RUDAL Sparrow telah membuktikan keandalannya. Awal Januari ini, ia merontokkan satu dari dua buah MiG-23 Lybia di Laut Tengah. Toh mulai tahun ini, Sparrow akan memasuki masa persiapan pensiun. Kedudukannya di jajaran angkatan perang Amerika akan digantikan oleh rudal mutakhir Amraam (advanced medium range air-to-air missile) alias AIM 120, yang jauh lebih sigap dan ganas. Sepintas, wujud Sparrow mirip betul dengan Amraam, generasi penerusnya. Kedua rudal itu hampir sama panjang, sekitar 3,7 meter. Keduanya juga sama-sama memiliki dua set sirip terbang, satu set di perut dan satu lainnya di ujung belakang. Tapi ada perbedaan mencolok: pancaran radar Sparrow nebeng ke radar pesawat pembawanya, sedangkan AIM 120 dilengkapi dengan pemancar radar sendiri. Amraam dirancang untuk tidak pilih bulu: cocok untuk dibawa oleh semua jenis pesawat tempur NATO, baik yang bikinan Amerika maupun Eropa Barat. Rudal berbobot 150 kg itu bisa ditenteng oleh burung perang Amerika -- seperti F-14, F-15, F-16, atau F-18 -- maupun bikinan burung besi dari Eropa Barat semacam Sea Harrier atau Tornado. Sifat all-round itu tak bisa ditemui pada Sparrow. Pemburu sergap F-16, misalnya, seumur-umur hanya mengandalkan rudal Sidewindernya, tak pernah dipersenjatai dengan Sparrow yang berbobot 230 kg itu. Boleh jadi, Sparrow dinilai terlalu gemuk, sehingga akan mengurangi kelincahan manuver pesawat tempur paling populer itu. Rudal mutakhir buatan Hughes Aircraft Company itu, pada berbagai uji coba, terbukti andal dalam mencari sasaran. Betapa tidak. Perangkat radar pada peluru kendali ini senantiasa berada pada kondisi prima, pada cuaca seburuk apa pun. Amraam juga sanggup menundukkan keampuhan yang sama pada ketinggian berapa pun. Pun penembakan dari arah depan, belakang, atau samping akan memberikan hasil yang sama akuratnya. Berbekal rudal mutahir ini, pesawat-pesawat tempur Amerika akan tampil menjadi lebih berbahaya. Keperkasaan burung perang F-15, misalnya, menurut perhitungan Pentagon, akan berlipat dua jika rudal Sparrownya dicopot dan diganti dengan Amraam. Sedangkan F-16 akan menjadi enam kali lebih sakti jika dipersenjatai Amraam yang dikombinasi dengan Sidewinder. Sebagai rudal dengan radar aktif, Amraam memiliki sebuah transmiter di balik moncong hidungnya. Transmiter itu, ketika rudal beroperasi, tak henti-hentinya memancarkan gelombang elektromagnetik pada frekuensi sekitar 30 Mega Hertz. Antena mini yang berada di depan transmiter sekaligus juga berfungsi sebagai sensor, yang menerima pantulan gelombang dari pesawat lawan yang tengah jadi incaran. Berdasarkan gelombang pantulan itu, Amraam bisa mendeteksi jarak, kecepatan, dan posisi sasaran. Lantas, komputer itu mulai berhitung. Hasilnya: radar itu akan mengarahkan moncong rudal agar memotong gerak pesawat lawan. Instruksi dari komputer itu, antara lain, berbentuk pengontrolan atas gerakan sirip rudal. Setiap saat, instruksi bisa berubah, menyesuaikan diri dengan gerakan pesawat lawan. Pesawat lawan boleh saja jungkir jumpalitan untuk mengecoh Amraam. Namun, sekali radar telah mengendusnya, peluru kendali ini akan terus menguntit. Maklum, sistem radar pada rudal ini susah dikelabui, dengan manuver yang sulit sekalipun. Harap diketahui, sistem radar pada Amraam punya banyak macam mode, sehingga gerakan apa pun sulit untuk membuatnya terkecoh dan kehilangan jejak. Ketika sasaran masih jauh, Amraam bekerja dalam mode HPRF (high pulse repetion frequency). Pancaran sinyal dalam pulsa tinggi itu memang diperlukan, agar gerak-gerik sasaran termonitor secara jelas. Namun, bila sasaran sudah berada dalam jarak dekat, radar ini memancar dalam bentuk pulsa sedang MPRF (medium pulse high frequency). Mode MPRF itu sudah cukup memadai untuk mengantarkan rudal meluncur dan menumbuk sasaran. Boleh jadi, sambil jungkir balik, pesawat lawan akan mengeluarkan sasaran palsu yakni benda yang bisa memancarkan gelombang yang dekat dengan frekuensi rudal. Tapi Amraam tak bodoh. Radarnya akan nyala-hidup secara bergantian sehingga mengeluarkan sinyal secara terputus-putus, mengikuti pola tertentu. Dengan cara itulah, Amraam bisa membedakan sasaran palsu dengan sasaran aslinya. Dengan rudal Amraam, tugas para awak pesawat tempur juga akan lebih ringan. Untuk melepaskan senjata ini, para awak tak harus menghadapkan moncong pesawatnya terus-menerus ke arah pesawat lawan, seperti jika melepaskan Sparrow. Pada posisi sulit, pilot boleh langsung menyalakan motor propelan Amraam, lantas mempersilakan peluru kendali itu mengambil inisiatif sendiri dalam mencari sasarannya. Tapi kalau arah rudal jauh meleset dari sasaran, si penerbang masih mungkin mengendalikan arahnya. Radar pesawat secara otomatis berhubungan dengan radar pada peluru kendali. Selama hubungan itu masih terbuka, radar pesawat bisa dipakai untuk menuntun kembali perjalanan rudal ke arah yang dikehendaki. Koreksi ini bisa dijalankan tanpa harus melakukan tindakan manual yang merepotkan. Kepraktisan seperti itu yang tak ditemui pada radar Sparrow, yang telah dioperasikan sejak Perang Vietnam di awal tahun 70-an. Sparrow tak memiliki transmiter radar. Dia hanya punya sensor penerima. Jadi, untuk menghasilkan pantulan, radar pesawat pembawanya harus terus-menerus dihadapkan ke pesawat musuh. Kehadiran Amraam tentu merupakan ancaman baru bagi musuh-musuh Amerika. Sebagai rudal jarak menengah, rudal ini mampu mencari pesawat musuh yang berada 50 km di hadapannya. Tapi, sebagaimana biasa, ancaman itu juga akan melahirkan trik-trik baru untuk mengelak dari sengatan rudal itu. Kabarnya, dalam waktu dekat ini Pentagon akan segera memasok rudal mutakhir itu ke negeri-negeri sekutunya di NATO. Amraam, menurut harapan Pentagon, akan sanggup memberikan ancaman pada musuh sampai 25 tahun mendatang. P.T.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini