Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Besar Ketika Surplus Perdagangan Menipis

Surplus perdagangan Indonesia makin tipis. Ada ancaman pada stabilitas eksternal perekonomian kita.

24 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Surplus perdagangan merosot amat tajam menjadi US$ 870 juta.

  • Tren penurunan surplus berlangsung sejak Desember 2023.

  • Tren penurunan surplus perdagangan bisa berlanjut.

INDONESIA punya bantalan penyangga untuk menjaga stabilitas eksternal ekonomi: surplus perdagangan selama 46 bulan berturut-turut sejak April 2020. Namun bantalan itu kian tipis. Jika surplus terus menipis, stabilitas eksternal Indonesia bisa goyah. Bagi orang awam, dampak yang kasatmata dari fenomena ini adalah melemahnya kurs rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begini penjelasannya. Ketika neraca perdagangan mencatatkan surplus, berarti pendapatan ekspor kita lebih besar ketimbang pengeluaran impor. Dus, ada aliran dolar yang masuk. Jika pasokan dolar melimpah, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing bakal menguat, dan sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di luar perkiraan para analis, per Februari 2024, surplus neraca perdagangan Indonesia secara bulanan ternyata merosot amat tajam menjadi US$ 870 juta saja. Padahal, sebelum data resmi terbit, konsensus di pasar masih penuh optimisme: surplus itu bakal jauh lebih baik ketimbang data serupa pada Januari. Proyeksi para analis menurut hasil survei oleh Bloomberg bahkan mencapai angka median US$ 2,2 miliar. Tak aneh jika pasar terperanjat ketika realisasinya cuma sekitar 40 persen dari ekspektasi itu.

Memang, masih ada surplus. Namun bantalan yang menipis tentu membawa risiko lebih besar pada stabilitas eksternal ekonomi Indonesia. Apalagi tren penurunan surplus sudah berlangsung sejak Desember 2023.

Sebagai gambaran, nilai surplus Februari itu terkecil sejak Mei 2023, yang sebesar US$ 427 juta. Sedangkan jika dibandingkan dengan capaian pada April 2022 yang sebesar US$ 7,56 miliar, surplus dagang Februari 2024 sungguh terlihat seperti ayam kate. 

Dampaknya langsung terasa pada cadangan devisa yang menurun. Pada akhir Februari 2024, cadangan devisa Indonesia berada di level US$ 144 miliar atau merosot hingga US$ 1,1 miliar hanya dalam sebulan. Penurunan cadangan devisa juga terjadi sejak Desember 2023, seiring dengan menyusutnya surplus perdagangan.

Fenomena ini juga menjelaskan sebab harga rupiah tak kunjung naik. Kurs rupiah masih berkutat di kisaran 15.700 per dolar Amerika Serikat pada Kamis, 21 Maret 2024, ketika sentimen pasar global sebenarnya sedang membaik bagi negara berkembang.

Ada kabar bahwa The Federal Reserve tetap akan memangkas bunga tiga kali pada tahun ini meskipun inflasi di Amerika Serikat masih bandel tak mau turun. Hal ini membuat dolar melemah dan mata uang negara berkembang menguat. Nyatanya, sentimen positif itu tak banyak mengangkat nilai rupiah. Jika dihitung sejak awal 2024, nilai rupiah terhadap dolar Amerika sudah luruh 1,74 persen.

Baik investor maupun pemerintah sebaiknya waspada. Tren penurunan surplus perdagangan bisa berlanjut. Bukan tak mungkin Indonesia segera kembali ke era defisit. Sebab utama luruhnya surplus adalah merosotnya harga berbagai komoditas, terutama harga dua kelompok produk utama: minyak sawit dan nikel. Selama Februari 2024, nilai ekspor minyak nabati turun 22,44 persen dalam sebulan. Sedangkan nilai ekspor kelompok baja dan nikel melorot 27 persen dibanding pada Januari.

Dalam konteks neraca perdagangan, soal nikel patut mendapat catatan khusus. Selama 2023, harga nikel turun 45 persen dan terus ambles hingga sempat menyentuh angka US$ 16 ribu per ton pada awal Februari. Ironisnya, penurunan harga ini merupakan buah strategi pemerintah Indonesia sendiri. Ketika permintaan global sedang merosot karena ekonomi lesu, Indonesia justru terus menaikkan produksi, membanjiri pasar.

Sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yang menguasai lebih dari 50 persen pasokan global, Indonesia sebetulnya dapat mengatur produksi sedemikian rupa agar harga nikel tidak anjlok. Kenyataannya, pekan lalu, pemerintah malah menaikkan kuota produksi yang membuat pasar nikel bakal makin kebanjiran pasokan. Setelah sempat naik melampaui US$ 18 ribu per ton pada awal Maret, kini harga nikel sudah kembali merosot ke kisaran US$ 17.500 per ton.

Di sini terlihat bagaimana lemahnya koordinasi pemerintah dalam mengatur ekonomi negara. Dampak kebijakan di sektor pertambangan malah mengempiskan bantalan surplus perdagangan yang sungguh penting demi menjaga stabilitas eksternal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Alarm dari Luruhnya Surplus Perdagangan" 

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus