPR lama yang memberinya mandat, bukan kepada MPR baru. Tentu saja dengan catatan, mekanisme itu berlaku bila presiden dipilih oleh MPR. Tapi, kalau dipilih langsung oleh rakyat, tentu tak ada masalah pertanggungjawaban presiden. Yang mungkin ada, kelak, ialah impeachment (pemecatan), kalau presiden—oleh MPR—dinilai telah membuat kesalahan. Hanya sekarang, ketentuan mengenai pertanggungjawaban presiden masih didasarkan pada Ketetapan MPR No.III/1978. Dengan demikian, diterima atau tidak diterimanya pertanggungjawaban Habibie bergantung pada konfigurasi kekuatan politik di MPR yang baru, hasil pemilihan umum 1999. Happy Sulistyadi, Jalil Hakim (Surabaya) dan Raihul Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus