Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Paspor-paspor Mister Wong

5 warga RRC dari 22 orang yang mendapat paspor aspal RI di Bangkok dan seorang yang berpaspor aspal Muang Thai meringkuk di rutan Salemba, Mr. Wong, Benny Kusnadi & Sofiandi sebagai otak sindikat pemalsuan.(krim)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu, 30 Juni 1985, di bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta mendarat pesawat jumbo jet Boeing 747 milik maskapai penerbangan KLM dari Amsterdam Dari pesawat tadi turun lima penumpang berkulit kuning. Kelimanya tampak kebingungan dan mencurigakan. Petugas Imigrasi tambah curiga ketika mereka menunjukkan paspor RI. Apalagi mereka itu tak bisa berbahasa Indonesia. Kuning kulitnya tak seperti Cina Glodok. Ejaan namanya pun tak lazim, tak seperti nama keturunan Cina di sini. Dengar saja: Li Ri Hong, Wang Xing Ming, Zheng Zi Qiang, Zhang Zeng Hong, Huang Jin Zhu. Nama-nama itu lebih mirip nama orang RRC dalam ejaan yang baru. Pada paspor mereka juga tak ada cap segitiga, yang menunjukkan keberangkatan mereka dari wilayah Indonesia sebelumnya. Tentu saja. Sebab, sebelum ini mereka belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Mereka adalah warga negara RRC, yang mendapatkan paspor RI di Bangkok lewat calo, dan bertujuan pergi ke Meksiko untuk selanjutnya menyelusup ke AS. Mereka kelihatannya ingin mengubah nasib dengan menjadi imigran gelap di negeri orang. (Lihat: Orang-Orang dari Fukien). Kelima orang RRC yang nyasar ke Cengkareng itu ternyata merupakan bagian dari rombongan 22 orang, yang pada tanggal 25 Juni 1985 mendarat di Meksiko. Mereka itu, yang 21 orang RRC dan satunya, Wong Sin Fat alias Yohanes Purwadi, 42, - atau biasa dipanggil Mr. Wong - adalah warga negara RI. Rombongan yang dipimpin Mr. Wong itu ditolak masuk Meksiko karena tak memiliki tiket return. Pemerintah sana kabarnya khawatir, rombongan yang datang dengan visa turis itu akan menjadi pemukim gelap disana. Penolakan dipertegas, setelah pihak KBRI yang dihubungi juga tak berani menjamin mereka karena ragu terhadap keabsahan paspor Mr. Wong dan kawan-kawan. Maka mereka kemudian dideportasikan, kembali ke Amsterdam. Dari Amsterdam, mereka dikirim lagi ke negara asal pemberangkatan mula-mula, yaitu Bangkok. Tetapi, menurut dubes Meksiko untuk Indonesia, Mr. Guillermo Corona, penolakan terhadap orang-orang Cina itu bukan karena mereka tak punya tiket return. Bukan pula karena nama mereka telah masuk daftar hitam, atau menggunakan paspor yang pernah dilaporkan hilang. Mereka tak diperbolehkan masuk karena tingkah mereka sejak awal mencurigakan. Tiket return, kata Corona, tak perlu ditunjukkan saat mereka mengurus visa. "Soalnya, mereka bisa saja keluar dari Meksiko memakai bis atau kapal laut," katanya kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Meksiko, memang, sangat menggalakkan kedatangan turis asing ke negaranya. Dari pendeportasianlah, tampaknya, kesialan berawal. Mr. Wong dan 16 anggota rombongan lain bisa selamat kembali ke Bangkok. Yang lima orang lagi, yang mesti segera meninggalkan Amsterdam, oleh pihak KLM diangkut dengan pesawat Boeing 747, seperti telah disebut di muka. "Celaka"-nya, pesawat ini tak singgah di Bangkok, melainkan menempuh route Amsterdam - New Delhi - Singapura - Jakarta. Padahal, turun di Jakarta tampaknya sama sekali tak pernah terlintas di benak mereka. Jakarta bukan tujuan. Tapi, menurut sumber TEMPO, di bandara Soekarno-Hatta mereka sempat "disambut" seorang bernama Darto. Si Darto ini sehari-harinya mencari makan di bandar udara, dan kenal baik dengan banyak petugas Imigrasi. "Darto ditelepon Mr. Wong dari Bangkok,- agar membantu kelima orang RRC itu," kata sumber tadi. Darto sendiri tak bisa bahasa Cina. Tapi dengan bahasa isyarat dia sempat memberi kue dan minuman kepada teman Wong. Yang aneh, begitu kelima orang RRC ditangkap, Darto ikut menghilang. Kabarnya, ia "disembunyikan" oknum-oknum tertentu agar tak buka mulut tentang kelemahan aparat Imigrasi yang diketahuinya. Dan tak hanya Darto yang dianggap "berbahaya". Petugas Imigrasi yang menangkap kelima orang RRC itu pun, kata sumber tadi, jadi dibenci kalangan tertentu itu. "Petugas itu dianggap sok mau jadi pahlawan," katanya. Selain rombongan yang lima orang, ternyata ada lagi seorang Cina yang tertangkap, yaitu Yu Hui Ming, 27. Ia malah lebih dulu masuk lewat bandara Soekarno-Hatta, pada tanggal 27 Juni 1985. Bersama temannya, Ming - yang mengaku masuk menggunakan paspor Muangthai - lolos dari pemeriksaan Imigrasi. Beberapa hari kemudian barulah ia ditangkap, di Jakarta. Berbeda dengan "kelompok lima", Ming memang bertujuan masuk ke Indonesia. Ia mengaku akan menemui familinya yang tinggal di Surabaya. Namun, sebelum sampal ke sana, temannya - yang sudah bertemu seseorang yang dikenalnya di Jakarta - meninggalkannya seorang diri. Kini Ming dan lima orang RRC itu sama-sama mendekam di rutan Salemba. Pemalsuan paspor kelihatannya memang bukan soal sederhana. Urusan itu sudah menjadi semacam bisnis banyak orang termasuk pejabat yang korup. Jarmgannya sampai ke mancanegara, dan merupakan mata rantai yang rapi dan berbelit. Mata rantai pemalsuan kali ini bermula dari hotel - yang lebih cocok disebut losmen - Huang Chung di Bangkok. Penginapan ini selalu ramai dihuni orang keturunan Cina yang ingin mencari kerja ke luar negeri. Di situ, nama Mr. Wong beken sekali sebagai seorang calo tenaga kerja. Warga negara RI yang punya dua istri dan beralamat di Kelurahan Krukut, Jakarta Barat, itu juga bisa menyiapkan paspor. Menurut Atja, ketua RT, si Wong itu pada tahun 1980 pernah tersangkut perkara paspor palsu. "Dia sempat ditahan, kalau tak salah tiga bulan. Kemudian dilepas, dan ternyata memalsu lagi," kata Atja. Kepada Mr. Wong inilah ke-21 orang RRC meminta bantuan. Wong bersedia setelah dijanjikan dibayar US$ 10 ribu per orang. Tarif itu untuk pengurusan paspor palsu, lengkap dengan tiket sampai ke Meksiko. Sebagai guide, sekaligus untuk menagih pembayaran yang akan diberikan pihak pemberi kerja di Meksiko, Wong ikut ke sana. Untuk keperluan paspor, menurut sumber TEMPO, Wong sendiri yang mengambil pasfoto di hotel Huang Chung. Dia kemudian mengontak orang bernama Benny, seorang WNI juga. Benny yang nama lengkapnya Benny Kusnadi alias Pang Soen Hian alias A Hiab, 34, inilah yang berhubungan langsung dengan Sofiandi, kepala Kantor Imigrasi Tanjungbalai, Asahan. Keturunan Cina asal Belitung ini sejak tahun lalu memang sudah mengenal Sofiandi. Kebetulan, ia pernah tinggal di Pademangan, Jakarta Utara, tak berapa jauh dari kediaman Sofiandi. Dalam soal palsu-memalsu paspor, si Benny ini residivis. "Tahun 1984 lalu, dia dicari petugas Laksusda. Gara-garanya, ada seorang cewek yang mau ke luar negeri, tertahan di Halim karena paspor yang diurus lewat Benny ternyata palsu," tutur ketua RT di situ. Agak mengherankan bila orang seperti Benny yang sudah masuk daftar hitam Imigrasi itu, bisa tetap aktif berkecimpung dalam dunia pemalsuan paspor. Mestinya, kata sumber TEMPO, pihak Imigrasi menyebarkan informasi pada semua aparatnya agar mereka tak berhubungan dengan Benny. Sebuah sumber lain, dengan nada membela Imigrasi, membenarkan soal masuknya Benny ke dalam daftar hitam. Tapi, katanya, daftar semacam itu biasanya hanya berlaku selama enam bulan. Bisa diperpanjang bila ada instansi yang masih menghendaki. Lagi pula, "pengertian daftar hitam itu adalah bahwa dia tidak boleh ke luar negeri, dan bukannya tidak boleh menguruskan paspor milik orang lain." Begitulah. Setelah mengantungi sejumlah paspor yang dipesannya, Benny terbang ke Jakarta. Ia menghubungi Moersidi Soegiyanto dari biro jasa PT Sinar Wahyu, yang beralamat di Jalan Kopi No. 11, Jakarta Utara. Moersidi itulah yang mengurus visa ke kedubes Meksiko. Sinar Wahyu itu, yang secara fisik kegiatannya diJalan Kopi tak kelihatan, diduga milik - atau ikut dimiliki - Mr. Wong. Sebab, menurut penuturan istri pertama Wong, madunya sering berada di sana, menanti atau menemani Wong. Lisye, 30-an, istri muda Wong itu, dulunya hostess di klub malam Copacobana. Ia dikawini Wong delapan tahun lalu. Adalah Wong sendiri, menurut sumber TEMPO, yang "menjemput" paspor yang sudah bervisa itu dari Jakarta dan langsung membawanya ke Bangkok. Sofiandi mau "membantu" semuanya itu tentu tidak dengan cuma-cuma. Menurut pengakuan Sofiandi kepada pemeriksa, ia mendapat Rp 250 ribu dari setiap paspor yang dikeluarkannya. Dengan menyebut harga itu berarti telah "naik" Rp 100 ribu dibanding pengakuannya pertama kali. Tapi, menurut dugaan Dirjen Imigrasi Soegino Soemoprawiro, uang yang diterima Sofiandi mungkin lebih banyak. "Dari tarif US$ 10 ribu yang dikenakan Wong, dia paling tidak menerima US$ 2 ribu per paspor," katanya kepada A. Luqman dari TEMPO. Padahal, berdasarkan penelitian sementara, menurut sumber TEMPO, sejak Sofiandi bertugas di Tanjungbalai pada November 1983, tercatat ia telah mengeluarkan 564 paspor yang tak jelas juntrungannya. Jumlah tersebut berarti 23% lebih dari jumlah total paspor yang dikeluarkan Imigrasi Tanjungbalai, selama periode Januari 1984 sampai Mei 1985. Selama jangka waktu itu, Tanjungbalai tercatat telah mengeluarkan 2.404 paspor. Tentu, uang hasil korup yang bisa dikumpulkan lumayan jumlahnya. Namun, ruang itu rupanya tak pernah dibawa pulang ke rumah dan digunakan bermewah-mewah dengan istrinya, Roslina. Perabotan di rumah dinasnya di Tanjungbalai, sederhana saja. (Lihat: Akhir Karier "Sang Penyanyi"). Uang yang didapat Sofiandi, menurut dugaan sebuah sumber, agaknya dibawa ke rumah lain. Dan yang sebagiannya lagi kabarnya didepositokan di Bank Central Asia (BCA) Medan. Jumlahnya, Rp 23 juta. Sofiandi mau menerima "order" dari Benny, kata seorang pemeriksa, karena dia berpikir bahwa tindakannya itu cukup aman. Orang-orang Cina di Bangkok yang akan pergi ke Meksiko itu toh tak bakal masuk ke Indonesia. Dari luar negeri, ke luar negeri. Tapi, teori memang tak selalu pas dengan kenyataan. Siapa mengira bahwa akan ada lima pemegang paspor keluaran Tanjungbalai bakal terdampar di Cengkareng? Itu, terjadi semata karena "kecelakaan". HIKMAH kasus ini: pembenahan jajaran Imigrasi. Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Dirjen Imigrasi Soegino akan menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk melakukan pembenahan dan pengawasan yang lebih baik. Ismail Saleh, dengan nada keras, menyatakan bahwa perbuatan itu, "Sama saja dengan menjual dokumen negara." Apalagi, seperti dikatakan sebuah sumber, Sofiandi bukan satu-satunya pejabat yang nakal. "Banyak pejabat lain tidak semua tentu - yang saya pikir malah lebih rakus," ujar sumber yang tahu banyak "isi perut" Imigrasi. Pemalsuan paspor memang bukan hal baru. Tak hanya paspor RI, paspor negara lain pun banyak yang dipalsu oleh suatu jaringan yang bersifat internasional. Awal tahun ini, kepala Polda Jakarta, Mayjen Soedarmadji, mengungkapkan penemuan 300 paspor dinas aspal. Paspor bekas pejabat pemerintah atau orang nonpemerintah yang mendapat tugas kenegaraan ke luar negeri itu ternyata diperjualbelikan. Foto dan data yang tertera dalam paspor diganti dengan data si pemegang yang baru. Tiga warga negara RI yang memegang paspor aspal itu kemudian tertangkap di Australia karena mencoba menyelundupkan 5 kg heroin. (TEMPO,2 Februari 1985). Perkara paspor dinas aspal itu sampai kini masih ditelusuri. Demikian pula halnya dengan kasus yang baru ini. Untuk itu, Mr. Wong dan Benny dicari. Benny kabarnya masih tetap berada di Jakarta. Tapi Mr. Wong kini dikabarkan berada di Singapura dengan istri mudanya. Sementara itu, 16 warga RRC yang dideportasikan ke Bangkok entah bagaimana nasibnya. Surasono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus