Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Alasan Hakim Agung Menolak Peninjauan Kembali Terpidana Pembunuhan Vina dan Eky

Putusan peninjauan kembali kematian Eky dan Vina di Cirebon berlawanan dengan fakta persidangan. Dugaan pembunuhan makin buram.

18 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali tujuh terpidana kasus Vina Cirebon.

  • Sejumlah fakta baru muncul dalam persidangan peninjauan kembali.

  • Hasil penyelidikan tim khusus yang dibentuk Mabes Polri dipertanyakan.

MAHKAMAH Agung menolak menolak permohonan peninjauan kembali (PK) tujuh terpidana pembunuhan Muhammad Rizky dan pacarnya, Vina Dewi Arsita, di Cirebon, Jawa Barat. Sejumlah ahli hukum menilai putusan hakim agung itu berlawanan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tingkat pertama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Mungkin hakimnya malas membuat banyak pertimbangan, jadi diputus secara formal, tidak masuk pada substansi perkara,” kata dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Selasa, 17 Desember 2024. 

Menurut Fickar, fakta-fakta yang muncul dalam persidangan itu sejatinya menguatkan adanya kekeliruan hakim pengadilan pertama dalam memutus perkara pembunuhan ini. Karena itu, putusan Mahkamah Agung yang menolak PK menjadi tidak logis. Apalagi ada satu tersangka, yakni Pegi Setiawan alias Perong, diputus bebas melalui jalur praperadilan. “Bebasnya Pegi seharusnya menjadi fakta hukum,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, kata Fickar, sebagai produk hukum, putusan PK tersebut tetap harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk para terpidana. Jika masih berkeberatan dengan putusan itu, mereka bisa mengajukan upaya hukum lain. “Sebaiknya PK ulang,” tuturnya. “Karena PK tidak dibatasi permohonannya, sepanjang bisa ditunjukkan ada kekeliruan dan kekhilafan hakim.”  

Kejanggalan yang Belum Terjawab

Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh tujuh terpidana pembunuhan pasangan kekasih Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky. Majelis hakim PK tidak menemukan adanya kekeliruan hakim dalam mengadili perkara pembunuhan yang terjadi delapan tahun lalu itu. Majelis hakim juga tidak menemukan novum dalam PK yang diajukan para terpidana.

Pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon ini menjadi sorotan publik karena terdapat sejumlah kejanggalan, antara lain:

Luka Tusuk

Kronologi yang tercantum dalam putusan pengadilan menyebutkan Eky ditusuk dan dibacok oleh beberapa pelaku yang mengenai sekitar perut sebelah kiri serta dada sebelah kanan. Namun luka tersebut tidak tercantum dalam dokumen visum et repertum. Hasil visum menyebutkan pada tubuh korban hanya ada trauma akibat benda tumpul.   

Temuan Sperma

Berdasarkan dokumen visum hasil ekshumasi jenazah Vina yang dilakukan 10 hari setelah pemakaman, ditemukan sperma pada kemaluannya. Temuan ini menimbulkan pertanyaan karena sejumlah ahli berpendapat sperma hanya dapat bertahan hidup maksimal tiga hari.   

Bukti Komunikasi

Polisi mengantongi bukti data komunikasi antara Vina dan dua temannya, Widia Sari serta Mega Lestari, berupa pesan pendek (SMS). Komunikasi itu terjadi hanya beberapa jam sebelum kematian Vina dan Eky pada 27 Agustus 2016. Namun bukti komunikasi itu tidak pernah diungkap di pengadilan.

Diperiksa Dulu, Baru Dilaporkan

Ayah Eky, Rudiana, yang saat itu menjabat Kepala Unit Satuan Narkoba Kepolisian Resor Cirebon, memiliki andil besar dalam penanganan kasus ini. Rudiana dengan jelas menggambarkan peran setiap pelaku. Belakangan diketahui bahwa Rudiana dan timnya lebih dulu menangkap serta memeriksa orang yang diduga sebagai pelaku sebelum melaporkan kasus pembunuhan tersebut secara resmi ke Polres Cirebon Kota.

Pegi Setiawan

Polisi menangkap Pegi Setiawan pada 21 Mei 2024. Pegi dituding sebagai salah satu pelaku pembunuhan Vina dan Eky yang selama ini buron. Pengadilan Negeri Bandung menyatakan penetapan tersangka terhadap Pegi tidak sah secara hukum. 

Kesaksian Palsu

Dede, salah satu saksi kunci pembunuhan Vina dan Eky, mengaku telah memberikan kesaksian palsu dalam persidangan delapan tahun lalu. Kesaksian palsu itu ia berikan atas perintah Aep dan Rudiana. Aep adalah kawannya yang juga menjadi saksi kunci.   

Dugaan pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky alias Eky terjadi pada 27 Agustus 2016. Awalnya mereka ditemukan terkapar di flyover Talun, Kota Cirebon, Jawa Barat, menjelang tengah malam. Polisi kemudian menetapkan dua remaja itu tewas akibat kecelakaan tunggal.

Empat hari setelah peristiwa tersebut, Kepala Unit Satuan Narkoba Polres Cirebon Inspektur Satu Rudiana melaporkan kasus ini ke Polres Cirebon Kota atas dugaan pembunuhan. Rudiana adalah ayah Eky. Belakangan diketahui, sebelum melaporkan dugaan pembunuhan itu, Rudiana lebih dulu menangkap dan memeriksa delapan orang yang diduga sebagai pelaku.

Delapan orang itu adalah Rifaldy Aditya Wardhana, 21 tahun, Eko Ramadhani (27), Hadi Saputra (23), Eka Sandy (24), Jaya (23), Supriyanto (20), Sudirman (21), dan Saka Tatal (15). Merekalah yang kemudian diseret ke pengadilan dan dinyatakan bersalah atas dakwaan pembunuhan berencana. Semuanya divonis hukuman seumur hidup, kecuali Saka Tatal hanya 8 tahun penjara.

Delapan orang itulah yang mengajukan permohonan PK karena memiliki novum (bukti baru) untuk menunjukkan mereka tidak bersalah. Mereka juga menilai terdapat kekhilafan atau kekeliruan majelis hakim dalam memutus perkara pembunuhan itu.   

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi. Dok. Biro Hukum dan Humas MA

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi mengatakan majelis hakim telah membacakan putusan atas permohonan PK tujuh terpidana pada 16 Desember 2024. Intinya, majelis hakim menilai alasan para terpidana mengajukan PK tidak dapat diterima. Putusan itu didasarkan pada dua pertimbangan, yakni tidak ada kekhilafan hakim dalam mengadili para terpidana serta tidak ada bukti baru yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Putusan PK untuk terpidana pembunuhan Vina dan Eky ini terbagi dalam dua berkas. Pertama, PK nomor 198 PK/PID/2024 dengan pemohon Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya. Mereka diadili oleh majelis hakim yang dipimpin Burhan Dahlan dengan anggota Yohanes Priyana serta Sigid Triyono.

Kedua, terdaftar dengan nomor 199 PK/PID/2024 dengan pemohon Eka Sandy, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto. Majelis hakim untuk PK kedua ini terdiri atas Burhan Dahlan sebagai ketua serta Jupriyadi dan Sigid Triyono sebagai anggota. Sementara itu, permohonan PK Saka Tatal yang teregister dengan nomor 1688 K/PID.SUS/2024 belum diumumkan. Adapun hakim yang menanganinya adalah hakim tunggal, yakni Prim Haryadi.

Praktisi hukum dari Universitas Indonesia, Teuku Nasrullah, menemukan kejanggalan dalam putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan PK tujuh terpidana tersebut. Sebab, merujuk pada persidangan PK yang digelar di Pengadilan Negeri Cirebon, banyak fakta baru yang terungkap. “Keterangan-keterangan para saksi justru sangat kuat untuk menerima PK terpidana,” katanya.

Mantan terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Saka Tatal, memberikan keterangan saat memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai saksi di Bareskrim Polri, Jakarta,13 Agustus 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Sidang peninjauan kembali yang digelar pada Juli-September 2024 antara lain mengungkap fakta tentang hasil visum korban yang tidak menunjukkan adanya tanda pembunuhan. Mantan komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Edwin Pasaribu, juga mengungkap bukti ekstraksi data telepon seluler Vina yang tidak pernah dijadikan barang bukti oleh pengadilan. Dia hadir dalam persidangan pada 18 September 2024 sebagai saksi ahli.  

Padahal dalam ponsel itu terdapat bukti penting berupa percakapan Vina dengan dua temannya, Widia Sari dan Mega Lestari, melalui SMS. Komunikasi mereka pada 27 Agustus 2016 itu dilakukan sejak siang. Kemudian sorenya, Vina memberi kabar bahwa dia pergi bersama Eky. Menjelang tengah malam, seseorang menggunakan ponsel Vina mengabarkan kecelakaan tunggal yang dialami Vina dan Eky. Orang tersebut mengaku dari Kepolisian Sektor Talun. Namun bukti komunikasi itu tidak pernah diungkap di pengadilan.   

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai proses PK sudah berjalan dan diputuskan. Suka atau tidak, semua pihak harus menerima putusan itu. Hanya, dia mempertanyakan hasil penyelidikan tim khusus yang dibentuk Markas Besar Kepolisian RI untuk menginvestigasi kematian Vina dan Eky. “Sebetulnya temuan timsus Mabes Polri itu apa?” katanya. “Kenapa tidak pernah disampaikan ke publik?”  

Hasil investigasi tim khusus itu, kata Reza, sangat penting untuk membuat terang perkara ini. “Apakah memang Vina dan Eky dibunuh atau memang ada kesalahan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polres Cirebon dan Polda Jawa Barat?”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus