Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Polda Metro Jaya tengah memeriksa empat polisi atas dugaan pemerasan terhadap tersangka pembunuhan.
Pengawasan yang lemah membuat polisi gampang berkomplot memeras para tersangka.
Integritas yang rendah membuat jenis pengawasan apa pun sulit mengontrol perilaku buruk polisi.
SETELAH menetapkan seorang mayat menjadi tersangka, kini muncul lagi kasus lain tak kalah absurd. Kepolisian Resor Jakarta Selatan tengah menyelidiki empat polisi yang diduga terlibat pemerasan. Ada dua orang yang mengaku menjadi korban pemerasan. Keduanya tersangka pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap anak, Arif Nugroho serta Bayu Hartanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Nurma Dewi, membenarkan proses penyidikan kepada polisi yang sudah pindah tugas itu. Mereka, kata Nurman, sudah menjalani penempatan khusus di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. “Mereka masih diperiksa sejak Sabtu lalu,” kata Nurma, Kamis, 30 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para polisi yang tengah diperiksa itu adalah mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Bintoro; serta dua anak buahnya, Kepala Unit Reserse Mobil Ajun Komisaris Ahmad Zakaria dan Kepala Sub-Unit Reserse Mobil berinisial ND. Sedangkan satu orang lagi adalah Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung, Kepala Satuan Reserse Kriminal pengganti Bintoro.
Kepala Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Bintoro saat konferensi pers sebuah kasus kriminal di Jakarta, 26 April 2024. ANTARA/Khaerul Izan
Dugaan pemerasan ini mencuat setelah Arif Nugroho dan Bayu Hartanto mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 Januari 2025. Dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, gugatan itu tercatat dengan Nomor Perkara: 30/Pdt.G/225/PN JKT.Sel. Pihak yang digugat adalah AKB Bintoro, AK Mariana, AK Ahmad Zakaria, Evelin Dohar Hutagalung, dan Herry.
Dalam gugatan itu, Arif dan Bayu meminta para tergugat mengembalikan uang Rp 1,6 miliar. Para tergugat juga diminta menyerahkan mobil Lamborghini Aventador serta sepeda motor Harley-Davidson Sportster Iron dan BMW HP4.
Bintoro membenarkan dia menjadi salah satu tergugat dalam gugatan perdata tersebut. Namun dia membantah tudingan bahwa gugatan itu dikaitkan dengan dugaan pemerasan. “Gugatannya berbeda. Di situ, saya dituduh menerima Rp 5 miliar tunai dan Rp 1,6 miliar secara transfer sebanyak tiga kali ke nomor rekening saya,” katanya seperti dilansir Antara pada Ahad, 26 Januari 2025.
Adapun untuk dugaan pemerasan, kata Bintoro, diviralkan oleh AN, tersangka tindak pidana kejahatan seksual dan perlindungan anak. Dalam perkara ini, korban meninggal di salah satu hotel di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Bintoro menyebutkan AN, yang tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, menyebarkan berita bohong tentang pemerasan. "Faktanya, semua ini fitnah,” kata Bintoro beberapa hari sebelum menjalani patsus di kantor Polda Metro Jaya.
Bintoro tidak menjelaskan identitas AN. Namun diduga kuat orang berinisial AN itu merujuk pada Arif Nugroho. Namanya tercatat sebagai salah satu penggugat dalam berkas gugatan Nomor Perkara: 30/Pdt.G/225/PN JKT.Sel. Arif Nugroho—bersama Bayu Hartanto—adalah orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bintoro dalam kasus pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap anak.
Dari Kamar Hotel ke Kantor PolisiSeorang remaja putri 16 tahun tewas akibat overdosis narkotik di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Sedangkan temannya yang juga berusia 16 tahun selamat, meski harus menjalani perawatan di rumah sakit. Belakangan, polisi menetapkan dua orang sebagai tersangka, yaitu Arif Nugroho, 48 tahun, dan Bayu Hartanto, 46 tahun. |
Kepala Polres Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Rahmat Idnal menyatakan tidak mengetahui pemerasan yang diduga melibatkan Bintoro. Namun dia memang merasa ada kejanggalan dalam penanganan kasus pembunuhan dan kekerasan seksual yang dipegang Bintoro. "Penanganan perkara sangat lama,” kata Ade dilansir dari Antara pada Senin, 27 Januari 2025.
Perkara itu baru rampung setelah Bintoro dimutasi dan posisi Kasat Reskrim digantikan oleh Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung. "Setelah masuk kasat baru Gogo itu, saya perintahkan agar dipercepat sampai P21 dan tahap II langsung lancar."
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan praktik pemerasan yang melibatkan polisi bukan peristiwa baru. Dia mencontohkan kasus pemerasan terhadap warga negara Malaysia di arena festival musik Djakarta Warehouse Project 2024. Sebanyak 20 polisi dikenai sanksi etik karena dinilai terlibat dalam pemerasan itu.
Menurut Bambang, rawannya pemerasan di tahap penyelidikan dan penyidikan terjadi karena lemahnya pengawasan. “Sistem kontrol lemah, padahal itu ranah yang gelap dan sangat bergantung pada integritas polisi,” ujarnya.
Selama ini, kata Bambang, publik kesulitan memantau proses hukum di tahap penyelidikan dan penyidikan. Dia mencontohkan dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri. Penyidik telah menetapkan Firli sebagai tersangka sejak 23 November 2023. Namun ujung penanganan kasus itu tidak ada kejelasan hingga sekarang.
Celah lain yang kerap membuka peluang terjadinya pemerasan—juga praktik suap—adalah kewenangan penyelidik menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan. Kerawanan muncul karena tidak ada pengawasan pihak eksternal. “Bisa terjadi tawar-menawar (untuk menghentikan penyelidikan),” ujarnya. Sementara itu, di tahap penyidikan, kata Bambang, celah itu sedikit tertutup karena prosesnya dipantau oleh kejaksaan.
Bambang mencontohkan kasus kematian bocah Afif Maulana di Padang, Sumatera Barat. Penyelidikan atas kasus ini dihentikan karena dinilai tidak ada bukti yang menguatkan dugaan penganiayaan terhadap Afif. Padahal Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Padang justru menemukan fakta-fakta sebaliknya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi (kanan) dan Kabid Propam Polda Metro Jaya Komisaris Besar Radjo Alriadi Harahap memberikan keterangan dugaan pemerasan yang dilakukan oleh mantan Kepala Satuan Reskrim Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Bintoro, terhadap tersangka kasus pembunuhan sekaligus anak dari bos jaringan klinik laboratorium kesehatan, Arif Nugroho (AN) alias Bastian, serta Muhammad Bayu Haryoto, di Jakarta pada Rabu, 29 Januari 2025. TEMPO/Advist Khoirunikmah.
Bambang menyarankan institusi kepolisian membuat sistem yang memudahkan publik mengawasi kinerja polisi. Misalnya membuat situs web sistem informasi penelusuran perkara seperti yang digunakan oleh pengadilan. Dengan sistem itu, masyarakat bisa memantau tahapan penanganan kasus di kepolisian.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana sependapat dengan Bambang. Menurut dia, kewenangan polisi sangat tinggi di tahap penyelidikan dan penyidikan, sedangkan sistem pengawasan justru lemah. “Ini yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang,” ujar Arif.
Pendapat berbeda disampaikan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Muhammad Choirul Anam. Ia menilai sistem pengawasan sudah berjalan sesuai dengan aturan, baik di tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga ada putusan pengadilan. “Kompolnas juga bisa mengawasi,” ujarnya.
Choirul mencontohkan adanya proses gelar perkara sebagai bentuk pengawasan di tahap penyelidikan. Proses ini menjadi penentu untuk melanjutkan penyelidikan atau justru sebaliknya. Masyarakat juga diberi ruang mengoreksi hasil penyelidikan polisi melalui gugatan praperadilan.
Namun Choirul tidak memungkiri masih ada celah terjadinya pemerasan dan suap di tiap tahap penanganan perkara. “Ya, harus kita awasi memang kinerja, profesionalisme, dan akuntabilitas mereka,” ujarnya. Dia setuju untuk mempidanakan anggota kepolisian yang terbukti menerima suap atau memeras. “Selain diproses secara etik, harus dipidanakan,” katanya. ●
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo