NESTAPA masih mengintai pembantu rumah tangga. Contohnya, seperti dialami Suyanti, 17. Mayatnya ditemukan dalam timbunan dedak, di belakang kilang padi. Lehernya membiru. Mukanya lebam. "Setelah Suyanti disebadani lalu dibunuh," kata Letkol Sofyan Jacoeb kepada TEMPO Kamis lalu. Menurut visum, Suyanti meninggal karena disiksa. Dan kegadisannya rusak. Kapolres Asahan, Sum-Ut, itu mengatakan, "Kejadian sadistis seperti ini baru pertama kali terjadi di daerah ini." Tapi polisi tak begitu sulit melacak. Dalam tempo tiga jam si pelaku dapat ditangkap. Dan pertengahan Maret ini rekonstruksinya dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP). Desa Titipapan, 190 km tenggara Medan, kini bagai tak tidur gara-gara kejadian keji itu. Penduduk berceloteh mengenai perbuatan Suparno, penjaga kilang Tong Seng, yang selama ini disangka baik hati dan pendiam. Lelaki ini kok tega, padahal ia dikenal sayang kepada ketiga anak dan bininya. Dan setiap hari tak pernah telat pulang ke rumahnya. Ternyata, diam-diam, lelaki tersebut sudah lama menaruh hati pada Suyanti, yang berkulit kuning langsat dan berdada sintal itu. Ia sering ngobrol dengan pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah majikannya, A Huap, dua rumah dari kilang padi yang dijaga Suparno selak tiga tahun lalu. Pada malam Minggu, 21 Februari lalu, Suyanti mendatangi Suparno, minta buah jambu kelutuk di belakang kilang. Ketika cewek itu sedang asyik menyenter buah jambu, hati Suparno terkesiap, memelototi "buah" yang lain. "Saya tak tahan. Apalagi istri saya baru melahirkan," katanya, polos. Semula, niatnya memang mau memeluk gadis itu. Tapi karena rem kontrolnya "blong", Suparno menguit dan memiting leher Suyanti dari belakang. Lantaran Suyanti meronta, tentu saja lehernya tercekik. "Kok mesti begini, Mas ?" kata Suyanti megap-megap. Tapi darah Suparno yang ceking itu sudah menggelegak. Ia tak peduli lagi pada cakaran kuku Suyanti di dada dan wajahnya. Teriakan Suyanti, karena ditelan gulita malam, sia-sia. Walau begitu, Suyanti terus melawan, hingga sempat melepaskan diri dan lari. Tetapi kakinya tersandung balok. Gadis itu tersungkur. Suparno mengambil kesempatan -- membogem berkali-kali. Anak ketiga dari enam bersaudara itu tak mampu lagi melawan. Lehernya ditekan Suparno dengan tangan kirinya, dan tangan kanan Suparno merobek pakaian mangsanya itu. Setelah melampiaskan "amuk"-nya, Suparno, yang tak tamat SD itu, ketakutan. Ia menggali timbunan dedak, kemudian Suyanti yang masih pingsan dimasukkannya ke dalam lubang sedalam satu meter itu. Lalu ditimbuninya dengan dedak. Ia sudah merasa aman. Tapi Suparno lupa memperhitungkan Yuliana dan Rudi, masing-masing 7 dan 3 tahun. Kedua bocah ini anak A Huap majikan Suyanti. Lama menunggu pengasuhnya tak kembali, mereka pulang. Tentu saja Nyonya A Huap kaget setelah Yuliana bercerita bahwa dia mendengar teriakan Suyanti minta tolong. Majikan Suyanti ini segera melapor ke polisi. Malam itu juga penduduk berduyun membantu polisi mencari Suyanti. Dan Suparno ikut clingak-clinguk. Ketika malam semakin tinggi, sementara Suyanti belum ditemukan, polisi mulai memperhatikan tingkah laku Suparno, satu-satunya orang di kawasan kilang, yang tentu tahu mengenal peristiwa itu. Suparno menunjukkan wajah ketakutan ketika melihat sekitar 1.000 penduduk membantu polisi mencari Suyanti. Tapi lelaki 24 tahun itu semula berlagak bodoh. Belakangan dia menyerah. Ini, setelah Capa P.O. Sianturi Kapolsek Simpang Kawat, 13 km dari barat Kota Kisaran, menanyakan kok ada bekas cakaran di dada dan wajahnya. "Saya hanya menduga-duga saja. Eh, ternyata betul. Suparno dicakar Suyanti," kata Sianturi. Suparno bisa senekat itu, lantaran sering tak puas "bersambung rasa" dengan istrinya. Dia berangkat kerja pukul 21.00, pulang menjelang tengah hari. Sampai di rumah ia tidur pulas. Hingga "hubungan" dengan istrinya, yang berlangsung sebelum ia berangkat kerja, selalu tergesa-gesa. Tapi ada orang yang lebih sedih. Slamet, 24, urung melangsungkan pernikahannya dengan Suyanti, Maret ini. "Padahal, orang sekampung tahu kami akan menikah dan pesta," ucap pemuda malang itu. Mayat Suyanti dikuburkan di desa orangtuanya, di Aek Loba, 50 km dari tempat kerjanya. Sudah setahun, ia bekerja di toko kelontong milik A Huap itu. Kini Suparno tercenung dalam sel polisi. "Gara-gara berahi, keluargaku jadi malu dan telantar," katanya kepada TEMPO. Ia menyesali nasib. "Saya khilaf, saya khilaf ...." Monaris Simangunsong, Laporan Amir S. Torong (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini