DIREKTUR PT ICI Paints Indonesia, Rudy Capelle, boleh lega.
Perjuangan ternama, J. Santo, juga direktur dalam perusahaan
patungan Inggris-Indonesia itu berhasil. Gugatan perdatanya
lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikabulkan majelis
hakim.
Dalam vonisnya 7 Oktober lalu, hakim ketua Pitojo menyatakan
R.A. Kreling selaku Presiden Direktur PT ICI dan empat direktur
lainnya, D.M. Duncanson, R.E. Johnson, Tan Hong Wan dan J.D.
Horrocks, "telah melakukan perbuatan melanggar hukum." Yaitu,
tak memberikan hak dan kekuasaan kepada J. Santo selaku direktur
sesuai dengan anggaran dasar perseroan itu.
Sebab itu majelis menghukum para tergugat berkebangsaan Inggris
itu agar mengikutsertakan penggugat, J. Santo, dalam hal
menentukan kebijaksanaan di bidang personalia, terutama dalam
memilih calon tenaga asing yang menduduki jabatan kunci. Itu
pertama yang kedua: penyusunan job description dari
masing-masing dan setiap jabatan dalam perusahaan. Ketiga,
penyusunan anggaran perusahaan dengan segala hasil jadinya. Dan
yang keempat, para tergugat dihukum agar penggugat
diikutsertakan dalam memeriksa dan meneliti berkas perusahaan
yang menyangkut tenaga kerja asing maupun Indonesia. Pendeknya,
agar pihak Indonesia mendapat cipratan cat.
Itu memang yang dikehendaki Santo, dan juga Rudy, dua orang
direktur dari pihak Indonesia di perusahaan itu. Selama ini,
mereka tak berdaya mengha.dapi lima direktur asing dalam
perusahaan cat yang berdiri tahun 1971 itu. Perusahaan dengan
saham Inggris (Imperial Chemicals Industries) dan Indonesia (PT
Dwi Satrya Utama) yang berbanding 90: 10 itu, berkembang cukup
pesat. Produsen cat tembok, mobil dan kapal itu tahun 1981 lalu
menghasilkan 5,9 juta liter cat. Merk catnya yang cukup dikenal
antara lain ICI Emulsion dan ICI Belco.
Tapi kata Rudy, "sebagai direktur kami tak pernah diajak
menjalankan perusahaan. Kantor nggak dikasih, honor pun tak
ada." Boleh dibilang ia dan rekannya, Santo, buta sama sekali
soal lajunya perusahaan. Padahal keduanya ditunjuk PT Dwi Satrya
Utama untuk mewakili perusahaan Indonesia dalam usaha patungan
itu.
Yang dikatakan Rudy tak aneh lagi. Sudah menjadi rahasia umum,
di beberapa perusahaan patungan biasanya pihak Indonesia sering
dalam posisi lemah. Soalnya, meski disebut punya sekian persen
saham, biasanya itu tak berarti. Sekedar syarat agar perusahaan
patungan itu diberi izin beroperasi.
Misalnya di PT Tobusco yang direktur akuntingnya, Yojiro
Kitajama, belum lama ini dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan karena terbukti memanipulasikan pajak
perusahaan. Bambang Sardjito, Wakil Presiden Komisaris PT
Tobusco mengaku, saham 15% yang dimilikinya bersama Handika,
hanya saham formalitas saja. Tak heran bila perusahaan itu
tertutup. Dari manajemen sampai pemasaran dikemudikan partner
Jepangnya.
Rudy juga melihat PT ICI tak menyiapkan tenaga Indonesia untuk
menangani manajemen. Jumlah tenaga asing nya memang tetap, empat
orang, selain lima orang direktur yang berkebangsaan Inggris
tadi. Dan tenaga Indonesianya bertambah terus dari tahun ke
tahun, kini berjumlah sekitar 300 orang. Hanya saja, pertambahan
tenaga Indonesia itu hanya tukang sapu atau petugas keamanan,
Posisi kunci seperti manajer pemasaran, manajer teknik dan
manajer keuangan tetap di tangan tenaga asing.
Padahal Undang-undang PMA (Penanaman Modal Asing) mensyaratkan
adanya proses alih teknologi. Apalagi November 1984 nanti, kata
Rudy, "pengalihan saham kepada pihak Indonesia menjadi
mayoritas."
Prof. Sudargo Gautama yang menjadi kuasa Kreling dan kawan-kawan
menganggap telah terjadi kesalahpahaman. J. Santo yang mengaku
direktur, menurut Gautama, sebenarnya hanya komisaris. Sebab itu
ia tak diberi honor dan kantor, "sebab hanya bertugas
mengawasi." Pengacara kawakan itu menyatakan, di Indonesia
umumnya dianut one board system yang tak mengenal komisaris
perusahaan. Sedahg pihak Inggris, menganut two board system yang
mengenal adanya komisaris.
SESUAI dengan sistem ini, kata Gautama, Santo yang mengaku
direktur sebenarnya hanya komisaris. Tapi karena dalam Anggaran
Dasar PT ICI Paints tak ada istilah komisaris, "dia disebut
direktur." Gautama bahkan berpendapat, para direktur Inggris itu
telah menunjukkan iktikad baiknya. Melihat komposisi saham,
katanya, "kalau para direktur Inggris itu mau, mudah saja
mengganti direktur Indonesia yang dua orang itu." Sebab itu ia
menilai putusan Pengadilan Negeri akarta Selatan sebagai "tidak
benar", karena mau mencampuri ikhwal perseroan Maka ia
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang kini sedang dalam
proses.
Sebaliknya Chaty Sugondo, pengacara pihak Santo, menganggap
putusan hakim itu sudah semestinya. Ia tak sependapat dengan
Gautama, bahwa Santo bukan direktur. "Kalau memang kedudukannya
hanya komisaris, tentunya dalam akta disebut demikian," katanya.
Ia menilai, vonis pengadilan yang memenangkan pihak Indonesia
merupakan kemenangan moral bagi Santo, dan juga Rudy. "Paling
tidak kini kami punya senjata dalam perundingan dengan pihak
Inggris," kata Rudy.
Namun Chaty mengakui, kemenangan itu sulit dilaksanakan. Karena
yang dituntut bukan materi seperti halnya ganti rugi, melainkan
fungsi. "Tuntutan itu sulit mengeksekusinya kalau tak
dilaksanakan para tergugat," katanya. Satu-satunya yang ia
harapkan adalah agar Kreling dan kawan-kawan mematuhi putusan
hakim, sebab, katanya, orang Inggris terkenal amat menghormati
hukum. Kalau tidak patuh, kata Chaty, pasti akan mencemarkan
nama baiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini