Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penetapan Tersangka untuk Membungkam Pejuang Rempang

Polisi menetapkan penolak proyek strategis nasional di Rempang sebagai tersangka. Langkah hukum ini justru memperuncing konflik.

11 Februari 2025 | 12.00 WIB

Tiga warga Rempang yang ditetapkan tersangka, Abu Bakar (kiri), Siti Hawa, Sani Rio setelah menjalani pemeriksaan pertama di Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, 6 Februari 2025. Tempo/Yogi Eka Sahputra
Perbesar
Tiga warga Rempang yang ditetapkan tersangka, Abu Bakar (kiri), Siti Hawa, Sani Rio setelah menjalani pemeriksaan pertama di Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, 6 Februari 2025. Tempo/Yogi Eka Sahputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Polisi menetapkan tiga warga Rempang sebagai tersangka penculikan.

  • Tiga penduduk Pulau Rempang itu getol menolak pembangunan Rempang Eco city.

  • Warga Rempang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya yang digusur pemerintah.

PENETAPAN tersangka terhadap tiga warga penolak proyek strategis nasional (PSN) di Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, mendapat perhatian dari pegiat hukum dan pembela hak asasi manusia. Sebab, langkah hukum ini justru akan memperuncing konflik yang terjadi di Rempang. "Semestinya warga ini dilindungi, apalagi ini dalam konteks memperjuangkan hak,” kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Anis Hidayah, Senin, 10 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Komnas HAM sebelumnya mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk meredam konflik di Rempang, antara lain meminta pemerintah tidak memaksakan proyek Eco City dengan excessive use of force (menggunakan kekuatan berlebih). "Masyarakat kan punya hak untuk menyuarakan, menyampaikan kritik, dan memperjuangkan hak," ujar Anis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sani Rio (kiri) dan Abu Bakar alias Pak Aceh, yang ditetapkan sebagai tersangka, bersiap menjalani pemeriksaan di Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, 6 Februari 2025. Tempo/Yogi Eka Sahputra

Penetapan tiga tersangka itu memang berhubungan dengan aksi penolakan warga terhadap PSN Rempang Eco City. Poster dan spanduk penolakan dipasang di sejumlah titik. Pada 17 Desember 2024, warga menemukan poster di Kampung Sembulang Hulu dirusak. Diduga pelakunya adalah dua petugas keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG)—anak perusahaan Grup Artha Graha yang menjadi pengembang Rempang Eco City—yang kebetulan berada di lokasi itu.

Warga memburu mereka dan menangkap salah satunya. Orang itu dibawa ke posko. Tidak berapa lama, datang anggota kepolisian sektor setempat yang meminta orang tersebut dilepaskan. Tapi warga menolak. Mereka bersedia membebaskan orang PT MEG itu asalkan perusahaan berjanji tidak lagi merusak poster dan spanduk warga.

Sebelum tuntutan itu mendapat jawaban, tiba-tiba muncul puluhan petugas PT MEG. Mereka menerobos masuk dan menyerang warga. Bentrokan tidak bisa dihindari. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron Batam Supriardoyo Simanjuntak mengatakan warga tidak memiliki niat menyandera petugas keamanan PT MEG. “Mereka hanya meminta kepastian bahwa tuntutannya bisa dipenuhi,” tuturnya.

Insiden inilah yang menjadi dasar Kepolisian Resor Kota Barelang menetapkan tiga tersangka, yaitu Siti Hawa, 67 tahun, Sani Rio (37), dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54). Mereka dijerat menggunakan Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Tindak Pidana Perampasan Kemerdekaan Orang Lain. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur berpendapat bahwa penetapan tersangka itu terkesan dipaksakan. Sebab, penduduk sama sekali tidak memiliki niat merampas kemerdekaan seseorang. "Mereka justru sedang membela diri karena properti mereka dirampas preman-preman," kata Isnur.

Dengan demikian, pemidanaan terhadap para warga Rempang ini sudah dikategorikan strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau upaya hukum untuk membungkam partisipasi publik. Apalagi para warga tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup mereka yang hendak digusur pemerintah secara semena-mena. "Kami melihat ini bagian dari pembungkaman terhadap pejuang hak lingkungan hidup," ucap Isnur. "Jadi ini bagian dari yang disebut dengan malicious investigation atau penyidikan yang beriktikad buruk."  

Unjuk rasa menentang penetapan tersangka tiga warga Rempang di depan kantor Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, 6 Februari 2025. Tempo/Yogi Eka Sahputra


Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan Pasal 333 KUHP merupakan perampasan kemerdekaan orang lain secara melawan hukum atau penculikan. Dalam insiden di Rempang yang terjadi pada 17-18 Desember 2024, Fickar mengatakan, memang unsur pidananya telah terpenuhi, yaitu warga menahan orang yang diduga merusak poster. 

Namun, Fickar mengatakan, perusak poster itu juga harus dijerat pidana. "Karena orang yang diduga diculik itu justru bertindak melawan hukum karena menghalangi hak warga untuk menyampaikan tuntutan," ujar Fickar.

Perusahaan, melalui kepolisian, pasti mencari celah kesalahan warga. Bentuk kesalahan yang paling jelas adalah perbuatan yang melanggar Pasal 333 KUHP. "Padahal warga menangkap orang yang merobek poster agar orang itu ditangani polisi dan diproses secara pidana," katanya.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Barelang Ajun Komisaris Debby Tri Andrestian mengatakan penyidikan masih berjalan. Polisi menerima empat laporan yang berhubungan dengan insiden pada 17-18 Desember 2024 itu. Tiga di antaranya berasal dari warga yang menjadi korban dan satu lagi dari manajemen PT MEG. “Laporan warga sudah diproses. Sudah dua orang ditetapkan sebagai tersangka," ucap Debby. 

Dua tersangka itu adalah RH, 28 tahun, dan AS, 24 tahun, yang merupakan karyawan PT MEG. Keduanya sudah ditahan sejak 22 Desember 2024. Debby mengatakan tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah.  

Supriardoyo mengatakan penyerangan terhadap warga yang dilakukan secara masif, brutal, dan terstruktur itu dilakukan oleh puluhan orang PT MEG. Dengan demikian, bila hanya dua orang yang dijadikan tersangka, tentu penanganan kasus ini menjadi janggal. "Harus dibuka secara transparan ke publik. Itu yang kami dorong. Segera cari pelaku lain selain dua tersangka itu," katanya.

Yogi Eka Sahputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus