KEJAHATAN semakin canggih. Bak di serial film televisi Hunter Minggu lalu, sebuah mobil Honda Accord merah tua meledak di tempat parkir lantai V di gedung Muzatek, Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta Pusat. Mobil itu ringsek, kap mesinnya terbuka, dan kacanya berantakan. Agaknya inilah kasus kejahatan pertama di Jakarta dengan modus meledakkan mobil. Polisi yang mengusut kasus itu menangkap tiga orang pelaku. Mereka, konon, mengaku meledakkan mobil milik Herlambang Halim karena pengusaha itu berani menagih utang kepada "bos" mereka, seorang pengusaha kontraktor, Phoe Yoeng -- bukan nama sebenarnya. Berdasar itu, polisi menangkap Phoe Yoeng. "Syukurlah, kasus itu tak menelan korban jiwa," kata Kadispen Polda Metro Jaya Letkol. Latief Rabar. Pada Rabu malam, 12 Oktober 1988, penduduk di sekitar gedung Muzatek geger akibat ledakan tersebut. Polisi berdatangan. Semula ada yang menduga kejadian itu ulah teroris. Ternyata tidak. Tiga pelaku, Tigor S., Efly (adik Tigor), dan Tatak, yang ditangkap pada 25 Desember lalu, mengaku motifnya hanya utang-piutang. Sejak 1988, menurut polisi, Phoe Yoeng mempunyai utang pada Herlambang, pemilik PT Bobohiber Makmur, Rp130 juta. Tapi belakangan Phoe Yoeng hanya mengakui utangnya Rp60 juta. Lantas kedua orang itu cekcok. Sejak itulah Herlambang menagih utang tersebut. Tindakan Herlambang itu rupanya membuat kesal Tigor, yang baru bekerja sebulan di perusahaan milik Phoe Yoeng. "Akan saya ledakkan mobilnya," usul Tigor kepada Phoe Yoeng, seperti diceritakan polisi. Phoe Yoeng diam saja, alias setuju. Sebab, kata Tigor kepada polisi, negosiasi biaya sudah dipastikan. Tigor dan kawan-kawannya akan dibayar Rp24 juta dalam empat tahap, masing-masing Rp6 juta. Tigor lantas merekrut adiknya, Efly dan temannya, Tatak, untuk proyek besar ini. Ayah tiga anak yang beristri tiga ini pun membagi kerja. Mereka merakit bom itu di rumah istri ketiga Tigor, di Karet Tengsin, Jakarta Selatan. Di situ pula bom itu dilengkapi batere 9 volt dan jam pengatur waktu bekas kipas angin. Sementara Tigor dan Tatak sibuk merakit bom, Efly bergerak mengintip sasaran di gedung Muzatek, tempat Herlambang berkantor. Di situ ia tahu bahwa Herlambang mengendarai Accord B-2699-ZW. Pada Rabu siang, 12 Oktober 1988, ketiga orang tadi membuat tipuan. Mereka memesan tiga buah tiket kapal ke Medan. Tapi yang hari itu benar-benar berangkat, hanyalah Tigor dan Tatak, sementara Efly tetap tinggal di Jakarta. "Membeli tiga tiket itu hanya kamuflase, untuk alibi," Kata Kapolres Jakarta Pusat, Letkol. Noegroho Djajoesman. Kemudian Efly, yang masih tertinggal di Jakarta, mencarter sebuah mobil. Dengan mobil itu, sekitar pukul 20.00, ia menuju ke gedung Muzatek. "Dalam kondisi gelap, dia memasang alat peledak itu di bawah jok depan sebelah kiri, di bagian luar mobil," kata Noegroho. Selesai menyetel timer-nya, Efly masih sempat menunggu sejam. Setelah itu "hasil karya" itu ditinggalkannya. Pukul 22.15 bom itu meledak. Efly masih menyempatkan diri menengok ke mobil yang berantakan itu sebelum berangkat ke Puncak bersama kawan-kawannya, malam itu juga. Keesokan harinya ia pulang ke Jakarta untuk mengembalikan mobil carteran itu. Sore harinya ia terbang ke Medan dengan pesawat. Di Medan Efly sempat bermalam, dan esoknya menjemput Tigor dan Tatak di pelabuhan Belawan. Masih dalam usaha mengecoh polisi, Efly kembali ke Jakarta dengan kapal Kambuna, sementara Tigor dan Tatak dengan pesawat. Pada hari Natal lalu, polisi menangkap Efly, Tigor, dan Tatak. Kejahatan mirip aksi teror itu dipastikan tak melibatkan oknum ABRI. Bahan peledaknya pun bukan jenis amunisi ABRI. Hanya saja, Tigor mampu membuat bom itu, "karena dia senang elektronik," kata Noegroho. Minimal Tigor telah membuat sejarah baru di dunia kejahatan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini