Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Sekretariat Negara tidak mengizinkan kawasan Taman Ria Senayan diubah menjadi mal sangat melegakan. Tak terbayang apa yang terjadi jika izin itu dikeluarkan dan akhirnya didukung Dewan Perwakilan Rakyat. Kawasan Senayan semakin porak-poranda. Warga Jakarta pun, untuk kesekian kalinya, akan kehilangan wilayah terbuka hijau yang seharusnya bisa difungsikan sebagai paru-paru kota.
Adalah PT Ariobimo Laguna Perkasa yang mengajukan izin untuk membangun kawasan komersial di taman yang bersebelahan dengan Gedung DPR tersebut. Dengan lokasi strategis di tengah kota, di pinggir jalan protokol, serta dikerubuti hotel dan apartemen membangun mal berikut ”kelengkapannya” yang lain, seperti bioskop dan restoran, memang jauh lebih menguntungkan ketimbang membangun ”sepotong” taman ria. Ariobimo mendapat hak pengelolaan lahan ini sampai 2035.
Ario tak bisa membangun karena izin amdal, analisis mengenai dampak lingkungan, tak kunjung turun. Namun sejatinya perusahaan ini sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah Jakarta untuk menyulap lahan sekitar 10 hektare tersebut menjadi pusat belanja dan hiburan. Keputusan pemerintah Jakarta yang cenderung mengobral pendirian mal inilah yang patut disayangkan.
Kalau rencana itu terwujud, bisa berabe. Mal yang rencananya akan dikelola oleh Grup Lippo ini melengkapi wajah di seputar Senayan yang sudah sesak dijejali mal seperti Plaza Senayan, Senayan City, dan Plaza FX. Sudah benar kalau DPR menentang. Sebab, konsep awal area di bawah penguasaan Sekretariat Negara tersebut hanya boleh dijadikan sebagai sarana olahraga, hutan, atau taman kota.
Mal tumbuh terlalu subur di Jakarta. Jumlahnya spek takuler, sedikitnya ada 130 bangunan. Ini menempatkan Jakarta sebagai kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia. Kondisi ini sangat ironis. Di satu sisi, dalam dua tahun terakhir ini, pemerintah DKI giat menutup stasiun pompa bensin yang berdiri di jalur hijau. Namun pada saat yang sama mengobral izin pendirian mal yang memakan area yang mestinya bisa berfungsi sebagai resapan air sekaligus pencegah banjir.
Wilayah lahan terbuka hijau makin tergerus. Menurut aturan, wilayah hijau Jakarta minimal 13,94 per sen dari luas Jakarta atau sekitar 7.800 hektare. Ditetapkan lewat Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999, luas ini sudah jauh menurun dari rencana tata kota sebelumnya yang menunjuk angka 40 persen. Tapi ketentuan yang sudah ”mini malis” itu pun tak bisa dipenuhi. Luas daerah terbuka hijau di Jakarta kini hanya 9 persen. Dengan area hijau seperti ini dengan jumlah taman kota hanya empat muskil mengharap wilayah itu menjadi ”paru-paru” yang sehat untuk sembilan juta warganya.
Kasus ini mestinya dijadikan momentum Sekretariat Negara untuk mengevaluasi dan membenahi pemanfa atan aset lahan mereka di sekitar Senayan. Kita tidak ingin akibat kecerobohan dan permainan sejumlah oknum, lahan milik negara ini jatuh ke tangan swasta atau berubah menjadi sengketa, seperti yang pernah terjadi atas lahan Hotel Hilton kini Hotel Sultan beberapa tahun silam.
Pemerintah DKI juga mesti belajar dari kasus ini. Sudah saatnya izin pendirian mal tak diobral. Lahan kosong dimaksimalkan sebagai paru-paru kota. Dengan bujet daerah Rp 24 triliun, rasanya tak sulit membangun taman kota yang hijau, rimbun, dan menyegarkan. Predikat ”kota taman” tentu lebih membanggakan ketimbang Jakarta sebagai ”ibu kota mal”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo