KEJADIAN seperti ini seperti tak pernah terbayangkan: suatu ketika, karena suatu masalah, seseorang membentak. Akibat itu, tiba-tiba, orang yang dibentak semaput dan meninggal dunia. Mungkin lebih tidak terbayangkan lagi kalau kemudian, akibat kejadian itu, jaksa menuntut melakukan kelalaian yang menyebabkan orang lain mati. Tapi itulah yang terjadi pada Wira Singawinata. Ia, karena sebuah persoalan keluarga, telanjur membentak iparnya -- suami adiknya yang menjabat Wakil Ketua DPRD Cirebon, Karna Sudiana. Tak disangkanya, Karna tiba-tiba semaput, kemudian meninggal di rumah sakit. Akibatnya, ia diusut dan kemudian diberkaskan kejaksaan dengan tuduhan lalai menyebabkan kematian orang lain. Tapi sebelum. perkaranya disidangkan, Minggu lalu, ia diserang penyakit jantung dan meninggal. "Padahal, rencananya, pekan ini, perkaranya akan saya teruskan ke pengadilan, sehingga awal Agustus depan sudah bisa disidangkan," kata seorang pejabat di Kejaksaan Negeri Cirebon. Persoalan kematian adik dan kakak ipar beruntun itu hanya soal kecil. Sekitar Juni 1985, putra Wira Singawinata, Toto Sudarto, meminjam sepeda motor dari Eman Wikana, menantu Karna Sudiana. Ternyata, keesokan harinya, motor itu dilaporkan hilang di rumah Toto. Toto melaporkan kehilangan itu ke kantor polisi dan kepada pemiliknya. Tapi beberapa hari kemudian, Toto ditahan polisi selama sehari, konon gara-gara ia beberapa kali tidak datang memenuhi panggilan polisi. Wira Singawinata, 51, yang kaget mendengar anaknya ditahan, 4 November 1985, mendatangi rumah Karna Sudiana di Desa Sindangjawa. Sesampainya di sana, ia langsung memarahi Eman, karena beranggapan gara-gara mantu adiknya itu anaknya sampai ditahan. Ketika Karna Sudiana berusaha menyabarkannya, Wira malah membentak iparnya itu dalam bahasa Sunda yang artinya "kamu juga sama saja". Hanya karena bentakan segitu, Karna, 56, tiba-tiba kumat penyakit jantungnya. "Suami saya tiba-tiba merasa sesak napas dan sakit dada," kata istri Karna, Nyonya Wiryati. Malam itu juga Karna dibawa ke puskesmas dan kemudian dikirim ke RS Gunungjati Cirebon. Lima jam kemudian ajal menjemput Karna yang pernah juga menjabat Sekwilda Cirebon itu. Hari itu juga keluarga Karna melaporkan Wira ke Polsek Sumber. Pihak Polsek kemudian meneruskan perkara itu ke Polres Cirebon. "Ua kami itu dengan sengaja menista dan menghina, sehingga ayah kami meninggal dunia," kata menantu Karna, Eman, ketika melapor ke polisi. Sementara itu, Wiryati, adik Wira, mengatakan bahwa kakaknya sebenarnya telah lama tahu penyakit suaminya, dan bahkan tahu persis karena itu suaminya tidak bisa dikasari. "Suami saya meninggal karena tekanan mental akibat kata-kata kasar itu," kata Wiryati. Kepada polisi, Wira membantah bertengkar dengan Almarhum. "Saya datang ke rumahnya hanya untuk minta tolong kepada Eman agar anak saya yang dituduh mencuri motor dikeluarkan dari tahanan," ujar Wira. Ia hanya mengaku marah-marah kepada Eman. Ia lupa apa kata-katanya waktu itu -- maklum, lagi emosi. Tentang penyakit iparnya, Wira mengaku tahu, tapi tidak menyangka penyakit itu bisa kumat akibat kemarahannya. Polisi semula memang cukup hati-hati dan tidak memberkaskan Wira sebagai pelaku yang lalai menyebabkan korban meninggal. Di lalam berkas polisi yang diserahkan ke kejaksaan, 28 April, Wira hanya dituduh menghina Almarhum dan menantunya. "Tapi kami tidak puas. Karena, seharusnya, ia dituntut karena menyebabkan kematian (pasal 359) -- sesuai dengan pengaduan kami," kata Eman bersemangat. Pihak kejaksaan ternyata sependapat. Karena itu, berkas dikembalikan ke polisi. "Yang penting dari kasus itu adalah sebab dan akibatnya. Penyebab Karna meninggal karena dia dibentak," ujar pejabat kejaksaan, yang mengembalikan berkas itu ke polisi. Pejabat yang tidak mau disebut namanya itu, anehnya, berkhayal akan membuat sejarah baru bagi hukum di Indonesia. "Selama ini pasal itu hanya dipakai untuk pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kematian. Karena ini perkara pertama, rencananya saya sendiri yang akan tampil di sidang sebagai penuntut umum," kata pejabat itu, pekan lalu. Padahal, menurut para ahli hukum, kelalaian yang dimaksud oleh pasal 359 itu hanyalah kelalaian seseorang yang melebihi tindakan normal. Dan, dalam teori, sebab-akibat pada suatu kasus pun harus dicari yang terdekat paling relevan untuk menentukan pasal mana yang dilanggar. Atau seperti yang dikatakan Direktur LBH Bandung, Nyonya Amartiwi Saleh, "Pasal itu hanya bisa digunakan dalam perkara tabrakan lalu lintas atau seorang ibu yang tidak menyusui anaknya. Tapi, untuk orang yang membentak orang lain dan kemudian yang dibentak meninggal, itu sama saja dengan orang mati jantungan karena menonton sepak bola," ujar Amartiwi. Ternyata, angan-angan pejabat kejaksaan yang ingin membuat sejarah itu tidak kesampaian. Hari Minggu lalu, Wira ternyata meninggal pula..., akibat serangan Jantung. "Saya tidak tahu apakah kematiannya gara-gara perkara itu. Yang jelas, sebelumnya, ia tidak pernah mengeluh menderita penyakit jantung. Tapi tiba-tiba sejak Kamis ia sakit mendadak dan pingsan," ujar istri Wira, Nyonya Ika, meratapi mayat suaminya. Adakah karena kematian itu, pihak keluarga Wira bisa menuntut balik keluarga Karna dan juga pejabat kejaksaan sebagai penyehab kematian Almarhum? Pejabat kejaksaan tadi mengelak. "Peristiwa itu tidak bisa diadukan. Bila Wira jadi diadili, dan ketika vonis ia meninggal, baru peluang untuk itu terbuka," katanya. Lebih aneh lagi, tentunya. Karni Ilyas, Laporan Hasan Syukur (Bbiro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini