BULAN kemarin Sulawesi Utara sudah punya telepon otomat. Tapi di
sektor percetakan mengalami kemunduran total. Koran-koran di
sana bukan saja terbit dengan handzet alias cetak tangan,
melainkan ada yang distensil. PN Percetakan Negara di Menado
sudah tak mampu lagi mencetak sepuluh koran yang terbit di sana.
Bukan hanya tak bisa menjamin waktu terbit yang tepat, mutu
cetaknya pun kian lama semakin merosot. Persediaan bahan baku
seperti timah pun tak mencukupi. Anehnya dua buah penerbitan
yang di cetak di itu PN masih bisa terbit teratur. Barangkali
karena keduanya milik pe merintah. Yaitu Bullerin Sulut, organ
pemerintah daerahnya gubernur Worang dan Wibawa, suara Hankam
setempat.
J. Tobing sendiri sudah angkat tangan. Kepala PN Percetakan
Negara ini semula memang menentukan jadwal waktu terbit bagi
koran-koran yang dicetaknya. Tapi karena keadaan percetakan
demikian buruk, jadwal terpaksa ia langgar sendiri. Walhasil,
keterlambatan terbit sampai tak kurang dari seminggu, sudah hal
yang lumrah. Jangankan para penerbit memimpikan korannya bisa
dicetak offset, dengan letterpress yang agak bentlutu sedikit
saja sulit melaksanakannya. Lebih sulit lagi bagi Tobing. Untuk
punya kesempatan meningkatkan mutu percetakannya.
Pengamanan. Jangankan memperbaharui peralatan dan mesin-mesin,
membayar gaji para karyawan saja tak sanggup. Malah ada pegawai
harian yang sampai tujuh. bulan tidak menerima honorarium.
Sampai-sampai Tobing menulis surat edaran agar para karyawan
bersabar dulu karena gaji dan uang lembur belum bisa dibayarkan.
ebabnya tentu saja ada, yaitu begitu banyaknya para langganan
yang menunggak-bayar. Harian Sultara yang terbit di Menado
menulis, ada sebuah penerbit yang menunggak sampai Rp 3 juta.
Tak ayal lagi, buat menutup biaya rutin, percetakan terpaksa
pinjam uang sana-sini. Dan hutang plus bunga yang cukup tinggi
itu, kabarnya belum juga lunas sampai kini.
Para penerbit boleh saja menyalahkan percetakan yang mereka
anggap brengsek, sembari tak membayar ongos cetak. Tapi tentu
Tobing juga punya kebijaksanaan sendiri buat mengambil
la1lgkah-langkah pengamanan. Dengan dalih semakin naiknya harga
kebutuhan sehari-hari -- dan tentu saja juga untuk nlenutup
o,ngkos-ongkos lain -- dinaikkanlah tarif cetak surat kabar di
sana. Kalau sudah demikian, para penerbit boleh menjeritkan
sayonara kepada PN itu. Apa boleh buat. Beberapa koran malah
sudah menghentikan penerbitannya untuk kemudian terbit lagi
sebelum jangka waktu enam bulan. Ini sekedar menghindari
peraturan Departemen Penerangan yang menyebutkan bahwa
penerbitan yang selama enam bulan tidak terbit, Surat Izin
Terbitnya bisa dicabut.
Lalu bagaimana jalan keluar yang paling mudah? Beberapa koran
memutuskan buat terbit dengan cetakan handzet. Caranya: memesan
huruf banyakbanyak dari Jawa. Setelah rapi disusun dan kuat-kuat
dikunci pada raam, lalu diangkut ke percetakan swasta yang
memiliki mesin cetak ukuran koran. Tentu saja cara ini lebih
mudah. Dan konon wajah koran akan lebih baik. Selama ini,
kecuali huruf-huruf Percetakan Negara sudah aus karena tak
pernah diganti, jenis huruf buat kepala berita juga sangat
kurang bervariasi.
Profesi tercinta. Untuk memesan huruf yang berjenis-jenis itu,
tentu dibutuhkan pula banyk uang. Tapi karena dengan begitu
ketepatan terbitnya lebih terjamin, para penerbit pun sudah
bcltekad buat melangkah ke sana. Sebb sekalipun dari letterpress
nampaknya mundur menjadi handzel, tapi dilihat dari kerapihan
dan ketepatan terbit, para penerbit di Sulawesi Utara
menganggapnya justru sebagai kemajuan. Sekalipun tak mungkin
terbit tiap hari, paling tidak dua kali seminggu. Artinya lebih
lumayan dari pada dicetak di Percetakan Negara tapi terbit dua
minggu sekali. Pos Sulut misalnya beberapa waktu liwat sudah
mencoba cara ini. Tapi sebelum bisa dikatakan sukses, Pos Sulut
sudah semakin 'maju' lagi selangkah. Sejak pertengahan Pebruari
yang lalu, bersama-sama dengan Merdeka Press dan Pikiran Baru,
Pos Sulut terbit dengan stensilan! "Masa lalu adalah masa
prihatin", tulis Merdeka Press, seolah sudah puas dengan
stensilan. "Tapi ada yang lebih menggugah hati kami buat melihat
ke depan demi profesi yang tercinta". Maksudnya terimalah
keadaan ini dari pada tidak terbit sama sekali. Tapi pada
tanggal 30 Maret mereka benar-benar terpaksa prihatin. RS Buyung
BA, kepala Jawatan Penerangan Sulawesi Utara, menulis surat
kepada mereka, melarang penerbitan stensilan semacam itu.
Disarankan, agar mereka mengajukan lagi permohonan SIT baru bagi
jenis penerbitan stensilan seperti itu Maka ketiga penerbit
stensilan itu pun menjawab bahwa itu hanya bersifat sementara
saja, menunggu kesempatan dicetak secara normal. Soalnya,
sebagaimana diungkapkan berdasarkan pengalaman Pos Sulut,
ternyata percetakan swasta di Menado tak ada yang memiliki
mesin-mesin dengan ukuran koran biasa.
Akhirnya, tak urung frustrasi pun meledak. Beberapa penerbit
menuduh RS Buyung BA tidak ada niat buat membina kehidupan pers
daerah. Seba liknya mengadakan diskriminasi, Bukti nya, dua dari
delapan koran yang tahun lalu dianggap tak mampu terbit,
sekarang bisa dicetak lagi di PN Percetakan Negara meskipun
rekomendasi cetak buat memperoleh SIT bukan dari PN tersebut.
Kedua koran itu ialah Aren4 Peristiwa dan Warta Utara yang konon
juga atas upaya sang kepala Japen Dan tuduhan-tuduhan pun
dilanjutkan Konon usaha Buyung buat menjadikan penerbit-penerbit
surat-kabar di sana menjadi sebuah PT dianggap sebagai su atu
paksaan. Dan gagasan semacam ini kabarnya pernah ditentang oleh
Budiardjo, Menteri Penerangan waktu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini