Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kabur Menunggang Vonis Palsu

Dua narapidana asing dalam kasus narkotik raib dari penjara. Bagaimana mereka gampang kabur hanya berbekal vonis palsu?

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIB besar kembali mencoreng hukum negeri ini. Dua narapidana berkewarganegaraan Nigeria kabur dari penjara setelah menunjukkan vonis peninjauan kembali yang palsu. Michael Roger Earp kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Sedangkan Nyonya Abdallah kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Kabarnya, kedua narapidana kasus narkotik itu sudah hengkang ke negara asalnya. Diduga Michael dan Abdallah bisa "mengadali" hukum Indonesia berkat muslihat pengacaranya, Suriatinah, yang bekerja sama dengan sembilan orang pegawai di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Seorang panitera di pengadilan itu, Jhonson Ricardo Marpaung, telah dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya, Jumat pekan lalu. Namun Suriatinah hingga kini entah di mana. Kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, sudah kosong. Michael dan Abdallah tercatat sebagai narapidana pengedar heroin. Mereka dihukum masing-masing 20 tahun dan 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Setelah hukuman itu berkekuatan tetap hingga di tingkat kasasi, mereka melalui pengacara Suriatinah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ternyata Mahkamah Agung menolak permohonan itu. Berarti, hukuman penjara tetap berlaku bagi Michael dan Abdallah. Syahdan, ketika berkas putusan peninjauan kembali sampai ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, terjadilah kolusi hitam. Seorang panitera pidana, Triani Rahayu, diduga memfotokopi salinan putusan tersebut. Dia lantas mengubah isi vonis peninjauan kembali itu menjadi vonis yang membebaskan Michael dan Abdallah. Berbekal putusan yang sudah disulap inilah, Suriatinah kemudian membebaskan kedua kliennya dari penjara pada 31 Desember 2001. Ironisnya, kejahatan itu baru tercium pada pertengahan Februari 2002. Itu pun setelah pengadilan dan penjara jadi gempar gara-gara Jaksa Adil Wahyu Wijaya menanyakan kabar bebasnya Michael dan Abdallah. "Ketika berkas aslinya dicari, ternyata sudah lenyap," ujar Mansur Nasution, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Setelah diusut, terungkaplah ulah sembilan orang panitera di pengadilan itu. Bagaimanapun, kasus yang baru terjadi kali ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pengadilan, tapi juga pihak penjara, kejaksaan selaku eksekutor, dan Mahkamah Agung. Namun Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Jakarta, Mardjaman, yang membawahkan urusan penjara, menganggap bawahannya sudah bekerja sesuai dengan prosedur. Menurut Mardjaman, pihak penjara sudah berupaya mengecek kebenaran vonis peninjauan kembali tersebut ke pengadilan. Waktu itu Jhonson Ricardo Marpaung dan Saudin Napitupulu memberikan cap asli pengadilan sebagai bukti keabsahan salinan vonis dimaksud. Dengan begitu, "Pihak lembaga pemasyarakatan merasa yakin bahwa putusannya asli," kata Mardjaman. Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, juga menyatakan bahwa kasus vonis peninjauan kembali yang palsu itu tak melibatkan instansinya. Hingga kini, kata Bagir, vonis peninjauan kembali asli, yang menghukum kedua narapidana tadi, tetap ada di Mahkamah Agung. Jadi, "Tak ada kekeliruan di Mahkamah Agung," ucapnya. Dulu, memang pernah ada kasus vonis kasasi dari Mahkamah Agung yang ternyata palsu. Vonis untuk perkara pidana Tony Guritman ini melibatkan seorang pegawai Mahkamah Agung. Sebelumnya lagi juga ada kasus vonis peninjauan kembali yang palsu. Vonis untuk perkara tanah Nyonya Rochmulyati ini melibatkan pengacara Adi S. Moewardi. Persoalannya, kasus vonis peninjauan kembali palsu yang menjadi bekal utama bagi Michael dan Abdallah untuk kabur jelas lebih gawat. Kasus ini bukan hanya menghujat vonis lembaga peradilan tertinggi, tapi juga membuktikan bobroknya praktek hukum di tingkat pengadilan, kejaksaan, dan penjara. Masihkah kasus ini membuat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, melulu mengurusi hukum tata negara? Hendriko L. Wiremmer, Ardi Bramantyo, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus