Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda bila infotainmen digolongkan sebagai karya jurnalistik?
15-21 Juli 2010 |
||
Ya | ||
7,57% | 80 | |
Tidak | ||
89,88% | 950 | |
Tidak Tahu | ||
2,55% | 27 | |
Total | 100% | 1.057 |
Mulharnetti Syas, doktor komunikasi massa dari Universitas Indonesia, setelah mengamati proses produksinya, menyimpulkan infotainmen bukan karya jurnalistik. ”Prosesnya tidak sesuai dengan koridor jurnalistik,” katanya. Infotainmen, dia melanjutkan, bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Karena infotainmen bukan karya jurnalistik, kata Mulharnetti, pekerjanya pun tidak bisa disebut wartawan.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengakui anggota Dewan Pers berdebat soal ini. Jika masuk kategori jurnalistik, kata dia, pekerjanya harus memenuhi kaidah dan kode etik jurnalistik. ”Persoalannya, infotainmen sering tidak memenuhi kode etik ini,” ujarnya.
Dari 1.057 responden yang mengikuti jajak pendapat Tempo Interaktif, pekan lalu, hanya 80 orang setuju infotainmen digolongkan karya jurnalistik. Sebaliknya, hampir 90 persen menyatakan tidak setuju. ”Lebih baik menonton Animal Planet, National Geographic Channel, tayangan ekspedisi, atau aneka makanan daerah. Anak-anak suka. Daripada blow up berita rumah tangga orang,” kata R. Wibowo, seorang pembaca.
Indikator Pekan Depan PEMERINTAH berencana membatasi bahan bakar minyak bersubsidi. Mobil yang diproduksi di atas 2005 akan dilarang memakai bahan bakar jenis ini. Alasannya, pemilik mobil baru termasuk masyarakat mampu sehingga seharusnya memakai bahan bakar nonsubsidi. Jika langkah ini bisa diterapkan mulai September, bahan bakar subsidi bisa dihemat hingga 2,3 juta kiloliter. Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Herawati Legowo, pembatasan sudah mendesak karena realisasi konsumsi minyak bersubsidi melonjak 6-9 persen dari kuota yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010. Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit justru mengkhawatirkan pembatasan itu membuka peluang manipulasi. Ujung-ujungnya, biaya pengawasan menjadi tinggi. Pengamat pemasaran otomotif nasional, Erwin Subarkah, juga berpandangan sama. ”Pembatasan berpotensi menimbulkan penyelewengan bensin bersubsidi lewat pasar gelap,” ujarnya. Setujukah Anda atas rencana pemerintah melarang mobil pribadi buatan setelah 2005 menggunakan premium bersubsidi? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo