Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA pekan sebelum pindah ke portofolio barunya sebagai Menteri Negara BUMN, Sofyan Djalil meninggalkan legacy berupa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers (UU Pers). Rancangan produk Departemen Komunikasi dan Informatika semasa Djalil memimpin itu praktis akan menguburkan kemerdekaan pers. Kelihatannya rancangan itu sekarang menemukan batu cadas besar justru di tempatnya dilahirkan. Menteri baru yang menggantikan Djalil, Muhamad Nuh, patut diharapkan menjadi batu cadas itu.
Bukan tanpa alasan berharap pada Nuh. Dalam pertemuan dengan Dewan Pers pada 8 Juni di kantor Dewan Pers, Nuh menyerahkan soal revisi UU Pers itu kepada Dewan Pers. ”Semua terserah sampeyan,” katanya. Dia menganjurkan agar UU Pers itu di-review dulu sebelum direvisi.
Sedikitnya ada dua alasan kuat untuk menyelamatkan kemerdekaan pers Indonesia dari kuburnya. Pertama, sikap resmi Dewan Pers yang menolak revisi UU Pers jika tujuannya untuk mengontrol kemerdekaan pers. Kedua, UU Nomor 5/2006 tentang ratifikasi UN Covenance on Civil and Political Rights yang menjamin kemerdekaan pers.
Dua alasan itu sangat bertentangan dengan revisi versi ”Depkominfo Sofyan Djalil”. RUU perubahan atas UU Pers menghapus semua kata ”kemerdekaan pers” dari diktum konsideransnya, padahal itu sebuah istilah menonjol dan diagungkan UU Pers. Pemerintah mengganti kata ”kemerdekaan pers” dengan kata ”pembangunan nasional yang berkesinambungan”—sebuah istilah yang lazim digunakan dalam pemerintahan sistem perencanaan terpusat (centralise national planning system).
RUU itu mengembalikan kekuasaan pemerintah untuk mengontrol pers lewat sejumlah pasal yang memberinya hak untuk menetapkan peraturan pemerintah. Termasuk hak untuk membredel dan melarang penyiaran—gagasan yang rupanya lama menjadi obsesi Soyan Djalil ketika menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika.
Sudah lama Sofyan Djalil berkeras menentang dimasukkannya badan usaha milik negara ke dalam rezim RUU Keterbukaan Informasi Publik—meskipun BUMN adalah lembaga yang menggunakan dana publik dan melayani kepentingan publik. Mungkin ”semangat” itu juga yang menjadi pertimbangan dalam menyusun RUU Perubahan UU Pers.
Kalau RUU Perubahan UU Pers itu diundangkan sebagaimana adanya sekarang, maka 114 badan usaha milik negara/daerah yang selama ini menjadi sapi perah partai atau penguasa akan bebas dari kontrol masyarakat dan terus menjadi sumber korupsi. Sejumlah perubahan lain juga menunjukkan betapa kuat hasrat mengontrol pers itu.
Tata cara pers melayani hak koreksi dan hak jawab—yang di negara mana pun menjadi hak redaksi—akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 5 ayat 4 RUU Perubahan Undang-Undang Pers). Cara lain yang ditempuh pemerintah untuk mengontrol pers adalah mengembalikan sistem Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (yang kondang dengan singkatan SIUPP) lewat apa yang disebut Standar Persyaratan Perusahaan Pers (SPPS) yang ketentuannya ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 9 ayat 3 dan 4).
Dengan SPPS itu pemerintah menetapkan modal minimum bagi seseorang untuk mendirikan perusahaan pers. Melalui SPPS itu pemerintah berusaha membatasi munculnya media-media cetak yang tempo-tempo terbit tapi tempo-tempo mangkir, tapi sekaligus menciptakan batas: hanya pemodal besar yang bisa menerbitkan media cetak.
Pemerintah barangkali beranggapan media yang ditopang oleh modal besar akan terbit dengan langgeng. Tapi kenyataan menunjukkan sejumlah media cetak gulung tikar setelah hanya beberapa kali terbit, meskipun pemodal raksasa menopang mereka. Lagi pula, peraturan pemerintah yang menetapkan batas modal minimal untuk menerbitkan media cetak bisa merupakan pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk berekspresi dan menyatakan pendapat serta hak untuk berusaha yang dijamin oleh konstitusi.
Melalui RUU Perubahan UU Pers, pemerintah juga mencampuri urusan perusahaan pers dengan menetapkan standar ”pendapatan yang layak” bagi wartawan. Ini sebuah usaha yang sudah lama diupayakan Serikat Penerbit Suratkabar, namun tanpa hasil karena soal gaji merupakan urusan antara media dan wartawannya. Penetapan gaji banyak bergantung pada tingkat kompetensi dan profesionalisme si wartawan.
Dengan RUU Perubahan UU Pers, Depkominfo agaknya berusaha menghabisi media-media cetak yang dikelola secara tidak profesional. Pada saat yang sama, departemen itu mencoba merebut hati sejumlah wartawan yang selama ini mengeluh mendapat gaji tak cukup dan karenanya berdalih terpaksa menerima ”amplop”. Kita tahu ini sebuah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.
UU Pers memang perlu revisi di sana-sini agar kemerdekaan pers semakin kokoh. Namun, RUU Perubahan UU Pers, yang kental dengan semangat mengontrol pers, sudah seharusnya kita tolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo