Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Taktik Pura-Pura Sakit

Untuk mengakali hukum, tersangka koruptor acap bersikap pura-pura sakit. Mestinya itu tanggung jawab jaksa. Atau memang ada main dengan tersangka?

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYO, koruptor, keluar! Jangan berkedok sakit. Kamu menipu rakyat." Tujuh pemuda berbaju loreng merah hitam berteriak keras-keras sembari menggedor pintu kamar Melati Nomor 2, Paviliun Airlangga, Rumah Sakit dr. Soetomo, Surabaya. Teriakan-teriakan pemuda anggota PDI Perjuangan itu serta-merta menimbulkan suasana gaduh di Paviliun Airlangga yang dihuni pasien kelas VIP. Namun, tak ada tanggapan sedikit pun dari dalam kamar yang tarifnya Rp 400 ribu sehari itu. Padahal, Zulfi Azwan, koordinator para pemuda tadi, merasa sangat yakin bahwa di sana mendekam Sudarsono Ongko Wijoyo alias Aping, orang yang diincarnya. Tapi mengapa? Setelah divonis enam tahun penjara karena kasus korupsi Rp 126 miliar di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Surabaya, mestinya Aping dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya, dan bukannya beristirahat di Paviliun Airlangga. Kenyataan itulah yang membuat Zulfi dan rekan-rekannya berang. Akhirnya satpam rumah sakit buru-buru membuka paksa pintu kamar tersebut, lewat kaca jendela nako. Tapi tak terlihat tanda-tanda keberadaan Aping. Satpam lalu mendobrak pintu kamar mandi. Benar saja. Di situ tampak Aping alias Sudarsono ketakutan. Polisi yang kemudian datang segera mengamankannya dari kemarahan kawanan Zulfi. Tapi Zulfi tetap tak percaya bahwa Sudarsono bakal dimasukkan ke penjara. Dari hasil investigasi Zulfi dan teman-temannya, sesungguhnya Sudarsono waras alias tidak sakit. Salah satu buktinya, pada pukul 13.30 sebelum digerebek pada Rabu dua pekan lalu itu, Sudarsono diketahui keluar dari rumah sakit dengan mengendarai mobilnya. Baru pada pukul 18.00, Sudarsono kembali ke kamarnya, setelah meninjau salah satu pabriknya. Tak salah lagi, Aping kebal hukum. Bagi Zulfi, kenyataan itu jelas menyakiti rasa keadilan masyarakat. Apalagi Sudarsono sebelumnya telah menjalani rawat inap—meski tak sakit—di rumah sakit yang sama, sejak awal perkaranya diperiksa oleh kejaksaan pada Mei 1998. Itu berarti Direktur PT Sumber Baru Wahana Sejahtera tersebut tak pernah ditahan oleh jaksa, bahkan sudah setahun lebih ia menikmati keistimewaan, dengan kata lain kebal hukum. Perlakuan serupa juga dinikmati rekan Sudarsono bernama Aseng atau Irwan Sunaryo. Aseng cuma sempat ditahan satu hari. Setelah itu, ia pun dirawat di rumah sakit dan kemudian bebas menghirup udara di luar hotel prodeo. Dalam kasus korupsi lewat modus ekspor kayu fiktif itu, Aseng lebih dulu dihukum sembilan tahun penjara. Sedangkan Sudarsono divonis pada 22 September 1999 oleh majelis hakim yang diketuai Andhika Wijaya di Pengadilan Negeri Surabaya. Lantas siapa yang mengistimewakan Sudarsono dan Aseng sampai setahun lebih? Pihak rumah sakit mengaku telah melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur. Bahkan, menurut Wakil Direktur Pelayanan Medik RS dr. Soetomo, dr. Abdus Syukur, instansinya sudah tiga kali menyurati Kejaksaan Negeri Tanjungperak, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Pengadilan Negeri Surabaya. Isi surat itu meminta agar Sudarsono dipindahkan karena sudah sembuh. Tapi kejaksaan menjawab bahwa pengadilanlah yang tak kunjung mengubah penetapan izin rawat inap Sudarsono. "Sesuai dengan etik dokter, kami tak mungkin mengusir pasien," ujar Abdus Syukur. Yang mengherankan, Hakim Andhika Wijaya mengaku belum menerima surat itu. Sementara itu, sebuah sumber di kejaksaan menyatakan bahwa Sudarsono pernah ditahan 20 hari. Penahanan itu kemudian tak diteruskan karena Sudarsono menderita komplikasi jantung, sakit kepala, dan stres. Hal itu berdasarkan keterangan dokter dari Kalisosok. Walhasil, Sudarsono dirawat di rumah sakit. Memang, setelah peristiwa penggerebekan itu, kejaksaan segera memerintahkan agar Sudarsono dipindahkan ke LP Kalisosok. Tapi sampai pekan lalu Sudarsono masih berada di kamarnya di RS dr. Soetomo. Bahkan kamar itu kini dijaga ketat oleh polisi dan petugas kejaksaan. Modus mengakali hukum dengan pura-pura sakit atau tercatat sebagai pasien rawat inap di rumah sakit acap dilakukan para tersangka ataupun terhukum korupsi. Terlebih mereka yang diduga terlibat kasus korupsi berskala besar, terutama di Jakarta. Bahkan, bila perlu, modus sakit dibuat dramatis. Tilik saja kisah mantan bupati Langkat, Sumatra Utara, Zulkifli Harahap, yang disangka korupsi Rp 5 miliar. Bila hendak diperiksa jaksa, Zulkifli kelihatan sangat stres, bahkan kemudian sakit parah, hingga koma. Hebatnya, ia lantas dirawat di sebuah rumah sakit di Bogor. Setelah itu, ternyata jaksa kehilangan jejaknya. Akibatnya, sudah setahun lebih perkaranya terkatung-katung. Happy S., Zed Abidien (Surabaya) dan Bambang Sudjiartono (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus