Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Abu Dujana adalah keberhasilan besar bagi polisi, meskipun signifikansinya tidak perlu dibesar-besarkan. Setumpuk informasi baru diharapkan bisa muncul, terutama tentang struktur, pendanaan, rekrutmen, kepemimpinan, rencana, dan aliansi Jemaah Islamiyah (JI) dengan organisasi lain. Ini akan membuat organisasi jihad terbesar di kawasan Asia Tenggara itu semakin sulit bekerja di bawah tanah. Namun, ini bukan berarti tamatnya JI ataupun terorisme di Indonesia.
Abu Dujana dan Organisasi JI
Abu Dujana adalah tokoh kunci dalam tubuh JI, tapi dia melapor kepada komandan yang lebih tinggi—Nuaim alias Abu Irsyad alias Syahroni alias Zuhroni, veteran perang Afganistan kelahiran Jakarta, yang sekarang berusia sekitar 45 tahun. Nuaim pernah menjadi kepala Mantiqi II Jemaah Islamiyah, komando teritorial yang membawahi sebagian besar wilayah Indonesia. Subur Sugiarto, salah satu kepala pelaksana operasi Bom Bali II, dalam berkas pemeriksaannya menyatakan Abu Irsyad adalah amir baru JI. Ini masuk akal sebab, ketika komando di wilayah Singapura, Malaysia, Filipina dan Australia dihancurkan dan terpecah belah, kepala divisi JI di Indonesia otomatis menjadi pemimpin puncak dalam hierarki organisasi ini.
Abu Dujana dan Nuaim adalah anggota komando sentral (markaziyah) dan tidak jelas benar siapa lagi yang masih aktif di level itu. Zulkarnaen, komandan sayap militer JI pada saat terjadi Bom Bali I, bisa jadi termasuk satu figur di sana, meskipun tampaknya dia telah menghilang sejak beberapa tahun lalu. Noor Din M. Top tidak pernah memegang posisi yang berkaitan dengan kekuasaan, dan dalam beberapa kasus kelihatan ia telah meninggalkan JI untuk membentuk organisasi sendiri pada sekitar 2003. Dulmatin dan Umar Patek, yang namanya sering disebut-sebut sebagai buron nomor wahid, juga tidak pernah menjadi pejabat senior dan sekarang beroperasi di luar struktur JI sejak melarikan diri ke Mindanao, Filipina, pada 2003.
Sejak peledakan Bom Bali II, organisasi JI bergerak cepat untuk mengganti mereka yang tertangkap atau terbunuh. Sejak 2002, misalnya, komandan JI di Jawa Timur saja sudah berganti setidaknya empat kali. Tapi suplai figur baru ini tentu saja terbatas, pengalaman mereka pun makin lama makin menurun. Jika strukturnya diamati dari atas ke bawah, tampak jelas bahwa JI sudah makin lemah, terutama lima tahun terakhir ini. Untuk memahami daya tahan dan kemampuan adaptasinya, penting untuk tidak hanya melihat tokoh, tapi juga ikatan-ikatan yang menyatukan para kader JI di tingkat akar rumput.
Ikatan persaudaraan sudah dicatat cukup baik selama ini. Banyak anggota JI yang mempunyai kakak atau adik dalam pergerakan yang sama: beberapa pria menikahi adik perempuan dari rekan sesama ”mujahidin”. Sel al-Ghuroba di Karachi, Pakistan, hampir semuanya beranggotakan adik-adik para anggota JI dari Malaysia, yang ketika itu dikelola oleh Mantiqi I.
Ikatan pendidikan juga penting, terutama organisasi alumni. Angkatan 1995 di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, misalnya, menghasilkan pengebom Hotel Marriott: Asmar Latin Sani, Mohamed Rais yang sekarang mendekam di penjara Cipinang dan pernah memimpin JI Afganistan meski hanya sebentar pada 2000, serta Salahuddin al-Ayubi yang terlibat pengeboman Atrium. Salahuddin tertangkap pada operasi Wonosobo, April 2006. Ikatan di sekolah ini mulai terjalin sejak usia muda: di Semarang Timur, anggota JI yang diciduk karena terlibat Bom Bali II semuanya bertemu ketika bersama-sama menjemput anak-anak mereka yang bersekolah di sebuah sekolah dasar.
Satu aspek yang kurang banyak diperhatikan adalah ikatan bisnis. Masih di Semarang, satu perusahaan cleaning service yang dimiliki anggota JI menyediakan pekerjaan untuk setidaknya empat anggota lain. Keuntungan dari usaha ini sebagian disumbangkan untuk kegiatan JI. Banyak anggota yang menjalankan usaha multi-level marketing produk herbal dan komoditas lain. Dalam usaha ini, seorang manajer bisa merekrut tujuh orang lain sebagai agen, kemudian masing-masing merekrut tujuh orang lagi, begitu seterusnya. Model begini memperkuat ikatan sosial di antara para anggota pengajian dan sekaligus menghasilkan keuntungan untuk kelompok itu.
Semua pemaparan ini untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan memang penting, tetapi bahkan jika 10 tokoh tertinggi dalam struktur JI tertangkap, basis massa mereka akan bertahan. Kondisi ini tak berbeda dengan Darul Islam (DI) yang hidup terus meski seluruh jajaran pemimpin mereka ditangkap pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Abu Dujana dan Noor Din Top
Sebagian besar laporan tentang Abu Dujana, termasuk dari polisi, menyebutkan bahwa tokoh ini memainkan peran penting dalam pengeboman di Jakarta dan Bali sejak 2002. Jika benar, ini tentu amat janggal. Usaha percobaan pembunuhan Duta Besar Filipina di Jakarta, pengeboman pada malam Natal 2000, bom Atrium pada 2001, dan Bom Bali I adalah hasil operasi JI yang dikerjakan orang-orang Hambali, Mukhlas, dan tokoh-tokoh di struktur JI yang sampai akhir 2001 masih bermarkas di Pesantren Lukmanul Hakiem di Malaysia.
Hanya kasus Bom Hotel Marriott yang masih menjadi tanda tanya. Soalnya, Noor Din dan Azahari bertemu dengan Abu Dujana di sebuah hotel di Bandar Lampung dua bulan sebelum pengeboman, dan bertemu kembali tak lama setelah insiden itu. Namun, tak pernah jelas apakah Abu Dujana ketika itu menyetujui pengeboman, menyediakan dengan aktif semua logistik yang dibutuhkan, atau bahkan menyarankan operasi itu ditunda. Tak jelas apakah Abu Dujana saat itu hanya setuju untuk membantu membereskan urusan setelah peledakan, termasuk melindungi para pelakunya.
Kita harus menunggu persidangan Abu Dujana untuk mengetahui secara pasti. Namun, sangat mengejutkan jika dia memang terlibat dalam pengeboman di Kedutaan Australia atau Bom Bali II, di luar upayanya menyembunyikan Noor Din. Soalnya, semua bukti sejauh ini menunjukkan bahwa Abu Dujana menentang gaya dan taktik Noor Din yang mirip Al-Qaidah, dengan menyerang target Barat di Indonesia, terutama jika sangat banyak muslim yang menjadi korban akibat serangan itu.
Ini tentu menimbulkan dua pertanyaan. Apakah penangkapan Abu Dujana akan punya dampak pada ancaman berikutnya dari Noor Din? Dan kalau Abu Dujana sejak awal tidak setuju dengan taktik Noor Din, maka apa saja yang dikerjakan sayap militer yang dia pimpin dan apa akibat penangkapan ini terhadap kekuatan struktur militer JI?
Abu Dujana jelas tahu di mana Noor Din bersembunyi. Dalam laporan terdahulu, kami berspekulasi bahwa Noor Din berada di bawah perlindungan JI dengan imbalan Noor Din bersedia tiarap dan menahan diri untuk tidak melancarkan serangan baru. Dalam keadaan apa pun, kapasitas Noor Din untuk menyerang juga sudah sangat terbatas akibat kematian Azahari pada November 2005 dan dua kader di lingkaran terdekatnya yang tewas pada operasi polisi di Wonosobo, April 2006. Tapi dua anak muda yang pernah bekerja sama dengannya pada persiapan bom Kedutaan Besar Australia baru saja bebas dari penjara pada Maret 2007, dan satu operator utama Bom Bali II, Reno alias Tedy, masih buron.
Jika pelindung utama Noor Din kini ditahan polisi, Noor Din dan orang-orang di sekelilingnya bisa saja memutuskan bahwa tidak ada ruginya melancarkan satu serangan baru, meski keterbatasan personel dan alat akan membuat mereka kesulitan merancang teror dalam skala seperti Bom Bali I. Penangkapan Noor Din akan mengurangi risiko macam ini, namun tidak menghilangkannya sama sekali. Dari kesaksian para tersangka peledakan Bom Bali II terungkap bahwa sejumlah kader muda JI kehilangan kesabaran melihat kehati-hatian dan tidak aktifnya para senior mereka. Karena itu, kemunculan sebuah kelompok pecahan baru bukannya tidak mungkin.
“Arus utama” dalam tubuh JI sejak awal sebenarnya lebih peduli pada musuh di tingkat lokal. Gerakan Jihad di Poso pascapenandatanganan Malino adalah proyek JI—Abu Dujana amat terlibat di sana. Penangkapan dirinya, yang terjadi setelah operasi polisi di Poso pada Januari silam menciduk banyak pelaku lokal, akan amat membantu mempertahankan perdamaian di sana. Di sisi lain, penangkapan ini sekaligus meningkatkan determinasi anggota JI yang tersisa untuk menjadikan polisi sebagai sasaran atas serangan-serangan mereka.
Proyek Polisi?
Setelah penangkapan Abu Dujana, sejumlah pengamat menuding polisi sengaja tidak menangkap para pelaku teror secara bersamaan, namun mencokoknya satu demi satu, supaya dana untuk penanggulangan terorisme bisa terus mengalir. Pendapat ini tidak adil dan tidak berdasar.
Benar bahwa polisi dan pihak lain memiliki daftar nama lusinan anggota JI di seluruh Indonesia. Mereka bisa saja menangkap dan menahan semuanya jika Indonesia memiliki Internal Security Act seperti Malaysia dan Singapura. Namun, Indonesia pasca-Soeharto dengan bijak memilih untuk menghindari penahanan preventif secara besar-besaran atas nama penguatan demokrasi. Menurut saya, ini pilihan yang amat tepat, dan tekanan untuk menerapkan aturan ala ISA harus ditolak mentah-mentah. Tentu saja, ini berarti polisi baru bisa melakukan penangkapan jika mereka merasa sudah memiliki bukti cukup yang bisa meyakinkan hakim di pengadilan.
Keputusan Indonesia untuk mengadili tersangka teroris di pengadilan umum dan melepaskan para terpidana yang sudah menjalankan masa hukumannya juga hal yang tepat. Tapi, ini juga berarti banyak orang yang berkomitmen penuh pada ideologi yang membenarkan kekerasan itu sekarang mulai keluar dari penjara dan bisa saja kembali ke jejaring lama mereka. Ini membuat apa yang terjadi di dalam sel-sel penjara menjadi amat penting. Apakah para penghuni bui akan terehabilitasi atau malah menjadi lebih radikal setelah empat atau lima tahun di dalam penjara? Apakah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia akan berusaha sungguh-sungguh menghentikan praktek korupsi dalam sistem lembaga pemasyarakatan Indonesia yang membuat semua aturan tak ada artinya dan para terpidana paling berbahaya justru bisa berkomunikasi dengan pengikutnya di luar penjara?
Kita harus memuji kerja polisi dalam penangkapan Abu Dujana dan sejumlah tersangka lain. Namun, jejaring teroris tidak mudah dibasmi. Jika rakyat Indonesia ingin larangan berkunjung ke negeri ini dicabut dan citra Indonesia sebagai surga pariwisata kembali bersinar, bagian-bagian lain dari pemerintah harus mulai ikut memikirkan beban ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo