KEJAHATAN bom kimia belakangan ramai diperdebatkan, terutama dalam Konperensi Paris tiga pekan lalu. Pertemuan internasional yang dihadiri sekitar 150 negara itu sekali lagi melahirkan deklarasi yang mengutuk penggunaan bom kimia. Namun, forum itu sempat pula bengkok, menjadi arena saling tuding, tentang pelanggaran terhadap isi deklarasi itu. Delegasi Amerika gencar menuding Libya sebagai salah satu calon pelanggar deklarasi itu. Sebaliknya, Libya menuduh Amerika memasok bom kimia ke Israel. Negara-negara seperti Syria, Irak, Mesir, Korea Utara, Korea Selatan, dan Taiwan juga dituding sebagai penimbun barang beracun itu. Bahkan, Indonesia pun sempat digosipkan melakukan hal yang sama. Kini terdapat tak kurang dari 25 jenis bom kimia yang tersimpan di berbagai sudut dunia. Bahan-bahan beracun itu bisa dipilah menjadi beberapa kelompok sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ada racun saraf, gas pelepuh jaringan, gas pencekik, racun darah, racun lambung, dan yang paling tak berbahaya ialah gas air mata serta bom pelemas. Soman, Tabun, dan Sarin adalah jenis racun saraf yang paling populer. Ini menurut Prof. Ir. Handoyo, 63 tahun, staf ahli PT Pindad (Pusat Industri Angkatan Darat) Bandung. Sarin alias GB merupakan jenis bom kimia yang "ideal": cepat menguap menjadi gas beracun yang ganas. "Kematian akibat Sarin bisa datang hanya dalam tempo satu sampai sepuluh menit," tutur Handoyo, yang pensiunan brigadir jenderal ini. Racun Soman yang sering pula disebut VX, kata Handoyo, tak seganas Sarin. Kematian akibat VX ini baru datang setelah gas beracun itu masuk dan mengoyak saraf selama setengah sampai 24 jam. Repotnya, racun berbahaya seperti Sarin dan Soman sulit diketahui kehadirannya. "Keduanya tidak berbau dan tidak pula berwarna," tambah Handoyo, yang pernah menjabat sebagai Komandan Pusat Nubika (Nuklir-Biologi-Kimia) TNI AD itu. Material perusak saraf itu pada umumnya merupakan campuran dua macam bahan, yang bila terpisah keduanya tak terlalu berbahaya. Sarin, misalnya, merupakan campuran dari Isopropanol, sejenis larutan alkohol, dan Metilfosfonil-diflorida. Sedangkan Soman merupakan campuran dari dimentil-polisulfida dan metil-2. Dalam jajaran gas pelepuh jaringan, bom mustard tampaknya paling luas pemakaiannya. Bom yang berwujud kabut kuning beraroma bawang itulah yang dipakai militer Irak untuk menghajar laskar Iran. Irak juga memakainya untuk menumpas kaum Kurdi yang dianggap bersekutu dengan Iran untuk merobohkan rezim Saddam Hussein. Ribuan orang Kurdi menemui ajal akibat bom mustard, yang ditebar pada Maret dan Agustus tahun lalu. Mustard memang ganas bagai lidah api. Kulit manusia yang terusap asap kuning itu kontan akan melepuh, dan kebutaan bisa datang seketika. Dalam konsentrasi pencemaran 200 mg per m3 udara, menurut Prof. Handoyo, maut akan menjemput korban dalam tempo enam jam. Diam-diam mustard pernah hadir di Indonesia. Jumlahnya? "Sekitar 30 ton," tutur sebuah sumber TEMPO di Jakarta. Konon bom kuning itu peninggalan Belanda. Pada 1976, tumpukan mustard itu diangkut ke Batujajar, Bandung, dan dibakar. Racun cekik tak kalah jahatnya dengan mustard. Sebutlah Fosgene, misalnya. Racun Fosgene sangat berbahaya bagi pernapasan. Bila gas ini terhirup, korban akan merasa seperti tersedak, lalu batuk-batuk berat. Lantas rasa sesak napas yang luar bisa datang, hingga membuat korban serasa dicekik, lalu mati. Fosgene tak menimbulkan luka. Tapi bahan kimia ini merusakkan fungsi paru-paru, sehingga organ itu tak mampu menyerap oksigen. Akibatnya, korban merasa seperti disumbat saluran napasnya. Namun, ada pula gas cekik yang sekaligus menimbulkan iritasi: Klorin. Korban klorin biasanya ditandai dengan batuk-batuk, sesak, serta melepuhnya kulit tubuh dan saluran pernapasan. Asam sianida sering dipakai pula sebagai senjata, sebagai racun darah. Asap sianida yang terhirup akan terangkut sampai ke pembuluh-pembuluh, dan menghancurkan sel-sel darah. Sebelum mati, korban akan mengalami gejala linglung, lalu tersengal, dan akhirnya kelojotan bak dicekik iblis. Ancaman bom kimia itu sendiri sebetulnya telah dimulai di akhir abad lalu. Ketika itu industri kimia Eropa telah sanggup memproduksi bahan-bahan racun pernapasan. Konperensi Den Haag, Belanda, 1899, melahirkan deklarasi pertama anti penggunaan bahan kimia di medan perang. Namun, April 1915, Jerman membuat pelanggaran pertama. Pasukan sekutu pada Perang Dunia I itu dibikin kocar-kacir oleh Jerman dengan bom mustard-nya, di Ypres, Belgia. Enam bulan kemudian, Inggris membalas dengan bom yang sama. Banyak korban yang jatuh. Tragedi itulah yang mendorong lahirnya konvensi antisenjata kimia di Versailles (1919) dan Protokol Jenewa (1925). Konvensi apa pun biasanya dibuat untuk dilanggar. Bom-bom kimia jenis baru terus dilahirkan. Italia dan Jepang tercatat sebagai pemakai bom jahat ini di akhir 1930-an. Untung saja, pada PD II bom kimia itu tak mengganas. Namun, justru setelah PD II bom kimia itu kembali dioperasikan, di Vietnam misalnya, Laos (1975), Etiopia, (1978), Irak-Iran, dan Afghanistan. Setelah 17 tahun menutup pabrik-pabrik bom kimianya, Desember 1987 lalu, AS kembali membangun sebuah pabrik bom kimia di Pine Bluff, Arkansas. Bom dari jenis Soman dan Sarin itu nantinya akan dikemas dalam bentuk roket, peluru meriam 155 mm atau bom. Dengan investasi sebesar Rp4,5 trilyun, ditargetkan untuk mendapatkan peluru meriam serta roket berjangkauan 17 mil, selam bom tentunya. Target yang kelewat sederhana untuk Amerika. Pasalnya, pihak Soviet telah memiliki rudal berkepala bom kimia yang mampu menjangkau sasaran sejauh 500 km. Tak tertutup kemungkinan bahwa investasi Pentagon di Arkansas itu mengandung niat dagang. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini