PUKULAN terhadap industri sepeda motor ternyata berakibat panjang. Lemahnya penjualan Honda, Yamaha dan Suzuki, dua setengah tahun terakhir ini, diduga bakal mengganggu usaha pembuatan ketiga sepeda motor itu secara penuh (full manufacturing) di sini tepat jadwal. Seharusnya, pada 1988-1989 nanti, ketiga merk tadi sudah dibikin dengan mesin dan komponen buatan lokal. Tapi keadaan pasar tampaknya 'tidak mendukung rencana itu. Suasana suram terasa ketika unit perakitan mesin sepeda motor ketiga merk itu di Jakarta, pekan lalu, diresmikan Menteri Perindustrian Hartarto secara simbolis. Perubahan mendasar, memang, telah ditempuh para pemegang saham di ketiga perakitan tadi dengan memperkecil investasi. Realisasi penanaman modal di ketiga perakitan itu, masing-masing, hanya sekitar US$ 2 juta. Padahal, rencana semula, masing-masing akan menginvestasikan US$ 12 juta. Tempatnya pun rata-rata masih menumpang di perakitan sepeda motor masing-masing. Tindakan antisipasi itu dilakukan para pemilik modal setelah pasar sepeda motor, dalam dua tiga tahun mendatang, diperkirakan belum membaik. Trenggono Purwosuprojo, direktur keuangan PT Federal Motor, malah melihat kemungkinan penjualan Honda hasil rakitannya bakal turun sedikit lagi. Tahun lalu, Federal hanya bisa menjual 125 ribu, sedangkan pada 1983 penjualannya masih 150 ribu unit. Untuk mendorong penjualan, Federal tidak mungkin menurunkan harga jual sepeda motornya. Situasi suram seperti itu juga dirasakan Sutrisno, direktur umum Grup Harapan Motor. Tahun lalu, Harapan hanya bisa menjual 50 ribu Yamaha, padahal penjualan pada 1983 masih 116 ribu unit. Penjualan tahun ini diperkirakannya tak akan lebih baik dibandingkan sebelumnya. Toh, perakitan mesinnya sudah dicoba sejak pertengahan Juni dengan produksi sekitar 4.000 unit sebulan. "Dalam masa percobaan kami harus hati-hati. Kalau mesin kurang baik bisa-bisa malah merusakkan citra," kata Sutrisno. Nah, untuk merangsang para pemilik modal agar tetap berminat melakukan investasi di perakitan mesin, pertengahan Juni, bea masuk sejumlah komponen sepeda motor diturunkan. Mesin yang diimpor secara terurai, misalnya, bea masuknya diturunkan dari 30% menjadi nol. Rangka (frame) dan penahan getaran (shock absorber) juga diturunkan dari 10% dan 20% menjadi 5%. Namun, penurunan bea masuk ini ternyata tak berpengaruh apa-apa. Perakitan mesin yang diimpor secara terurai itu ternyata malah menambah biaya saja. Menurut perkiraan Soebronto Laras, ketua Perhimpunan Agen-Tunggal dan Asembler Sepeda Motor Indonesia (PAASMI) tambahan biaya perakitan itu akan menyebabkan harga jual motor naik sekitar 4% . "Apa boleh buat," katanya. Soebronto, yang juga memimpin PT Indo Hero, juga tak melihat kemungkinan membaiknya pasar Suzuki hasil rakitannya. Tahun lalu, 45 ribu motor itu masih bisa dijualnya. Tahun ini, dia tak yakin angka itu bisa dicapainya. Dia menganggap penjualan pada Januari-April, yang mencapai 30 ribu unit, tidak normal. SERANGKAIAN kenyataan itulah yang memperkuat anggapan bahwa pembuatan sepeda motorfull manufacturing tak akan bisa tepat jadwal. Maklum, baru memasuki tahap perakitan saja (dengan bobot investasi 10%), situasi pasar kurang nyaman. Belum lagi masuk tahap pembuatan mesin (50%) dan pengecoran logam (40%). Supaya para pemegang merk itu bisa selamat memasuki tiga tahapan itu, penjualan sepeda motor tiap-tiap merk minimal harus 300 ribu setahun. Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar Eman Yogasara, menyadari keadaan itu. Dia berharap, tahun depan para agen tunggal itu mau memulai dengan membuat dua komponen utama dari rencana semula empat komponen. Kelonggaran itu diberikan bukan untuk menghindari jadwal. "Saya masih tetap optimistis sasaran full manufacturing bisa dicapai pada 1988-1989," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini