KALAU tak ada aral melintang, tujuh bank pemerintah akan mengadakan "helat" besar pekan depan. Tepat 1 Agustus 1992, bank-bank ini akan ditasbihkan sebagai perseroan terbatas. Serentak dengan perubahan status itu akan tampil mukamuka baru sebagai pucuk pimpinan pada tujuh bank tersebut. Sebab, menurut rencana, saat itulah Departemen Keuangan yang menjadi wakil pemegang saham akan mengumumkan nama-nama bankir yang akan menjabat sebagai direktur utama. Sampai kini belum pasti diketahui siapa namanama yang akan berkibar kelak. Tapi, menurut seorang pejabat tinggi di Departemen Keuangan, sebagian besar nama-nama yang sepekan ini digunjingkan oleh berbagai media massa memang benar adanya. Syahrizal, yang menjabat sebagai Direktur Bapindo, sudah pasti akan dikukuhkan sebagai direktur utama di bank yang sama. Pekan lalu konon sudah ada pemberitahuan langsung kepadanya dari Menteri Keuangan. Rekannya, Towil Heryoto, juga direktur Bapindo, akan sama mujurnya, yakni menempati posisi Direktur Utama BTN. Kendati belum terlalu pasti, bisa diperhitungkan kemungkinan berkibarnya Salahuddin N. Kaoy (direktur Bank Expor Indonesia) menjadi direktur utama bank yang sama. Tokoh yang digantikannya, Iwan R. prawiranata, akan "menggeser"posisi Kamardy Arief di puncak BRI. Lalu pucuk pimpinan BDN akan ditempati oleh Subagyo Karsono, yang selama ini menjadi direktur III di sana. Sedangkan kursi pemimpin yang ditinggalkan Kukuh Basuki di Bank BNI akan ditempati oleh Winarto Sumarto, yang kini adalah Direktur Utama Bank Duta. Satu-satunya pemimpin yang konon akan tetap bertahan adalah Surasa, di Bank Bumi Daya. Tokoh kelahiran Kuningan yang meniti karier di BDN ini, menurut seorang pejabat moneter, sebenarnya termasuk yang diusulkan Departemen Keuangan untuk diganti. Katanya, ada alasan kuat untuk menggeser Surasa, 58 tahun, tokoh berdahi lebar yang belakangan selalu menghindar dari wartawan. Di bawah kendali Surasa, BBD seperti halnya BDN tidak memiliki kredibilitas setinggi bank-bank pemerintah lainnya. Suku bunga pinjaman yang harus ditanggung BBD kepada lembaga keuangan asing sangat tinggi. Bank lain hanya membayar bunga pinjaman 0,75% di atas LIBOR, bunga BBD dan BDN selalu di atas itu. BBD juga lemah dalam CAR (capital adequacy ratio alias perbandingan modal terhadap aset berisiko). Seperti diketahui, Maret silam seluruh bank di Indonesia harus memiliki CAR 5%. Untuk mencapai CAR 5A%, ada lima bank pemerintah yang terpaksa meminta bantuan kepada induk semangnya tapi paling parah justru BBD. Adakah buktinya? BBD, seperti bank-bank pemerintah lainnya, akan menerima suntikan dana dari Bank Dunia dalam tiga bulan di depan. Tapi lebih penting lagi, Maret lalu BBD juga secara khusus telah menerima tambahan penyertaan modal dari pemerintah (PMP) sebesar Rp 200 milyar. "Itu semua pertanda BBD tidak memiliki cadangan modal yang kuat, " kata sumber TEMPO di kalangan moneter. Pernyataan itu diperkuat oleh Menteri Keuangan Sumarlin di DPRRI empat pekan lalu. Katanya, PMP yang diberikan kepada BUMN itu (termasuk BBD) merupakan sumber pembiayaan terakhir. Ini berarti, sebelum itu BBD telah berupaya memenuhi CAR dengan menandaskan kocek cadangannya. Tapi itu pun tak cukup. Namun harus diakui bahwa pimpinan bank pemerintah selama ini tak sepenuhnya leluasa untuk menentukan strategi mereka. Dalam kata lain, selalu ada campur tangan dari luar, entah dari otoritas langsung di atasnya, entah pula dari jajaran yang tidak biasa. Padahal mereka masih harus mengemban misi sebagai agent of development. Peranan sebagai agen pembangunan juga banyak dibicarakan. Dengan berubah status menjadi Perseroan Terbatas (PT), khalayak lalu bartanya-tanya, akankah bank-bank yang dulu menjadi leader market itu masih akan berperan sebagai agen pembangunan. Dalam kata lain, adakah bank-bank pemerintah masih mengucurkan kredit bagi pengusaha golongan ekonomi lemah dan tetap membiayai pembangunan perumahan dengan bunga yang rendah? Soalnya, status sebagai PT sedikit banyak mengurangi kewajiban sebagai agen pembangunan. Dan kenyataan itu tampaknya disambut hangat oleh para bankir pemerintah. Bertolak dari pemikiran itu, beberapa bank mulai mengambil ancangancang. BTN misalnya, tahap demi tahap mulai mengurangi penyaluran dananya ke pembangunan perumahan kelas menengah. Dana itu akan dialihkan ke proyek lain yang lebih menguntungkan. Begitu pun BRI, yang selama ini menjadi bankir bagi para petani, nelayan, dan koperasi. Sejak jauhjauh hari Dirut BRI Kamardy Arief (yang akan diganti)sudah mengisyaratkan akan adanya perubahan langkah BRI. Ia pernah mengatakan,karena BRI telah memiliki karyawan dalam jumlah besar (sekitar 34 ribu orang) dengan 4.000 kantor sampai ke pelosok desa, maka peran agen pem bangunan tetap diemban. Namun, setelah menjadi PT, kewajiban itu akan pelaksanakan "dengan catatan tidak sampai merugi", kata Kamardy ketika itu. Seperti halnya BTN, BRI juga berniat memasuki bisnis corporate banking. Dan itu bukan perkara gampang. Diperlukan persiapan yang memadai, terutama dalam hal profesionalisme. Untuk itu BTN sejak tahun lalu mengirim puluhan personelnya ke berbagai bank swasta, hanya untuk menimba ilmu. Selain itu beberapa konsultan telah pula direkrut untuk menangani strategi bank umum yang telah disusun oleh manajemen BTN. Agar kuat bersaing melawan bank swasta, bank-bank pemerintah juga akan mendapatkan "senjata tambahan" berupa penyisihan laba. Dulu setiap bank diharuskan menyetorkan 55% keuntungan kepada pemerintah. Tapi kini yang 55% itu boleh dijadikan laba yang ditahan. Di samping itu mereka bebas menetapkan jumlah direksi. Jika dulu tidak boleh lebih dari lima orang, sekarang boleh berapa saja, tergantung kebutuhan. Lalu, dengan UU Perbankan yang baru, bank pemerintah jadi lebih fleksibel. Untuk mengubah modal dasar, misalnya, tak perlu lagi meminta persetujuan DPR,tapi cukup melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Dengan berbagai senjata tambahan ini, bank pemerintah diharapkan bisa meningkatkan kembali sharenya di perbankan nasional. Ini dikemukakan oleh Direktur Muda BI Dahlan Sutalaksana. Maklum, sejak Pakto 1988, pasar bank bank pemerintah digerogoti terus oleh bank swasta nasional. Akhir 1988 bank-bank pemerintah menguasai 60% dari total dana pihak ketiga. Kini penguasaan itu melorot menjadi 40%. Dan dalam hal penguasaan lahan kredit, bank pemerintah merosot dari 57% menjadi 53% berarti turun 4%. Sialnya, pinjaman yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah itu digayuti kredit macet yang cukup besar. Ada sumber menyebutkan, jumlah kredit macet itusudah di atas 5% sehingga BRI dan BBD, misalnya, masing-masing harus menanggung senilai Rp 5 trilyun dan Rp 1,6 trilyun. Tapi sinyalemen itu dibantah oleh direksi BRI dan BBD. Bahkan di DPR, Menteri Sumarlin berani menyatakan bahwa kredit macet di bank-bank pemerintah masih dalam kondisi yang bisa diatasi. Jumlahnya hanya 2% dari total kredit yang disalurkan. Lantas, dengan kondisi seperti itu dan status baru, apakah bank-bank pemerintah akan kembali merajai perbankan nasional? Inilah yang perlu ditunggu. Yang jelas, bankir swasta mendambakan persaingan yang fair. "Kalau sudah jadi PT, sebaiknya fasilitas dana murah yang selama ini dinikmati bankbank pemerintah dihapuskan saja," kata satu pihak swasta. Jika fasilitasitu dicabut dan bank-bank BUMN bisa kembali unggul, nah, ketika itulah Surasa dan para koleganya boleh mendapat acungan jempol. Budi Kusumah, Bambang Aji, Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini