HAKIM, apa pengabdianmu dalam pembangunan?" Kalimat ini
terpampang sebagai tema Rapat Kerja Pengadilan Tinggi Banda Aceh
dengan para Ketua dan Panitera Pengadilan Tinggi se Aceh selama
dua hari sejak 29 Agustus yang lalu. Maksudnya sembari
pemerintah berkenan pula memperhatikan nasib hakim, "hendaknya
hakim menyadari berapa jauh ia sudah mengahdi kepada
pembangunan", berkata Syamsuddin Abubakar SH (43 tahun), Ketua
Pengadilan Tinggi daerah itu. Dan bagaimana masuknya dalam
pembangunan, ditunj ukkan pula oleh alumnus FH Universitas
Sumatera Utara itu: "Para hakim dapat pula menempatkan diri
dalam masalah pembaharuan hukum dalam mengambil keputusan sesuai
dengan keadaan dan tidak bersikap kaku".
Sekiranya ini di Jakarta pasti Syamsuddin akan mendapat tepukan
meriah setidak-tidaknya dari kalangan Peradin. Namun sambutan
gubernur Muzakkir Walad berikut, dapat diartikan sejalan dengan
semangat Syamsuddin. Gubernur ini berkata: "Di Aceh, hukum adat
itu masih hidup". Sama artinya bahwa ia masih dipakai di
kalangan masyarakat. Dari itu gubemur meminta perhatian para
hakim yang bertugas di situ untuk bisa menterjemahkan suasana
adat itu sehingga termuat dalam kereta sang pembangunan tadi.
Dalam pengertian sehari-hari di lingkungan adil-mengadili, maka
aparat penegak hukum itu haruslah pula betul-betul dapat
melaksanakan asas peradilan yang sederhana, cepat serta biaya
murah, seperti yang diperintahkan Undang-undang No 14/1970,
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Karena Raker itu (sudah
tentu) dihadiri pula oleh pejabat dari Pusat, maka harapan
Syamsuddin -- orang pertama yang ditugaskan menggarap pembentukan
lembaga Pengadilan Tinggi Aceh empat tahun yang lalu, setelah
berpisah dengan Pengadilan Tinggi Medan - agar "para hakim bersikap
terbuka dalam membcrikan laporan. Rakyat telah lama membuka mata
dan memasang telinga, menilai dan melihat cara-cara kita bekerja".
Tertumpuk 1092. Dan Hakim Agung Zainal Asikin Kusumah Atmadja
SH, orang Pusat itu, sudah siap pula dengan mata dan telinganya.
"Sebab itula}t maka sayapun datang kemari, mau melihat dan
mendengar secara langsung apa kesulitan dan hambatan yang sedang
dialami", kata Asikin, yang sebelumnya telah pula mengucapkan:
"Dalam keadaan yang minus komunikasi seperti di Aceh memang
bukan hal yang mudah serta masih sulit rnengurus dan menertibkan
dunia peradilan". Persis seperti yang dikatakan sendiri oleh
Syamsuddin Abubakar kepada TEMPO: "Nasib peradilan masih merana
benar di Aceh" - biarpun cerita perkara runyamnya pengadilan ini
bukan monopoli Aceh.
Syamsuddin memberikan data: "Pengadilan Tinggi Banda Aceh
dibentuk pada tahun 1969. Perkara-perkara yang berasal dari Aceh
dan yang sudah lama tertimbun di Medan, kemudian tentu harus
dilimpahkan kembali ke Banda Aceh. Proses ini sudah pasti jadi
berlarut-larut. Maka, sampai saat ini ada 1092 berkas perkara
yang masih tertumpuk di Pengadilan Tinggi serambi Mekkah itu.
Kesulitan Syamsuddin dan aparatnya, tidak hanya daiam hal sarana
dan biaya. "Tapi juga dalam masalah personil dan administrasi
terutama dalam soal panitera pengganti", lanjut Syamsuddin pula
tanpa menyebut bahwa bisa saja semuanya berinti dari kelangkaan
biaya, yang sudah amat jadi rahasia umum itu. Lantas sambung
Syamsuddin: "Tak heranlah kalau perkara-perkara selalu lambat
diadili".
120 juta. Ketua ini memaparkan pula kekuatan pasukannya. Ada 77
hakim (personalia seluruhnya 300 orang) -- yang SH cuma 30
(dengan 4 Flakim Tinggi), sedang sisanya hakim-hakim lepasan
Sekolah Hakim dan Jaksa (dulu SHD) Aceh memerlukan 17 hakim
lagi, sementara calon Hakim yang SH dan lagi magang di situ ada
7 orang pula. Jika penambahan ini dapat terpenuhi, maka mereka
akan segera ditempatkan pada 17 buah Pengadilan Negeri yang ada
di propinsi itu. Tentu saja, mudah diterka bahwa persoalan
kekurangan ini tidak d.ipendam Syamsuddin begitu saja. "Telah
berulang kali kita ajukan pada Mahkamah Agung", begitu
keterangan sang Ketua. Perkara kekurangan hakim dan kemelu
pengangkatan plus pencmpatan ini, sudah berita basi bagi orang
Jakarta (TEMPO, 30 September 1972 dan 2 Juni 1973). Tapi bagi
Syamsuddin, keterangan Asikin berikut ini mungkin berarti,
setidaknya tambah menyabarkan hati: "Soalnya memang ada
peraturan yang kaku untuk menempatkan tenaga hakim ke
daerah-daerah, selain budget untuk hakim selama ini memang
kecil". Diteruskannya: "Dan baru sekaranglah kepada Mahkamah
Agung diberikan 120 juta". Tanpa ragu, Asikin setuju penambahan
hakim di daerah kekuasaan Syamsuddin ini. Jelasnya,
kedatangannya ini, selain meresmikan Raker, juga guna menjajagi
pelaksanaan hal itu.
Penambahan sesungguhnya bukan belum terjadi. Bulan April kemarin
datang seorang hakim baru. Tentu ini tidak cukup. Dan secara
umum Syamsuddin mencoba menggambarkan faktor lain yang membuat
enggannya para hakim pindah ke daerah itu. "Ada yang menyangka
daerah Aceh iu, daerah yang terisolir di samping memang ada
hakim-hakim yang merasa keenakan di satu tempat saja. Apalagi
kalau ada hubungannya dengan soal objek mengobjek suatu perkara,
tahu sendirilah saudara", kata Syamsuddin kepada koresponden
Zakaria M. Passe yang turut menghadiri Raker tersebut. Masih
dalam nada keras, Ketua ini meneruskan: "Padahal sudah jelas,
kekuasan hakim bukanlah kekuasaan lmtuk dapat berbuat
sekehendaknya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini