MENANG Porkas tak selamanya menyenangkan. Bahkan bisa sebaliknya. Seperti pengalaman Thomas, 35 tahun, di Indramayu, Jawa Barat. Ia dipaksa mengembalikan hadiahnya sebesar Rp 900 ribu. Pekan lalu, ia mengadu ke LBH Bandung. Ayah dua anak yang cuma lolos bangku kelas dua SD yang menang menebak Porkas itu dituduh membeli kupon palsu. "Sebenarnya, kupon itu asli. Hanya karena yang menang saya, orang lemah," keluh Thomas. Bekas kernet truk yang kehilangan sebelah kakinya akibat kecelakaan lalu lintas empat tahun lalu itu sudah lama menggemari Porkas. Tetapi baru dalam tempo dua bulan ia dua kali menang. Ia memenangkan hadiah Rp 60 ribu dan Rp 150 ribu. Itu sebabnya lelaki berambut keriting dan berkulit kehitaman itu, awal Oktober lalu, memborong 30 kupon Porkas. Pada putaran 11 Oktober, huruf-huruf yang keluar adalah N-I-A-L sama persis dengan kupon yang ia isi. Tentu, ia berhak menerima hadiah Rp 900 ribu. Dengan menggunakan kruk, ia menemui Sen Tau, agen penjual kupon itu. Tak ada cingcong. Ia menerima hadiah tersebut. Bahkan sebelum pulang ia memberi tip kepada beberapa karyawan agen Porkas itu, termasuk kepada Sen Tau sendiri. Ia juga membagi hasil adu nasib itu ke beberapa tetangga. Sisanya ia belikan perhiasan dan kursi tamu. Tapi tak lama. Empat hari kemudian ia dipanggil Sen Tau. Ia menemui agen Porkas itu. "Kupon Porkas kamu itu palsu. Kamu harus mengembalikan hadiahnya," kata Sen Tau, didampingi seorang oknum berseragam. "Lho, kalau kupon itu palsu, ya salah si penjual. Sebagai pembeli, saya 'kan tak tahu kalau kupon itu palsu," Thomas menangkis. Sengketa tak selesai. Atas inisiatif sang oknum, mereka diminta menyelesaikannya ke kantor yang tak ada hubungannya dengan polisi. Aneh. Dan di situ, Thomas baru boleh pulang setelah menandatangani pengakuan "bersalah" -- dan harus mengembalikan hadiah dalam tempo satu hari. Menghadapi oknum berseragam itu, Thomas tak berdaya. Usahanya menjual kembali perhiasan ditambah sebuah sepeda mini hanya menghasilkan uang Rp 200 ribu. "Maklum, namanya juga lagi keburu butuh uang, harganya tentu jatuh," keluh Thomas. Tapi Sen Tau tak bersedia menerima uang itu. "Saya ingin uang itu kembali seutuhnya. Kalau tidak, Thomas harus dihukum," ujar Sen Tau. Akhirnya Thomas bersedia mengangsur sisanya, Rp 50 ribu per bulan. Kalau tak mampu, apa jaminannya? "Istri saya," kata Thomas nekat. Pedagang pisang goreng ini berpenghasilan Rp 1.000-Rp 2.000 per hari. Pembayaran pertama, Rp 200 ribu itu, tak diambil Sen Tau, tapi dititipkan di kantor si oknum tadi. Thomas sebenarnya tak sampai hati menjadikan istrinya sebagai "jaminan". Lalu ia berterus terang, "Saya mengaku bersalah karena ditekan. Padahal, saya tak mampu mengangsur pembayaran kembali hadiah itu," kata Thomas kepada TEMPO. Karena itu, ia nekat mengadu juga ke LBH Bandung, minta bantuan untuk mencabut surat pernyataan celaka itu. "Masalah ini seharusnya ditangani kepolisian," kata Dindin S. Maolani. Pendapat Direktur LBH Bandung ini dibenarkan oleh Letkol Rustandi, Kapolres Indramayu. "Ini perkara kriminal. Seharusnya dilaporkan ke polisi," katanya. Tapi pihak yang "memeriksa" Thomas, yang berkantor di Indramayu itu, membantah. "Kami hanya membantu menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Itu sebabnya, saya ikut menanganinya secara pribadi," kata komandan si oknum. "Kalau ternyata sengketanya masih berlanjut, silakan melapor ke Polres," tambah Pak Komandan dan ia membantah ada usaha penekanan terhadap Thomas. Sementara itu, mengenai si oknum yang menyertai Sen Tau, ia berkata, "Saya tak pernah menugasi dia di sana, karena kami tak ada hubungan apa-apa dengan Porkas." Kalau ada oknum yang terlibat pemerasan dalam kasus ini, ia berjanji dengan sungguh-sungguh, "Sebagai komandan, saya akan menindak dia dengan tegas." Hasan Syukur & Jenny Ratna Suminar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini