KINI tinggal cerita dari mulut ke mulut saja. April lalu, mereka
yang melintasi jalan, raya Samarinda-Balikpapan, berjarak 115
km, dihinggapi rasa ngeri. Pasalnya: hutan di kanan kiri jalan
luas sekitar satu juta hektar, dilalap si jago merah. Dan
sekarang, setelah api yang mengganas selama hampir tiga pekan
itu ditumpas hujan, tanah yang dulu hijau telah berubah menjadi
kerontang -- termasuk kebun raya dan hutan koleksi Universitas
Mulawarman, seluas 200 hektar, di Desa Lempake.
Selama tiga bulan terakhir tercatat 85 kali kebakaran hutan dan
semak di sekitar Samarinda. Setiap kali sirene Dinas Pemadam
Kebakaran Kodya Samarinda melengking itu pertanda, paling tidak,
setengah hektar hutan musnah. "Kami nyaris tak pernah
istirahat," kata seorang petugas pemadam kebakaran di sana.
Diduga penyebab gampangnya hutan terbakar adalah kemarau panjang
-- sudah sembilan bulan hujan tak turun di Kalimantan Timur
barang setetes pun.
"Saya menitikkan air mata," ujar Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi,
rektor Universitas Mulawarman, mengenai musnahnya kebun raya di
Lempake. "Dan nilai semua itu tak bisa diukur dengan uang."
Sejak 1970, selain Lempake (seluas 300 hektar), tercatat pula
hutan lindung Bukit Suharto (10.000 hektar) dan cagar alam
Kersik Luwai (5.000 hektar) yang dijadikan tempat penelitian
bagi mahasiswa serta ilmuwan kehutanan dalam dan luar negeri.
Akibat kebakaran besar itu keseimbangan ekologi otomatis
terganggu. Selama kebakaran, Balikpapan dan Samarinda diselimuti
kabut tebal. Sehingga pesawat terbang tak bisa mendarat di sana.
Kabut ini bahkan sampai di lapangan terbang Juanda, Surabaya
bulan lalu.
Yang lebih menyedihkan adalah binasanya lahan dan sistem
pendukung kehidupannya. Antara lain, perlindungan tanah,
daur-ulang zat hara dalam tanah, dan pelestarian sumber daya
air. Belum lagi musnahnya aneka unsur genetika atau plasma
nutfah dan mikro organisme lainnya. Bukti nyata sudah terlihat
dengan layunya ribuan pohon kelapa milik penduduk Kecamatan
Samboja.
Penyebab kebakaran hingga kini masih ditebak-tebak. Diduga
pelakunya pencuri kayu yang jengkel. Tapi Soetrisno Hadi
cenderung menuding petani ladang yang lalai. Sebab kebiasaan
membuka ladang secara semberono masih saja berlangsung.
Tak terkuasainya api dengan cepat akibat terbatasnya sarana
pemadam kebakaran. "Penanggulangannya masih tradisional," kata
Ir. Bambang Purwono, staf Menteri Kependudukan & Lingkungan
Hidup, yang khusus datang ke Samarinda. Maksudnya: alamiah --
menanti hujan. Dan hujan baru turun akhir April -- dua minggu
setelah sekitar 50.000 umat Islam melakukan sembahyang Istiqa
(minta hujan).
Di kebun raya Lempake, Rektor Soetrisno Hadi mengatasi
kebakaran dengan mengerahkan ribuan mahasiswa. Tapi karena
ketiadaan alat usaha, mereka sia-sia saja. "Akhirnya kami cuma
bisa pasrah kepada keadaan," kata Soetrisno.
Untuk mencegah kebakaran hutan, terutama hutan lindung, beberapa
langkah pengamanan telah disepakati oleh aparat pemda, dinas
kehutanan, dinas transmigrasi, dan Universitas Mulawarman.
Antara lain sekitar 500 kepala keluarga, yang kini berdiam di
kawasan hutan lindung Bukit Suharto, akan dipindahkan -- tempat
pemukiman baru untuk mereka sedang dicari. Dan kepada penduduk
juga akan diajarkan bagaimana caranya berladang tetap.
Tak cuma hutan yang binasa akibat kemarau panjang di Kalimantan
Timur. Juga Sungai Mahakam, yang jadi sumber air minum penduduk,
ikut tercemar. Kadar garam air sungai itu melonjak jadi 1.000
mg per liter. Sementara kadar garam maksimal untuk bisa diminum,
dan tak membahayakan, adalah 600 m per liter. Akibatnya,
apalagi kalau bukan wabah muntaber merajalela. Sampai minggu
lampau tercatat 771 pasien muntaber tergolek dan 19 meninggal
di rumah sakit umum Samarinda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini