Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH sepekan penuh menggelar sidang, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memvonis bersalah tujuh mantan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia. Ketua majelis hakim Buyung Dwikora mengatakan ketujuh terdakwa terbukti memalsukan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilihan Umum 2024. “Menjatuhkan pidana kepada tujuh terdakwa masing-masing empat bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider dua bulan penjara,” ujar Buyung saat membacakan putusan pada Kamis sore, 21 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketujuh terdakwa itu adalah Umar Faruk, yang sebelumnya menjabat Ketua PPLN Kuala Lumpur, serta mantan anggota lain, yaitu Aprijon, Puji Sumarsono, A. Khalil, Masduki Khamdan Muchamad, Tita Octavia Cahya Rahayu, dan Dicky Saputra. Tapi hakim tak memerintahkan para terpidana masuk bui. Mereka hanya diberi hukuman masa percobaan selama setahun. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa hukuman enam bulan penjara terhadap mereka. Tak ada terdakwa yang menyatakan akan mengajukan permohonan banding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama persidangan pelanggaran pemilu itu, mereka berstatus tahanan kota di Jakarta. Agar keberadaan mereka tetap terpantau selama sidang, jaksa memasang perangkat digital global positioning system di pergelangan kaki para terdakwa. Seusai sidang, para terdakwa langsung balik ke hotel. “Saya mau balik ke penginapan untuk melepas GPS itu bersama jaksa,” kata Masduki, 29 tahun.
Salah seorang terdakwa, Tita Octavia, 28 tahun, mengaku sebenarnya sudah menyadari adanya kekacauan daftar pemilih pada awal Juni 2023. Pada saat itu dia tengah memperhatikan data pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) Kuala Lumpur dalam acara bimbingan teknis pembersihan data pemilih bersama semua perwakilan PPLN wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam. Program yang dihadiri komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Betty Epsilon Idroos, tersebut digelar di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. “Saya kaget menemukan 108 ribu data ganda di daftar DPSHP,” ujar Tita kepada Tempo pada Rabu, 20 Maret 2024.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kuala Lumpur Rizky Al Farizie menyebutkan hanya dua anggota PPLN Kuala Lumpur yang mengikuti acara bimbingan teknis itu. Mereka adalah Tita dan Dicky Saputra. Dalam kegiatan itu, keduanya mulai menyisir DPSHP dengan mengecek ada atau tidaknya data ganda atau nomor paspor dan nomor induk kependudukan (NIK) yang invalid. Selain untuk mencocokkan data, cara ini digunakan untuk memvalidasi data yang sebelumnya sudah dicocokkan panitia pemutakhiran data pemilih (pantarlih). Tahap ini disebut pencocokan dan penelitian terbatas atau disingkat coklit terbatas.
Sejumlah warga negara Indonesia antre untuk menjalani verifikasi data pemungutan suara ulang Pemilu 2024 di World Trade Center, Kuala Lumpur, 10 Maret 2024./Antara/Virna Puspa Setyorini
Rizky hadir dalam acara itu. Menurut dia, Betty Epsilon bersama jajarannya di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPU RI dan Panwaslu Kuala Lumpur mengikuti proses pengecekan. Salah satu yang menjadi sorotan di data tersebut adalah alamat pemilih yang dinilai janggal. Sejumlah pemilih tercatat berdomisili di gedung Annexe Damansara dan Sri Rampai di Kuala Lumpur. “Kedua lokasi itu merupakan alamat kantor agen pengurusan visa,” tutur Rizky.
Dalam acara itu, Betty meminta PPLN Kuala Lumpur tak memasukkan data calon pemilih yang beralamat di dua lokasi tersebut ke kelompok dengan metode pemilihan kotak suara keliling (KSK) dan pos. Sebab, pemilih yang tercatat diperkirakan tidak tinggal di sana. “Data DPSHP masih bisa berubah untuk kemudian ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap,” ujar Betty ketika menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PPLN Kuala Lumpur dan Pusdatin KPU juga menemukan ratusan data ganda dengan pola berbeda. Pola pertama, satu nama pemilih memiliki banyak nomor paspor atau alamat. Kedua, alamat yang tercantum tak lengkap. Ketiga, pemalsuan nomor paspor. Semua anggota PPLN Kuala Lumpur baru mengetahui adanya duplikasi data setelah pengecekan tersebut dilakukan. “Data yang sudah dibersihkan kemudian dibuka dalam rapat PPLN,” kata Tita.
Amburadulnya data itu membuat pencoblosan di Kuala Lumpur kacau. Akibat kesalahan penghitungan dan penetapan jumlah pemilih dalam DPT, jumlah pemilih melonjak di tiga tempat pemungutan suara. Akibat kekisruhan ini, KPU memutuskan menggelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur. Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu melaporkan pelanggaran ini ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Penyidik kemudian menetapkan ketujuh mantan anggota PPLN Kuala Lumpur menjadi tersangka pelanggaran pemilu pada 29 Februari 2024.
Kekisruhan data itu bermula dari semrawutnya pendataan awal pemilih warga negara Indonesia di Kuala Lumpur. PPLN semula memperoleh data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Sistem Data Pemilih (Sidalih) KPU yang totalnya mencapai 493.856 orang. Data ini kemudian diolah Fajar Drian Sindu Bawono selaku staf lokal di Kedutaan Besar RI yang ditugasi menjadi anggota Sekretariat PPLN Kuala Lumpur. Ia juga menjadi operator Sidalih dengan dibantu dua anggota PPLN, yaitu Dicky Saputra dan Masduki. Fajar dianggap kompeten lantaran pernah membantu pengurusan data pemilih di Kuala Lumpur pada Pemilu 2019.
Kepada Tempo, Fajar mengakui sejak awal sudah menemukan banyak data ganda dalam DP4 Kuala Lumpur untuk Pemilu 2024. Misalnya banyak pemilih yang memiliki data paspor yang sama. Agar tetap masuk ke sistem Sidalih, mereka menambahkan karakter baru dalam nomor paspor yang terduplikasi. Misalnya paspor A dan B sama-sama bernomor C000. Nomor paspor A yang dimasukkan ke Sidalih tetap sama, sedangkan data milik B tercatat C000D. “Saat acara bimbingan teknis KPU kami diminta memasukkan semua data DP4 ke Sidalih, baik yang ganda maupun tidak,” ucap Fajar pada Jumat, 22 Maret 2024.
Fajar pun mendapati sekitar 200 ribu data DP4 yang parsial lantaran tidak dilengkapi alamat utuh, nomor telepon, atau NIK. Untuk mengatasinya, Ketua PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk menyurati kantor Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. Ia meminta atase ketenagakerjaan dan atase keimigrasian menyerahkan data yang tercatat di Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian atau Simkim. Data inilah yang kemudian dicocokkan dengan data DP4 guna mengisi alamat atau nomor telepon yang masih bolong.
Kesalahan penghitungan data ini juga bisa dihindari sejak awal. Fajar menuturkan, data ganda dalam DP4 seharusnya hilang saat penetapan daftar pemilih sementara (DPS). Untuk menetapkan DPS, petugas pantarlih seharusnya sudah mencocokkan dan meneliti semua data pemilih. Namun, dalam rapat pleno PPLN Kuala Lumpur pada 5 April 2023, pantarlih melaporkan hanya sanggup mencocokkan data 64.148 dari total 493.856 pemilih. “Semua data itu seharusnya dicocokkan agar bisa masuk DPS,” ujar Fajar.
Rapat pleno PPLN Kuala Lumpur seharusnya menetapkan 64 ribu pemilih itu dalam DPS. Namun perwakilan partai politik yang turut hadir melayangkan protes karena jumlah data sahih yang disortir pantarlih turun drastis dari jumlah yang tercantum di DP4. Setelah perdebatan panjang, PPLN akhirnya menetapkan 491.152 pemilih masuk ke data DPS. Perwakilan partai meminta pencocokan dan penelitian data dilanjutkan hingga tenggat pada 11 April 2023.
Rupanya, waktu pencocokan data sudah habis. Menurut komisioner KPU, Betty Epsilon, masa kerja pantarlih hanya selama 12 Februari-14 Maret 2023. Di luar masa itu, pantarlih tak bisa lagi mencocokkan data. “Tahap pencocokan dan penelitian data selesai saat DPS ditetapkan,” katanya saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 18 Maret 2024.
PPLN Kuala Lumpur tetap melanjutkan sinkronisasi data DPS untuk kemudian ditetapkan dalam daftar pemilih sementara hasil perbaikan pada 12 Mei 2023. Di fase ini, data DPSHP menyusut menjadi 442.526 pemilih. Saat itulah tim Betty tiba di Kedutaan Besar RI Kuala Lumpur menemui semua personel PPLN Malaysia dan Brunei Darussalam dalam rangka bersih-bersih data pemilih ganda.
Selepas menemukan 108 ribu data ganda dalam acara itu, Tita Octavia mengklaim menyerahkan penghapusan data ganda tersebut ke Pusdatin KPU. Proses itulah yang menghasilkan jumlah pemilih yang mencapai 442 ribu orang di DPSHP. Dari jumlah itu, PPLN Kuala Lumpur membagi pemilih yang akan mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS), kotak suara keliling (KSK), dan pos sesuai dengan metode yang sudah ditetapkan KPU.
Tapi jumlah dan pembagian pemilih saat penetapan DPT Kuala Lumpur berubah lagi. Dalam hitungan akhir, totalnya mencapai 447.258 pemilih. Jumlah pemilih di TPS yang semula tercatat 438.665 turun menjadi 272.945 orang. Data KSK naik dari 524 menjadi 17.946 orang. Jumlah pemilih lewat pos pun melonjak dari 3.336 menjadi 156.367 orang. PPLN Kuala Lumpur memaparkan data mutakhir ini dalam rapat pleno pada 21 Juni 2023.
Salah seorang peserta rapat, Ketua Partai NasDem Malaysia Tengku Adnan, membenarkan perihal data terakhir tersebut. Namun perwakilan partai tak terima atas komposisi DPT versi PPLN. Mereka menganggap jumlah pemilih dalam kategori metode TPS terlalu tinggi. Peserta lain, Ketua Partai Perindo Malaysia Muhammad Tohong Hasibuan, mengatakan mustahil sekitar 200 ribu pemilih bisa mencoblos di TPS. Mereka meminta PPLN Kuala Lumpur memindahkan sebagian data pemilih di TPS ke kelompok KSK atau pos. “Mengacu pada persentase pemilih yang hadir dalam Pemilu 2014,” tutur Tohong.
Rapat pleno akhir itu pun berlangsung alot. Sekretaris PPLN Kuala Lumpur Hendra Purnama Iskandar lantas berinisiatif menghampiri Adnan dan Tohong ketika rapat pleno diskors. Mereka akhirnya menyepakati data 50 ribu pemilih kelompok TPS dipindahkan ke KSK. Saat menjadi saksi persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara daring pada 18 Maret 2024, Hendra membantah tudingan melobi perwakilan partai. “Hanya membangun komunikasi dan menjembatani,” tutur Hendra.
Petugas Penyelenggara Pemilihan Luar Negeri metode kotak suara keliling bersiap mengikuti rekapitulasi penghitungan hasil pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia, 11 Maret 2024./Antara/Virna Puspa Setyorini
Namun kesepakatan itu justru membikin PPLN Kuala Lumpur pusing tujuh keliling. Kesepakatan dalam rapat itu membuat jumlah pemilih dalam kelompok KSK melambung dari 17.946 menjadi 67.946 orang. Padahal PPLN Kuala Lumpur tak bisa menghubungi hampir semua pemilih kelompok KSK tersebut. Pemilih di kelompok ini rata-rata tak mencantumkan detail alamat. Di data tersebut hanya tertulis “Malaysia” dan “Kuala Lumpur”. Seseorang yang mengetahui proses penetapan data itu mengatakan PPLN Kuala Lumpur diam-diam mengubah data pemilih kelompok KSK.
Utak-atik data pemilih itu akhirnya terendus Panwaslu. Ketua Panwaslu Kuala Lumpur Rizky Al Farizie mengatakan baru menerima data mutakhir itu setelah tiga bulan penetapan DPT. Saat mengecek secara acak, timnya menemukan 254 data pemilih kelompok pos berada di luar wilayah kerja PPLN Kuala Lumpur. Data alamat pemilih pun tak jelas.
Karena itu, Panwaslu menyurati PPLN Kuala Lumpur untuk menindaklanjuti temuan tersebut pada 7 Desember 2023. Panwaslu juga menyarankan PPLN memperbaiki dan mencermati ulang data DPT serta berkoordinasi dengan KPU atau PPLN wilayah lain.
Permintaan itu ditindaklanjuti Ketua PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk. Ia meminta jajarannya menyortir data. Laporan Panwaslu terkonfirmasi. PPLN menemukan ratusan data pemilih metode pos berada di luar wilayah kerja PPLN Kuala Lumpur. Sebanyak 1.402 pemilih juga terindikasi tidak memenuhi kriteria untuk masuk kelompok pemilih lewat pos.
PPLN Kuala Lumpur akhirnya menggelar rapat pleno untuk mengganti sejumlah data pemilih dengan data domestik dari atase ketenagakerjaan Kedutaan Besar RI di Malaysia. Tujuannya adalah agar surat suara tetap sampai ke tangan pemilih di Kuala Lumpur. “Data di luar wilayah kerja ini adalah bom waktu dari proses data sebelumnya,” ucap Rizky.
Umar Faruk tak merespons permintaan wawancara yang dikirim ke nomor telepon selulernya. Dalam persidangan, Umar mengakui sekitar 80 ribu surat pemilih yang dikirim lewat pos kembali ke PPLN Kuala Lumpur karena alamatnya tak jelas. Ia juga mengaku menggunakan data atase ketenagakerjaan dalam daftar pemilih. “Data 1.402 itu diambil dari atase ketenagakerjaan,” tutur Umar dalam kesaksiannya.
Hingga hari pencoblosan tiba, kekacauan data itu akhirnya tak tertanggulangi. Fajar Drian Sindu Bawono, operator data PPLN Kuala Lumpur, mengatakan kekisruhan data ini tak akan terjadi jika anggota PPLN kompeten menjadi pelaksana pemilu. “Saya membantu di divisi data karena PPLN Kuala Lumpur kurang pengalaman,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bom Waktu Pemilu di Negeri Jiran".