Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dorce, ayah tidak ibu pun bukan

Pengadilan negeri surabaya mengesahkan pengangkatan anak, hilmy, 5 bulan, oleh seorang waria bernama dorce. keputusan hakim tersebut disambut baik, dianggap telah mengangkat martabat waria.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Dorce. Sejenak laki-laki dengan baju panjang sebatas tumit berjilbab itu terlihat tegang, ketika Hakim Monang Siringo-Ringo mengetokkan palunya. Ternyata, hakim mengabulkan permohonannya. Wajah Dorce mendadak ceria. "Terima kasih. Terima kasih, Pak Hakim," ucapnya lirih, sembari bersujud di depan meja hakim. Dorce memang pantas gembira, karena dialah waria (wanita-pria) pertama yang disahkan hakim sebagai ibu angkat di Indonesia. Maka, Hakim Siringo-ringo, dari Pengadilan Negeri Surabaya itu, mencatat pula penemuan baru dalam sejarah hukum di Indonesia. Sebab, Dorce yang disahkannya sebagai orangtua angkat tak jelas status kelammnya, dan tidak pula berstatus nikah. Sebab itu, Monang terpaksa menggali hukum adat. Kebetulan Dorce mempunyai ayah berdarah Portugis dan Ternate, sementara ibu campuran Minang dan Batak. Tentu aja, baik di Minang maupun Batak tidak ada hukum adat yang mengatur pengangkatan anak oleh waria, seperti juga di daerah lainnya. Tapi, kata Monang, di kedua daerah itu minimal anggota masyarakatnya diperkenankan mengangkat anak. "Sahnya upaya adopsi, apabila hukum adat yang bersangkutan memperkenankan orang mengangkat anak," kata Monang. Sehingga, perannya dalam kasus itu hanyalah mengesahkan apa yang dibenarkan hukum adat. "Putusan pengadilan dalam hal ini sifatnya hanyalah deklaratoir," kata hakim itu. Kendati begitu, tindakan Monang mengesahkan pengangkatan anak bagl waria merupakan keberanian tersendiri. Sebelum mengambil keputusan, katanya, ia mempertimbangkan kecenderungan Dorce sebagai waria. "Secara lahiriah, saya melihat Dorce lebih condong ke arah wanita," kata Monang, yang mengaku telah berpikir matang sebelum mengambil keputusan itu--termasuk dampak psikologis nantinya terhadap si anak dan orangtua angkatnya. Naluri kewanitaan Dorce, katanya, sangat menonjol. "Tentu, ia memiliki keinginan sebagaimana wanita lain. Apa salahnya kalau orang semacam Dorce kepingin punya anak?" kata hakim yang mengangkat harkat waria itu. Berdasarkan itu Monang mengesahkan Dorce yang ber-KTP perempuan itu sebagai orangtua angkat, bukan ayah angkat atau ibu angkat. Pimpinan Dorce & Corporation yang bergerak dalam hibur-menghibur itu dewasa dalam tempaan lingkungan yang keras. Dorce Ashadi, 23, lahir dengan nama Eddy Akhmad. Menjelang dewasa, ia mulai memasuki dunia panggung dengan menyanyi, melawak, dan menari. Tapi kemudian Eddy, yang mulai tertarik pada gaun wanita, lebih dikenali penggemarnya dengan nama Dorce. "Saat itu saya merasakan dorongan, yang lama saya pendam, terungkap. Saya sadar bahwa dunia saya bukan dunia laki-laki atau perempuan", katanya. Sebagai artis panggung penghasilannya bisa diandalkan. Dengan Dorce & Corporation ia berpenghasilan Rp 1 juta tiap bulan. Dengan hasil panggung itu ia memiliki rumah yang tak terlalu besar, di Bratang Lapangan, Surabaya. Si anak angkat, Soehemi Saleh atau Hilmy, yang kini berusia lima bulan, diambil Dorce sesaat ketika keluar dari rahim ibunya. Hilmy, anak kedua belas dari suami istri Sutrisno Kidjo dan Muani memang dipesannya ketika masih tujuh bulan dalam kandungan. "Sejak masih dalam kandungan, sudah saya ikhlaskan", kata Muani, yang cukup sadar kondisi kewanitaan Dorce. Dr. Soetojo Prawirohamidjojo, ahli hukum Universitas Airlangga, Surabaya, dengan disertasi tentang perkawinan itu menyambut baik putusan Hakim Monang. Dari sisi sosial, kata Soetojo, putusan hakim itu diharapkan akan memperbaiki citra waria yang selama ini dikenal berpola hidup hura-hura itu. Harapan Soetojo itu agaknya sudah terkabul pada waria, Dorce. "Niat untuk menjadikannya anak saya timbul dari sini," kata Dorce sembari memegang dada. Dan Minggu pagi lalu, si mungil tertawa dalam pelukan Dorce, menyambut canda orangtua angkatnya. Eko Yuswanto, Laporan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus