Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memberi sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada AKBP Malvino Edward Yusticia yang terlibat dalam kasus pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024. Malvino sebelumnya menjabat sebagai Kasubdit 3 Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hasil putusan sidang KKEP terhadap MEY adalah PTDH sebagai anggota Polri,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko di Gedung TNCC Mabes Polri, Kamis, 2 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trunoyudo menyebut pelanggaran yang dilakukan oleh Malvino adalah meminta uang sebagai imbalan terhadap penonton konser DWP 2024 di Jakarta. Perbuatan ini dianggapnya sebagai tindakan tercela dari anggota Polri.
Adapun peraturan yang dilanggar oleh Malvino, kata Trunoyudo, di antaranya mulai dari Pasal 13 Ayat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri, junto Pasal 5 Ayat 1 Huruf B, Pasal 5 Ayat 1 Huruf C, Pasal 6 Ayat 1 Huruf D, Pasal 11 Ayat 1 Huruf B, dan Pasal 12 Huruf B Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Sebelumnya, Sidang Komisi Kode Etik Polri telah menjatuhi hukuman PTDH terhadap dua pelanggar lainnya. Mereka adalah Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak. Kemudian Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengapresiasi tindakan tegas yang dilakukan oleh Polri terhadap pelaku pelanggaran. Komisioner Kompolnas Choirul Anam menyebut bahwa lembaganya selaku pengawas eksternal kepolisian dilibatkan dalam proses sidang kasus ini.
“Kami mengapresiasi kepolisian yang melibatkan Kompolnas dalam kasus ini,” kata Komisioner Kompolnas Choirul Anam saat ditemui di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Anam menyebut sidang kode etik ini masih terus berlanjut untuk semua terduga pelaku pemerasan penonton DWP 2024. Hal ini juga dibarengi dengan pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Polri terkait keterlibatan para terduga pelaku dalam kasus pemerasan ini.
“Ditelusuri dari segi perencanaan, bagaimana itu bisa terselenggara, siapa yang menggerakkan, siapa memerintahkan. Penting untuk mengurainya supaya masalah ini terang benderang dan tidak boleh terjadi lagi,” ucap Anam.
Meski mendapat PTDH, kata Anam, pelaku masih bisa untuk melakukan banding maupun menghadirkan saksi untuk meringankan terhadap keputusan sidang. Sebab ini merupakan hak yang diberikan kepada seseorang saat mendapatkan tersangkut perkara atau tengah menjalani persidangan.
“Saya sih berharap sidang ini ujungnya bukan tentang PTDH atau tidak. Tapi harapan soal mekanisme. Kasus ini tidak boleh terulang kembali. Kami juga akan memberikan rekomendasi atas kasus ini,” ucap Anam.
Polri mencatat ada 45 korban warga negara asing asal Malaysia yang menjadi korban pemerasan. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Abdul Karim sebelumnya mengatakan telah menyita barang bukti Rp 2,5 miliar. Pemerasan ini terjadi saat festival musik DWP digelar di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat pada 13-15 Desember 2024 lalu.
Kasus ini mencuat setelah sejumlah korban bercerita di media sosial soal pemerasan yang dialami dengan modus razia narkoba. Mereka mengaku dipaksa menyerahkan sejumlah uang karena polisi mengancam akan menahan mereka.
Abdul menyebut terdapat 18 anggota Polri yang terdiri dari personel Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran terbukti melanggar kode etik. Mereka diduga melakukan pemerasan pada terhadap 45 penonton warga negara Malaysia saat hendak menghadiri konser musik DWP di Indonesia.
Para polisi yang bertugas di reserse narkoba itu melakukan tes urine secara acak kepada penonton DWP 2024. Mereka kemudian mengancam akan menahan orang tersebut apabila tidak membayar uang tebusan. Baik yang hasilnya positif mengkonsumsi narkoba ataupun tidak. Menurut Abdul Karim, nominal uang tebusan tersebut berbeda-beda.
"Total ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban pemerasan dengan nilai barang bukti yang diamankan Rp 2,5 miliar," ucapnya di Gedung Mabes Polri, Selasa, 24 Desember 2024.