Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Nenek maut di probolinggo

Mengaku dibisiki suara gaib, seorang nenek merejang cucunya sendiri.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu penduduk Desa Kandangjati Kulon, Probolinggo, Jawa Timur, bersiap menuju peraduan. Mendadak mereka dikejutkan riuhnya orang meneriakkan nama Faridathul, 5 tahun. Sebab, hingga lewat tengah malam, bocah itu belum juga pulang dari pengajian. Padahal Farida panggilannya biasanya tiba di rumah sebelum pukul 8 malam. Pencarian yang berlangsung hampir enam jam itu berakhir dengan jerit tangis Hariyanto dan Eni Diningsih orang tua Farida. Rabu dini hari pekan lalu, anak yang sedang lucu-lucunya itu sudah berkeping di rumah Mbah Sujiwo, 52 tahun. Jasad bocah malang itu ditemukan secara kebetulan oleh Kepala Desa Kandangjati, Riwut, yang ikut mencari ke rumah si Mbah, 15 meter dari rumah Farida. Tak sengaja kaki Pak Kades menyenggol baskom yang ditutupi tampah. Ia terkesiap ketika dari baskom itu menyembul tangan anak kecil. Kemudian di dekat tungku dilihatnya tergeletak sandal si bocah. Kades ini jadi syak, tapi Mbah Sujiwo membantah. Baru setelah dirayu, meluncur pengakuannya. "Memang saya yang menyembelih Farida," kata nenek itu dengan tenang. Dalam penuturan si Mbah kepada polisi, sebelum mericis bocah itu, sorenya ia mendapat perintah dari suara gaib untuk memakan daging anak kecil. Suara itu muncul kembali menjelang salat isya, saat Farida bertandang ke rumahnya. Anak ini masih tergolong cucunya, dan sering diberinya kerak nasi kering yang digoreng. Anak manis ini menurut saja ketika si Mbah menelentangkannya di lantai tanah. Crak, lehernya disembelih si Nenek. Bersimbah darah, Farida masih bertanya, "Mbah, kenapa saya dibunuh?" ujarnya lemah. Mendengar itu, si Mbah tambah menggila. Tubuh mungil itu digendongnya sambil mengelilingiruangannya yang 70 m2. Nenek tujuh cucu ini membawa Farida ke kamar tidurnya. Di situ ia memenggal leher Farida, dan menguliti kepala si cucu. Kemudian seantero bagian tubuh bocah itu diricisnya menjadi 79 potong. Siap sekitar pukul 10 malam, semua potongan itu dicucinya. Lalu ia meracik bumbu untuk digulainya. "Pokoknya, saya bisa pesta dengan iringan lagu dangdut," kata Mbah Jiwo kepada EdyHafidl dari TEMPO. Dugaan sementara menyebutkan si Mbah ini mengindap penyakit jiwa. Sejak kematian kakaknya dua puluh tahun lalu, perangainya berubah. Misalnya, seringmenghadang dan memukuli ibu-ibu yang lewat di depan rumahnya. Juga anak perempuan. Karena ulahnya itu, ia pernah dimasukkan ke dalam bak mandi oleh penduduk. "Dari beberapa kali penyidikan, saya menduga Mbah Sujiwo gila," kata Kapolres Probolinggo, Letkol. Fadhilah Budiono. "Anakku boleh mati, tapi caranya jangan begitu," kata Hariyanto terisak. Ayah dan bunda Farida kini mogok makan. Mereka teringat cincangan tubuh anaknya, yang mau digulai Mbah Jiwo. Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus