BAGI seorang Hakim Agung seperti Zainal Asikin Kusumah Atmadja,
kenyataan sudah "baru" nya Aceh, mungkin masih baru. Tapi baik
juga didengar penglihatan dan komentar pejabat tinggi peradilan
itu: "Ada seorang gadis yang berjalan dengan seorang pemuda. Ia
mengenakan slack. Tapi rupanya di Aceh hal demikian sudah tidak
menjadi persoalan, meskipun hal-hal yang menyolok seperti di
Jakarta memang tak ada di sini".
Boleh diteak, ilustrasi Asikin ini ada kaitannya dengan
sebab-sebab enggannya para hakim dimutasikan ke Daerah Istimewa
ini. Karena tertutup dan tidak mudah menerima pengaruh baru dari
luar, barangkali saja bisa mendeponir idealisme hakim, yang
diharapkan jadi pembaharu itu (lihat: Peradilan: Meraa Di
Serambi Mekah). Entahlah. Namun Asikin sempat mengemukakan
"Berilah tunjangan yang sesuai dengan kebutuhan seorang hakim di
daerah mana ia ditempatkan. Perkara kurangnya tunjangan, menuru
Asikin "bisa merugikan seorang hakim yang patuh dan disiplin,
sehingga semangatnyapun bisa hilang". Jadi sementara ada yang
terbenam keasikan di satu daerah yang basah, tak heran kalau
banyak pula yang terbenam di daerah yang jauh dari kelopak mata
Pusat.
Perkara basah. Soal kerenya pengadilan di daerah, menurut Asikin
ada juga sangkutannya dengan sisa-sisa Orla: bahwa Mahkamah
Agung kurang mendapat peran dalam membina hakim-hakim. Namun
Asikin tidak bermaksud mencari biang kesalahan. Pokoknya "wibawa
hakim harus terpelihara di mata masyarakat", ditambahkannya. Di
sini mau tak mau orang harus membuat inventarisasi tentang pola
laku sementara hakim. Menurut Asikin, ada yang suka bermain-main
dengan "perkara basah". Di sini penyelesaian perkara didahului
oleh perbuatan tawar menawar. "Ini pengadilan objek", Asikin
memberi nama. Lantas dia katakan pula: "Kalau hal ini dibiarkan
berlarut-larut, maka fungsi dan wibawa hakim bakal merosot dan
keadilan itu tidak akan terwujud".
Sehubungan dengan ini. kabarnya Mahkamah Agung akan mengadakan
penelitian terhadap hakim-hakim yang bertugas di Pengadilan
Negeri -- sementara kepada calon-calon hakim diadakan skrining
ketat pula. Selain itu, "kalau ada seorang hakim yang berbuat
curang dan salah, maka sekarang ia akan dipanggil Mahkamah
Agung", begitu kata Asikin, bahkan "biaya atau ongkos memenuhi
pemanggilan itu juga ditanggung Mahkamah Agung". Agaknya Asikin
tidak menyombong, karena bukankah Mahkamah tersebut mendapatkan
biaya 120 juta rupiah?
Ada backing-lah. Namun begitu, Hakim Agung ini tidak
mengemukakan apakah sudah ada hakim yang kena panggil dan
diterbangkan (atau dilayarkan?) ke Jakarta. Di Medan sendiri --
tentu juga seperti di tempat lain -, untuk mengambil tamsil yang
dikirimkan koresponden TEMPO dari Medan, sinyalemen soal perkara
"basah" dan "kering" bukan rahasia lagi. "Sudah sering ada, tapi
sulit diungkapkan karena tidak diperoleh bukti-bukti hitam di
atas putih". Idem dito dengan penyelesaian perkara di luar
pengadilan. Tentu saja sang hakim tidak berdiri sendiri. Ada
backing-lah!
Kembali ke Asikin. "Walaupun gaji hakim itu kecil", ia
mengingatkan "bukanlah berarti ia harus mengobjekkan sebuah
perkara untuk mencukupi biaya hidupnya". Usahausaha intern dari
atasan terdapat ada dalam bentuk kerapnya diadakan penataran.
"Karena sifatnya seperti training dalam tentara", ucap Asikin
lagi. Berat kerja tentara, berat pula kerja hakim, sebab bak
kata Asikin, "keadilan itu hanya dapat dirasa dan tidak dapat
diraba".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini