TIMOR Timur ternyata masih saja merepotkan Presiden B.J. Habibie. Padahal, dalam dua pekan ke depan, masa tugasnya akan berakhir. Kali ini sumber penyebabnya tak bisa diabaikan, yakni Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Syahdan, pada 27 September lalu, komisi ini mengeluarkan resolusi pembentukan komisi penyelidik internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Bila komisi itu sudah beroperasi di Timor Timur, hasilnya akan diajukan ke Mahkamah Internasional.
Kalau itu terjadi, artinya Indonesia disejajarkan dengan Rwanda, Somalia, dan Bosnia-Herzegovina (negara bekas Yugoslavia), yang menjadi pesakitan internasional akibat kasus pembantaian manusia secara besar-besaran (genocide). Lampu merah dari badan PBB itu tentu saja membikin pemerintah Indonesia belingsatan. Habibie lalu buru-buru mengeluarkan senjata pamungkas berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jumat sore pekan silam.
Berdasarkan perpu itu, ditetapkan bahwa hukum Indonesialah yang akan menangani kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan demikian, hukum internasional melalui perangkatnya berupa komisi penyelidik ataupun mahkamah internasional tak boleh menyentuh kasus Timor Timur. "Kalau itu sudah diusut dan diadili di Indonesia, komisi internasional tak bisa mengadilinya," kata Erman Radjagukguk, Wakil Sekretaris Kabinet di Sekretariat Negara.
Sebagaimana laiknya senjata pamungkas, tentu perpu tersebut penuh keistimewaan. Pertama, meski kedudukan dan fungsinya sama seperti undang-undang, ia bisa secepatnya dibuat oleh presiden dan berlaku saat itu juga. Ini berbeda dengan undang-undang, yang mesti menunggu persetujuan DPR. Kedua, materinya ternyata mengamendemen berbagai undang-undang lain, misalnya undang-undang HAM yang menyatakan bahwa pengadilan HAM baru bisa dibentuk pada tahun 2001.
Undang-undang lain yang ditorpedo adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Kehakiman, Peradilan Umum, dan Peradilan Militer. Hal itu bisa ditilik dari ketentuan Perpu Pengadilan HAM yang memberikan wewenang penyelidikan kasus HAM kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Berdasarkan hal itu, pada Jumat lalu juga telah dibentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur. Anggotanya terdiri atas sembilan orang, yang berasal dari Komnas HAM dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, antara lain Munir, Zoemrotin, dan T. Mulya Lubis. Menurut Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman, komisi itu akan meneliti pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kekerasan lain di Timor Timur. Begitu pula soal hubungan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan milisi.
Kelak, hasil kerja Komnas HAM akan diproses di pengadilan HAM dengan menggunakan hakim ahli (ad hoc) di peradilan umum—untuk tahap pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan tersangkanya, bisa diancam hukuman mati.
Dari segi isi, sepintas perpu itu hebat. Tak demikian halnya bila ditilik dari alasan ke-luarnya perpu. Menurut Pasal 22 UUD 1945, perpu hanya dikeluarkan dalam keadaan tak normal, karena kegentingan yang memaksa, dan untuk menjamin keselamatan negara. Dengan begitu, alasan penerbitan perpu karena penyelidikan komisi internasional bisa merongrong kedaulatan dan harga diri Indonesia, bahkan juga mengancam keselamatan negara, tentu patut dipertanyakan.
Selain itu, seperti diakui oleh Asmara Nababan dari Komnas HAM, penggunaan Komnas HAM sebagai penyelidik dan pengadilan HAM menunjukkan bahwa peradilan di Indonesia semakin sulit dipercaya. Lagi pula, berbagai undang-undang yang diamendemen perpu itu sebetulnya sudah cukup untuk digunakan dalam proses peradilan kasus pelanggaran HAM.
Pertanyaan pun semakin bertambah bila menilik bahwa pelanggaran HAM di Indonesia sudah lama terjadi dan tak hanya di Timor Timur—di antaranya juga di Aceh dan Irianjaya. Belum lagi soal penembakan mahasiswa. Tapi kenapa selama ini pemerintah tak serius mengusutnya?
Ketua Pusat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Hendardi, merasa pesimistis bahwa penyelidikan oleh komisi tadi dan pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur akan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. "Perpu itu cuma propaganda menjelang masa akhir pemerintahan Habibie," katanya dalam nada menyelidik.
Happy Sulistyadi, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini