Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAK sudah tradisi, Wisnu Su broto tanpa ragu dan canggung menyambut uluran tangan Anggodo Widjojo. Anggodo, terdakwa kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan takzim mencium tangan Wisnu. ”Sungkeman” gaya Anggodo-Wisnu yang direkam kamera televisi dan disaksikan puluhan wartawan ini terjadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Selasa pekan lalu.
Wisnu memberikan kesaksian soal rekayasa menjebloskan Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah dengan cara menciptakan kronologi penyuapan yang dilakukan Anggodo. Nama dan suara bekas Jaksa Agung Muda Intelijen ini terekam dan disebut-sebut Anggodo saat merencanakan rekayasa itu dengan anak buahnya setahun lalu. ”Saya mohon doa restu dan mohon maaf telah melibatkan Bapak yang tak tahu apa-apa ke dalam kasus ini,” kata Anggodo.
Wisnu mengaku tak mengenal orang lain yang disebut Anggodo dalam re kaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi itu. Tapi ia tak menyangkal kenal dekat dengan adik Anggoro Widjojo, buron tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Kementerian Kehutanan, ini. Wisnu mengenal Anggodo tiga tahun lalu dan kerap kongko bersamanya di kafe dan hotel setidaknya tiga kali sepekan. ”Hobi kami sama, menyanyi dan mengoleksi cincin,” katanya.
Rekayasa menjerat Chandra dan Bibit itu memang melibatkan banyak orang. Uang Rp 5,1 miliar yang disediakan Anggoro diserahkan kepada Ary Muladi di Singapura. Anggodo mengenal Ary sebagai orang yang dekat dengan kalangan jaksa dan polisi sejak keduanya tinggal di Surabaya. Uang sebanyak itu rencananya dipakai untuk menyuap para penyidik dan pemimpin Komisi. Tujuannya, tentu saja, agar Komisi tak meneruskan penyidik an korupsi Anggoro.
Sejauh ini, belum ada bukti yang menunjukkan uang suap itu sampai ke tangan Bibit dan Chandra. Ary awalnya mengaku menyerahkan uang langsung ke tangan keduanya, dan beberapa penyidik lain, di Pasar Festival dan Apartemen Bellagio, Jakarta. Pengakuan itu dia tuangkan dalam dokumen kronologi pengurusan kasus di KPK yang ia teken bersama Anggodo pada 15 Juli 2009.
Dokumen kronologi itulah antara lain yang kemudian menjebloskan Bibit dan Chandra ke penjara polisi, meski tuduhan resminya kemudian berubah menjadi penyalahgunaan wewenang mencekal Joko Sugiarto Tjandra ke luar negeri. Belakangan, setelah terancam ditahan, Ary mengubah pengakuannya. Uang itu, ujarnya, tak langsung diberikan kepada keduanya, tapi dititipkan pada seseorang bernama Yulianto.
Siapa Yulianto tak jelas benar. Ary mengaku tak bisa menemuinya lagi setelah ramai-ramai perseteruan polisi dan KPK mencuat dan menggegerkan publik sepanjang tahun lalu. Investigasi Tempo awal tahun ini juga tak menemukan jejaknya. Tempat-tempat yang disebut-sebut Ary sebagai lokasi pertemuannya dengan Yulianto tak memberikan bukti sosok ini benar-benar ada.
Di Hotel Crowne, Jakarta, misalnya. Ary mengaku bertemu dengan Yulianto sekitar Mei 2009 di hotel yang terletak di seberang markas Kepolisian Daerah Jakarta ini. Tempo yang mengecek ke sana tak menemukan nama pengusaha asal Surabaya itu pernah bertamu atau menginap di hotel tersebut. Rumah-rumah yang diklaim sebagai alamat Yulianto juga nihil. Meski begitu, Ary menyangkal pernyataan bahwa Yulianto sosok fiktif yang dibuat untuk mengaburkan aliran duit suap itu.
Kubu Anggodo menuduh Yulianto itu tak lain Ary Muladi sendiri, sehingga mereka menuduh Ary telah menipu dan menggelapkan uang Anggoro. Namun pengacara Ary, Sugeng Teguh Santoso, mengaku percaya sosok Yulianto itu benar-benar ada. ”Tapi bukan orang, melainkan representasi sifat beberapa orang,” katanya.
Yang pasti, dokumen kronologi itu memang ada. Dokumen inilah yang menjadi bukti untuk menjerat Anggodo. Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikannya tersangka dengan tuduhan menghalang-halangi penyidikan terhadap kakaknya. Pengadilannya sudah digelar, tapi belum menunjukkan bukti apakah suap itu memang terjadi. Bibit dan Chandra, yang bersaksi dua pekan lalu, membantah menerima uang.
Bibit menyodorkan alibi dia berada di Peru menghadiri konferensi pejabat lembaga antikorupsi saat uang suap itu diserahkan Ary. Sinyal telepon Chandra tak berada di sekitar Pasar Festival di malam yang disebut Ary sebagai waktu penyerahan uang laknat itu. Deputi Bidang Penindakan Ade Rahardja bahkan mengaku tak mengenal Ary.
Sebaliknya, Ary Muladi juga mengaku hanya sekali bertemu dengan Ade, yakni sewaktu jenderal polisi ini dilantik menjadi Direktur Reserse Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 2000. Tapi pengakuan ini patah oleh kesaksian Sigit Winarno. Dia bekas anggota staf administrasi Ade di Kepolisian Jawa Timur. Kepada polisi, Sigit mengaku mencatat kedatangan Ary menemui bosnya setidaknya empat kali sepanjang 2000-2003.
Sigit mengaku hafal sosok laki-laki 53 tahun itu karena Ary selalu menyebut namanya sendiri dan keperluannya menemui Ade. ”Setiap kali bertamu sekitar 30-60 menit,” kata Sigit. Namun kesaksian ini agaknya dikesampingkan polisi dan jaksa.
Sugeng Teguh Santoso tak percaya Sigit memberikan kesaksian seperti itu. ”Harus ditanyakan apakah dia tak berada dalam tekanan polisi ketika memberikan kesaksian,” katanya. Sugeng perlu merasa curiga karena pihak yang sejak awal paling bernafsu mengkri minalkan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah polisi. Alhasil, dugaan suap dan adanya mafia kasus di lembaga antirasuah itu kian kabur saja.
Harapan itu kembali muncul keti ka secara mengejutkan Komisi mengumumkan telah meningkatkan status Ary dari saksi menjadi tersangka, Jumat dua pekan lalu. Ary memang sempat menjadi saksi mahkota bagi penyidik internal Komisi. Sepanjang Oktober-Desember 2009, ia bolak-balik diperiksa penyidik karena banyak pengakuan dari para makelar kasus yang menyebut Ary sebagai makelar kawakan.
Namun, sampai pemeriksaan selesai, penyidik internal tak menemukan bukti cukup bahwa Ary pernah berhubung an dengan orang dalam. Atas dasar kesaksian yang menguntungkan KPK ini, pengacaranya mengajukan permohonan perlindungan hukum. Tapi Komisi menolaknya. ”Ke meja saya sih tak ada dia minta perlindungan secara tertulis,” kata Haryono Umar, Wakil Ketua Komisi.
Sama dengan Anggodo, Ary dijerat pasal menghalangi penyidikan, yang ancamannya 3-12 tahun penjara. Dokumen kronologi, pengakuan Anggodo, dan pengakuan Ary Muladi sendiri menjadi dasar penetapan itu. Menurut Haryono, penetapan itu sengaja dilakukan sekarang karena waktunya tepat. ”Bukti-bukti di persidangan Anggodo menunjukkan tak ada suap,” katanya. ”Ingat, KPK tak mengenal peng hentian penyidikan, sehingga kalau seseorang sudah jadi tersangka, kami punya kewajiban yang bersangkutan sampai ke pengadilan.”
Komisi bahkan menantang pengacara Anggodo memutar rekaman percakapan antara Ary dan Ade, yang konon terekam hingga 64 kali. Tapi tantangan penting ini agaknya susah di kabulkan. Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang dulu sangat yakin ada rekaman itu, kini berbalik melempem. ”Saya akui dulu memang bilang re kaman itu ada, sekarang no comment,” katanya. Padahal ini bukti materiil yang bisa membuat terang kebingung an publik terhadap KPK.
Meski gagal mendapat perlindung an dari KPK, Ary Muladi memilih tak ”melawan”. Kepada Sugeng, Ary mengaku pasrah dijadikan tersangka. ”Mau ditahan silakan, tak ditahan terima kasih,” ujarnya. Yang jelas, kata Su geng, Ary tak akan lagi mengubah pengaku an uang itu sampai ke tangan pimpinan KPK. ”Karena faktanya memang seperti itu,” ujar Sugeng.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo