Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Serba Lumayan Daripada Tidak

Koran-koran di Manado merosot, karena bahan cetaknya terbatas. PN percetakan negara yang ada di sana tak mampu lagi melayani penerbitan 10 koran. Akhirnya beberapa koran dicetak dengan memakai handzet.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN kemarin Sulawesi Utara sudah punya telepon otomat. Tapi di sektor percetakan mengalami kemunduran total. Koran-koran di sana bukan saja terbit dengan handzet alias cetak tangan, melainkan ada yang distensil. PN Percetakan Negara di Menado sudah tak mampu lagi mencetak sepuluh koran yang terbit di sana. Bukan hanya tak bisa menjamin waktu terbit yang tepat, mutu cetaknya pun kian lama semakin merosot. Persediaan bahan baku seperti timah pun tak mencukupi. Anehnya dua buah penerbitan yang di cetak di itu PN masih bisa terbit teratur. Barangkali karena keduanya milik pe merintah. Yaitu Bullerin Sulut, organ pemerintah daerahnya gubernur Worang dan Wibawa, suara Hankam setempat. J. Tobing sendiri sudah angkat tangan. Kepala PN Percetakan Negara ini semula memang menentukan jadwal waktu terbit bagi koran-koran yang dicetaknya. Tapi karena keadaan percetakan demikian buruk, jadwal terpaksa ia langgar sendiri. Walhasil, keterlambatan terbit sampai tak kurang dari seminggu, sudah hal yang lumrah. Jangankan para penerbit memimpikan korannya bisa dicetak offset, dengan letterpress yang agak bentlutu sedikit saja sulit melaksanakannya. Lebih sulit lagi bagi Tobing. Untuk punya kesempatan meningkatkan mutu percetakannya. Pengamanan. Jangankan memperbaharui peralatan dan mesin-mesin, membayar gaji para karyawan saja tak sanggup. Malah ada pegawai harian yang sampai tujuh. bulan tidak menerima honorarium. Sampai-sampai Tobing menulis surat edaran agar para karyawan bersabar dulu karena gaji dan uang lembur belum bisa dibayarkan. ebabnya tentu saja ada, yaitu begitu banyaknya para langganan yang menunggak-bayar. Harian Sultara yang terbit di Menado menulis, ada sebuah penerbit yang menunggak sampai Rp 3 juta. Tak ayal lagi, buat menutup biaya rutin, percetakan terpaksa pinjam uang sana-sini. Dan hutang plus bunga yang cukup tinggi itu, kabarnya belum juga lunas sampai kini. Para penerbit boleh saja menyalahkan percetakan yang mereka anggap brengsek, sembari tak membayar ongos cetak. Tapi tentu Tobing juga punya kebijaksanaan sendiri buat mengambil la1lgkah-langkah pengamanan. Dengan dalih semakin naiknya harga kebutuhan sehari-hari -- dan tentu saja juga untuk nlenutup o,ngkos-ongkos lain -- dinaikkanlah tarif cetak surat kabar di sana. Kalau sudah demikian, para penerbit boleh menjeritkan sayonara kepada PN itu. Apa boleh buat. Beberapa koran malah sudah menghentikan penerbitannya untuk kemudian terbit lagi sebelum jangka waktu enam bulan. Ini sekedar menghindari peraturan Departemen Penerangan yang menyebutkan bahwa penerbitan yang selama enam bulan tidak terbit, Surat Izin Terbitnya bisa dicabut. Lalu bagaimana jalan keluar yang paling mudah? Beberapa koran memutuskan buat terbit dengan cetakan handzet. Caranya: memesan huruf banyakbanyak dari Jawa. Setelah rapi disusun dan kuat-kuat dikunci pada raam, lalu diangkut ke percetakan swasta yang memiliki mesin cetak ukuran koran. Tentu saja cara ini lebih mudah. Dan konon wajah koran akan lebih baik. Selama ini, kecuali huruf-huruf Percetakan Negara sudah aus karena tak pernah diganti, jenis huruf buat kepala berita juga sangat kurang bervariasi. Profesi tercinta. Untuk memesan huruf yang berjenis-jenis itu, tentu dibutuhkan pula banyk uang. Tapi karena dengan begitu ketepatan terbitnya lebih terjamin, para penerbit pun sudah bcltekad buat melangkah ke sana. Sebb sekalipun dari letterpress nampaknya mundur menjadi handzel, tapi dilihat dari kerapihan dan ketepatan terbit, para penerbit di Sulawesi Utara menganggapnya justru sebagai kemajuan. Sekalipun tak mungkin terbit tiap hari, paling tidak dua kali seminggu. Artinya lebih lumayan dari pada dicetak di Percetakan Negara tapi terbit dua minggu sekali. Pos Sulut misalnya beberapa waktu liwat sudah mencoba cara ini. Tapi sebelum bisa dikatakan sukses, Pos Sulut sudah semakin 'maju' lagi selangkah. Sejak pertengahan Pebruari yang lalu, bersama-sama dengan Merdeka Press dan Pikiran Baru, Pos Sulut terbit dengan stensilan! "Masa lalu adalah masa prihatin", tulis Merdeka Press, seolah sudah puas dengan stensilan. "Tapi ada yang lebih menggugah hati kami buat melihat ke depan demi profesi yang tercinta". Maksudnya terimalah keadaan ini dari pada tidak terbit sama sekali. Tapi pada tanggal 30 Maret mereka benar-benar terpaksa prihatin. RS Buyung BA, kepala Jawatan Penerangan Sulawesi Utara, menulis surat kepada mereka, melarang penerbitan stensilan semacam itu. Disarankan, agar mereka mengajukan lagi permohonan SIT baru bagi jenis penerbitan stensilan seperti itu Maka ketiga penerbit stensilan itu pun menjawab bahwa itu hanya bersifat sementara saja, menunggu kesempatan dicetak secara normal. Soalnya, sebagaimana diungkapkan berdasarkan pengalaman Pos Sulut, ternyata percetakan swasta di Menado tak ada yang memiliki mesin-mesin dengan ukuran koran biasa. Akhirnya, tak urung frustrasi pun meledak. Beberapa penerbit menuduh RS Buyung BA tidak ada niat buat membina kehidupan pers daerah. Seba liknya mengadakan diskriminasi, Bukti nya, dua dari delapan koran yang tahun lalu dianggap tak mampu terbit, sekarang bisa dicetak lagi di PN Percetakan Negara meskipun rekomendasi cetak buat memperoleh SIT bukan dari PN tersebut. Kedua koran itu ialah Aren4 Peristiwa dan Warta Utara yang konon juga atas upaya sang kepala Japen Dan tuduhan-tuduhan pun dilanjutkan Konon usaha Buyung buat menjadikan penerbit-penerbit surat-kabar di sana menjadi sebuah PT dianggap sebagai su atu paksaan. Dan gagasan semacam ini kabarnya pernah ditentang oleh Budiardjo, Menteri Penerangan waktu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus