Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang anak membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Berbagai faktor bisa menyebabkan seorang anak melakukan pembunuhan secara keji, dari tekanan akademis, ekspektasi orang tua yang terlalu tinggi, hingga masalah hubungan sosialnya.
Meskipun menjadi pelaku kejahatan, anak harus tetap dilindungi.
ADA dua film dengan topik sama sedang populer di Netflix. Keduanya tentang Menendez bersaudara. Film pertama serial Monster: The Lyle and Erik Menendez Story karya sutradara Ryan Murphy. Film kedua, The Menendez Brothers, dokumenter 20 jam wawancara Lyle dan Erik Menendez tentang motif mereka membunuh ayah ibu mereka, Jose dan Katty Menendez pada 1989. Sejak itu, parisida menjadi istilah populer untuk menyebut anak membunuh orang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parisida berasal dari bahasa Latin, parricide: membunuh orang dekat. Kata ini kemudian berkembang menjadi parricidium dengan "par" di sana mengacu pada "pater" atau "father". Parricide kemudian diserap oleh bahasa Inggris pada abad 18 dan menjadi istilah yang lekat dengan "orang yang membunuh orang tua mereka".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parisida terjadi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 30 November 2024 dinihari. Seorang anak 14 tahun membunuh ayah dan neneknya memakai pisau dapur dan coba melukai ibunya yang berhasil lari keluar rumah. Polisi masih memeriksa kejiwaan remaja itu dengan menghadirkan tim dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia. “Anak tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka. Karena usianya di bawah umur, penanganannya berbeda dengan orang dewasa,” ujar pelaksana harian Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Nurma Dewi.
Nurma menyatakan polisi masih terus mendalami motif anak tersebut melakukan parricide. Menurut Nurma, pemeriksaan dilakukan secara hati-hati mengingat pelaku masih di bawah umur. “Motifnya belum bisa disimpulkan. Kami menggali keterangan dari berbagai pihak, termasuk keluarga dan sekolah. Di sekolah, pelaku dikenal sebagai anak yang pintar dan ramah,” ujarnya.
Peristiwa itu terjadi pada Sabtu dinihari, 30 November 2024. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung mengatakan anak tersebut tiba-tiba saja menusuk ayahnya yang tengah tertidur bersama ibunya. "Setelah itu ibunya teriak, ayahnya lari sampai ke bawah. Lalu neneknya keluar, diduga neneknya juga ditusuk," tutur Gogo. Sang ibu berlari menyelamatkan diri ke luar rumah.
Dalam kondisi berlumuran darah, ibunya melompati pagar, lalu meminta pertolongan kepada tetangga samping dan depan rumah. Pelaku sempat melarikan diri, tapi ditemukan oleh petugas keamanan setempat. Ketika diinterogasi polisi, remaja itu menyatakan membunuh ayah dan neneknya karen merasakan mendapat bisikan. "Bisikan itu membuat dia resah," ucap Gogo.
Gogo menyatakan polisi menjerat anak tersebut dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan subsider Pasal 351 ayat 3 tentang Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian, serta Pasal 44 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Lantaran pelaku di bawah umur, ancaman hukumannya setengah dari hukuman untuk pelaku dewasa.
Kekerasan Domestik Meningkat
Psikolog anak dan keluarga Novita Tandry, yang ikut memeriksa kejiwaan pelaku, menemukan sejumlah hal penting. Untuk saat ini, dia menduga anak tersebut membunuh ayah dan neneknya karena sejumlah faktor. Pertama, anak itu mengalami tekanan akademis. Si anak, berdasarkan informasi dari rekan-rekannya, dikenal sebagai pribadi yang baik, sopan, dan tidak pernah menyakiti orang lain. Di sekolah, anak itu memiliki prestasi akademis yang baik, terutama pada mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris.
Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun Novita, prestasi akademis anak tersebut sempat turun pada kelas 8 dan 9. Salah satu penyebabnya, menurut dia, si anak mengikuti les coding yang memakan waktu hingga larut malam dan mengakibatkan dia kurang tidur. Menurut Novita, kurangnya waktu tidur menyebabkan penurunan hingga berhalusinasi. Hal itu, menurut dia, juga biasa terjadi pada orang dewasa. "Kelelahan fisik akibat pola tidur yang buruk bisa mempengaruhi kondisi mental dan emosionalnya," kata Novita.
Selain itu, Novita menilai si anak kemungkinan menghadapi ekspektasi tinggi dari keluarganya. Sebagai anak tunggal, tidak tertutup kemungkinan anak ini harus memenuhi ekspektasi tersebut. “Perlu ditelusuri apakah ada kekerasan verbal ataupun nonverbal dalam hubungan keluarga,” ucapnya.
Novita membuka kemungkinan adanya masalah ekonomi dalam kasus ini. Meskipun keluarganya cukup berada, menurut dia, si anak tampak hidup sederhana. Dari video, foto, hingga informasi lain yang dianalisis oleh Novita, penampilan si anak tampak sederhana. Padahal, menurut dia, anak generasi Alpha seperti pelaku sering menghadapi tekanan sosial dari media sosial dan lingkungan pertemanan. “Ada tuntutan untuk, misalnya, kelihatan lebih baik, dari sepatu, tasnya, pakaian, dan lain sebagainya. Ada enggak dia diajarkan untuk sangat sederhana? Dan saya melihat itu ada. Informasi dari teman-temannya, sepatunya hampir rusak baru boleh ganti,” tuturnya.
Kombinasi kelelahan, tekanan akademis, konflik keluarga yang tidak terselesaikan, dan faktor-faktor sosial lain, menurut dia, dapat menciptakan situasi yang sangat berat bagi seorang anak sehingga terjadilah tindak pembunuhan ini. Menurut dia, kasus ini sangat sensitif karena menyangkut masa depan seorang anak. Novita menegaskan, "Alasan membunuh, melakukan pembunuhan adalah salah yang besar dan dosa, tapi kita juga harus bijak. Ini anak-anak."
Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan beserta tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System melakukan olah TKP lanjutan kasus pembunuhan di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, 30 November 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti
Kriminolog Universitas Indonesia Erni Rahmawati sepakat dengan Novita. Dia menilai sang anak mengalami tekanan seperti yang dijelaskan dalam teori General Strain. Dalam teori itu, menurut Erni, sang anak mendapatkan tekanan akibat gagal memenuhi harapan, seperti tuntutan akademis. Dalam banyak kasus akumulasi tekanan ini memunculkan emosi negatif, seperti frustrasi dan kemarahan, yang mendorong anak melampiaskan kemarahan secara destruktif.
Mengutip teori Social Bond dari sosiolog Travis Hirschi, Erni menduga peristiwa ini dipicu hubungan yang lemah antara anak dan keluarganya. Faktor seperti minimnya dukungan dari komunitas dan longgarnya nilai-nilai sosial memperburuk situasi sehingga membuat terjadinya delinkuensi atau perilaku menyimpang oleh anak.
Erni pun menekankan pentingnya menciptakan hubungan emosional yang kuat dalam keluarga dan membangun ruang aman untuk mencegah eskalasi konflik. "Kita perlu intervensi yang tak hanya berfokus pada anak, tapi juga pada hubungan antar-anggota keluarga agar tekanan ini tidak berakhir menjadi tragedi," tuturnya.
Psikolog forensik Reza Indragiri juga sepakat soal pentingnya menelaah berbagai aspek kehidupan anak untuk memahami akar penyebab perilaku kekerasan. Menurut dia, terdapat lima hal yang perlu diperiksa, dari kesehatan mental dan penyalahgunaan zat terlarang, fantasi kekerasan, ekspresi amarah, stabilitas di pendidikan, hingga relasi sosial. “Hubungan anak dengan teman sebaya, keluarga, dan komunitasnya sering menjadi faktor paling dominan dalam membentuk perilaku,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Reza pun menduga perilaku menyimpang anak saat ini tak lepas dari peran media sosial dan teknologi. Ia memperingatkan bahwa platform daring sering menjadi sumber informasi keliru yang dapat membentuk fantasi kekerasan atau pola adaptasi yang salah. Ia menjelaskan, pola perilaku ini dapat dianalisis melalui aktivitas digital anak, seperti jenis tayangan yang ditonton, situs web yang diakses, atau konten yang sering diinteraksikan. "Fantasi kekerasan yang dipupuk melalui media bisa menjadi cerminan cara anak membangun ekspresi atau bahkan rencana kekerasannya," ujarnya.
Karena itu, dia mengingatkan pentingnya pembatasan akses anak terhadap media sosial. Kebijakan di Australia yang melarang akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, menurut dia, layak ditiru Indonesia. Reza menilai langkah ini relevan untuk memitigasi pengaruh negatif teknologi terhadap anak. "Kalaulah larangan tidak mungkin dilakukan, paling tidak kontrol atau kendali harus diperketat," tuturnya.
Terlepas dari itu, Reza mengingatkan soal Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menempatkan anak sebagai individu dengan masa depan yang harus dilindungi. Menurut dia, undang-undang ini dirancang untuk mencegah dendam dan kebencian masyarakat terhadap anak pelaku kejahatan sekaligus membatasi hukuman maksimal bagi anak hingga 10 tahun.
Tempat kejadian perkara kasus pembunuhan orang tua oleh anaknya di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, 30 November 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menggambarkan kondisi psikologis anak yang melakukan kekerasan ekstrem seperti "jiwa yang terbelah". Dalam kondisi ini, menurut dia, anak mampu menjalani kehidupan sehari-hari yang normal, tapi di sisi lain juga melakukan tindak pidana, termasuk pembunuhan. "Anak itu bisa hidup normal, tapi juga melakukan hal-hal luar biasa brutal," kata Adrianus saat dihubungi terpisah.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan "jiwa yang terbelah" adalah pola asuh yang buruk atau bad parenting. Menurut Adrianus, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kekerasan atau keluarga yang gagal memberikan kasih sayang dan kontrol yang cukup akan lebih rentan meniru perilaku agresif. Ketidakhadiran orang tua dalam memberi pengawasan atau peran model yang positif memperburuk situasi dan menciptakan kondisi emosional yang terabaikan pada anak. "Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan akan membawa kekerasan itu ke dalam dirinya," ujarnya.
Selain bad parenting, Adrianus menyoroti kegagalan sistem pengawasan sosial, seperti sekolah dan komunitas, dalam mendeteksi atau mengintervensi perilaku anak yang berpotensi berbahaya. Kegagalan ini memberi kesempatan bagi anak mengekspresikan perilaku destruktif tanpa kendali sosial yang memadai.
Untuk mengatasi masalah ini, Adrianus menekankan perlunya rehabilitasi yang tidak hanya berfokus pada perubahan perilaku anak, tapi juga perbaikan lingkungan sosial mereka. Anak-anak pelaku kekerasan, menurut dia, memerlukan program pemulihan yang melibatkan perbaikan dari dalam diri mereka, termasuk pemahaman tentang pola asuh yang sehat dan peran orang tua sebagai pengawas serta pembimbing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dede Leni Mardianti dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan laporan ini