CARA Kepala Desa Mindahan di Kabupaten Jepara, A.M. Sodikin, menghukum warganya terhitung luar biasa. Coba: Seorang pencuri ayam yang tertangkap basah di desanya, Sapar, sebelah tangannya diikatkan ke sebatang pohon, sementara sebelah tangan lainnya ditariknya dengan truk. Akibatnya? Tubuh Sapar berderak ketika ajal meninggalkannya. Namun, buat majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara yang diketuai Abdul Majid, perbuatan A.M. Sodikin dianggap bukan pembunuhan -- sebagaimana tuduhan jaksa. Tapi hanya disebut "penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain (pasal 354 KUHP)". Sebab itu, pekan lalu, majelis menolak tuntutan Jaksa Mulyono yang sebelumnya meminta agar Sodikin dihukum 10 tahun penjara. Sodikin hanya diganjar 5 tahun penjara. Jaksa Mulyono menganggap keputusan itu sangat ringan. "Padahal, jelas terbukti bahwa Sodikin mengeksekusi Sapar sampai mati," kata Mulyono, yang pekan ini menyatakan banding atas vonis itu. Dibanding kasus-kasus pembunuhan semacam, vonis untuk Sodikin memang kelihatan ringan. Di Pengadilan Negeri Sragen, misalnya, tiga tahun lalu majelis hakim yang diketuai Supartomo menghukum berat sebuah keluarga yang terbukti menganiaya sampai mati pembantu rumah tangga mereka, Kasiyem. Sebelum meninggal, konon, korban disiksa dengan cara kedua kakinya diikat, dada dan kepalanya dipukuli, serta kemaluannya dilukai dengan benda keras. Atas tuduhan itu, Hakim Supartomo memvonis tuan rumah, Sucianto, dengan hukuman mati. Sedangkan istrinya, Nyonya Susana, dihukum 20 tahun penjara. Sementara itu, Nyonya Susilowati, ibu Susana,. divonis t0 tahun penjara. Belum cukup, hakim juga menghukum dua orang anak Sucianto, Andy Boby, 12, dan Anggraini, 9, dengan hukuman masing-masing 15 tahun dan 5 tahun penjara (TEMPO, 26 Februari 1983). Kendati, menurut keyakinan hakim, klasifikasi antara kematian Sapar dan Kasiyem itu lain, siksaan yang dialami kedua korban tidak jauh berbeda kejamnya. Dinihari tahun lalu, 18 Oktober, penduduk Mindahan menangkap basah Sapar mencuri seekor ayam penduduk. Ia, seperti lazimnya maling yang kepergok penduduk, dihajar sampai babak belur. Setelah itu Sapar, 42, digiring ke balai desa. Di situ ia diinterogasi oleh Lurah Sodikin yang, rupanya, ingin tahu siapa saja komplotan Sapar. Tapi maling itu bungkam. Sodikin, yang tidak bisa mengendalikan emosinya, langsung menyetop sebuah truk yang kebetulan lewat di depan balai desa itu. Entah dari mana mendapat ide, Sodikin naik ke truk, lalu mengambil dua utas tali. Dua orang penduduk, Muhadi dan Muslim, diperintah mengikatkan sebelah tangan Sapar ke pohon dan sebelah lagi ke bagian belakang truk tadi. Sang lurah lalu naik ke truk dan duduk di belakang kemudi. Di hadapan penduduknya, Sodikin menghidupkan mesin truk, dan kemudian memasukkan perseneling. Selanjutnya adalah pemandangan yang mengerikan: "Kreeek . . .", terdengar suara seperti sebuah dahan pohon yang patah, dan Sapar mati terentang. Menurut majelis, Sodikin terus terang mengakui kesalahannya, sopan, sehingga hukumannya boleh diringankan. Kedua orang yang membantu menyiksa Sapar, yaitu Muhadi dan Muslim, dihukum tak terlalu berat juga: masing-masing 5 tahun dan 3 tahun penjara. Tapi Sodikin, 32, tidak puas atas vonis itu. "Saya akan naik banding," kata lurah yang berbadan kekar dan berkumis itu. Begitu pula Muhadi dan Muslim. Mereka menganggap keputusan hakim itu, kendati ringan,tetap tidak adil. "Saya mengakui menganiaya, tapi perbuatan saya itu tidak satu-satunya yang menyebabkan kematian Sapar," katanya. Menurut ayah dua anak itu sebelum dibawa ke balai desa, Sapar telah babak belur dikeroyok massa. "Tapi para pengeroyoknya tidak dijadikan terdakwa itu 'kan tidak adil?" kata Sodikin. Entah bagaimana seandainya Sapar bisa ditanyai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini