DI bawah keremangan malam yang mulai turun, Abdul Muin Ahmad
melihat seorang pemuda dikeroyok tiga orang bertubuh kekar.
Seorang di antaranya menyepak pemuda bertubul kecil itu hingga
masuk got. Wartawan Barata Minggu itu mengurungkan niat mengajak
anak istrinya berjalan-jalan malam itu. Buru-buru ia menuju
rumah Suwandi, Ketua RW 10, Kelurahan Kalipasir, Jakarta Pusat.
Kembali ke tempat kejadian, Suwandi dan Ahmad menyaksikan
pengeroyokan masih berlangsung. Seorang diantaranya berusaha
memborgol tangan si terkeroyok. Lainnya memukul kepalanya dengan
gagang pistol. Darah pun mengucur. "Allahu Akbar. Saya tidak
bersalah. Selamatkan saya, Pak!" jerit si pemuda.
Suwandi dan Ahmad tak bisa berbuat apa-apa. Juga ketika pemuda
ini diseret sambil terus dipukuli. Lalu di mulut Jalan
Kalipasir, kepalanya dibenturkan ke tiang besi.
Semula Ahmad menduga, para pengeroyok yang tampak brutal itu
penjahat. Tapi ketika melihat pistol dan walkie-talkie, ia
berkesimpulan," "mereka pasti polisi."
Dia benar. Jumat malam dua pekan lalu itu petugas polisi dengan
sandi Roa Delapan tengah melakukan razia ganja. Pemuda yang
ditangkap, tak lain Sofyan Effendi, 19 tahun, pelajar SMEA
Negeri 22, Jakarta. Malam itu ia hendak ke rumah kakaknya di
bilangan Utan Kayu, untuk menyusun karya tulis. Dibekali uang Rp
300, ia juga membawa tas berisi pakaian.
Sofyan tak pernah kembali lagi ke rumah. Setelah dibawa petugas
sekitar pukul 19.00, pada pukul 02.00 dini hari Sofyan diantar
ke Kodak Metro Jaya, dengan status tahanan. Kondisinya sudah
begitu payah, hingga ia tak dimasukkan ke kamar tahanan. Pada
dini hari itu juga, menurut Letkol Pol Z. Bazar Kepala Dinas
Penerangan Kodak VII Sofyan dilarikan ke Rumah Sakit
Persahabatan di Jakarta Timur. Petugas jaga menolak, karena
korban ternyata suda sekarat. Akhirnya ia dibawa ke RS
Cipto--dan rupanya tak tertolong lagi. Di subuh Sabtu, dua pekan
lalu Sofyan meninggal. Petang harinya, Rohiii Effendi, ayah
Sofyan, kedatangan tamu polisi yang memberitahu anaknya yang
keenam itu telah meninggal. "Kami langsung histeris," kata
pensiunan Bea Cukai itu.
Surat keterangan pemeriksaan mayat dari Lembaga Kriminologi UI
(LKUI) jelas menyebut sebab kematian Sofyan akibat pembunuhan.
Tubuh Sofyan memang penuh luka: di kening, hidung, mata kanan,
bibir dan pelipis. Dada dan bahunya juga memar. Lehernya konon
patah, dan ada luka bekas sundutan (api).
Tapi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo membantah seolah Sofyan mati
akibat kekerasan petugas polisi. "Ia menyerang ketika hendak
ditangkap, sehingga petugas mengadakan self defence," kata
Sudomo di Balai Wartawan Hankam, Rabu pekan lalu. Ia berjanji
akan mengusut kasus itu sampai tuntas, lewat tim yang dibentuk.
"Pimpinan Polri tak akan mentolerisasi tindakan anggotanya yang
sewenang-wenang," katanya lagi.
Menurut Letkol. Bazar tak ada niat polisi untuk mencelakakan
seseorang. Apalagi sampai membunuhnya. Kata Bazar petugas yang
menangkap Sofyan yang konon kedapatan membawa seamplop ganja,
hanya seorang, Bharatu SM. Dia kini diperiksa provost. Jadi,
katanya, "tak benar dia dikeroyok. Perkelahian berjalan satu
lawan satu." Bahkan, katanya lagi, semula Bharatu SM hampir
kalah. Baru setelah kepala Sofyan terbentur tiang gang,
perlawanannya bisa dipatahkan. Namun, tambah Bazar pula,
sebelumnya Sofyan sempat menggigit lengan SM.
Banyak yang meragukan keterangan Bazar. "Mana mungkin polisi
yang berbadan kekar kalah sama Sofyan yang bertubuh langsing?"
kata seorang penduduk Kalipasir yang menyaksikan kejadian itu.
Yang lebih masuk akal, katanya, Sofyanlah yang kewalahan,
sehingga sampai menggigit lengan.
Walaupun Sofyan melawan, kata Abdurahman Saleh, Direktur LBH,
"bukan alasan bai polisi untuk menyiksanya sampai mati." Maqdir
Ismail, pengacara LBH Jakarta, juga tak sependapat dengan azar.
Melihat luka-luka di sekujur tubuh Sofyan, ia berkesimpulan
pelaku penganiayaan itu pasti lebih dari satu orang. Alasan
petugas melakukan sey defence juga kurang bisa diterima. "Korban
sudah menjerit-jerit minta tolong dan polisi masih memukulinya.
Apakah itu self defence?" Ismail bertanya.
Ismail kini tengah mengumpulkan data sekitar kasus itu. Pekan
lalu Abdul Muin Ahmad menemui pengacara itu untuk memberi
keterangan sebagai saksi mata. Dan POM Garnisun Ibukota, pekan
lalu juga memanggil Suwandi untuk didengar keterangannya.
Perkara itu nampaknya bakal panjang juga. Setelah melayangkan
surat pengaduan ke alamat Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin,
dengan tindasan ke Menhankam, Kadapol Metro Jaya dan Kodam V
Jaya, Rohili berniat menuntut petugas yang menganiaya anaknya.
Dengan bantuan LBH, ia juga hendak melakukan gugatan perdata.
"Anak kamij mati dianiaya, dengan luka di sekujur tubuhnya. Masa
saya harus tinggal diam?" kata ayah delapan anak itu.
Ia tak habis pikir, Sofyan yang berpembawaan tenang dan rajin
sembahyang itu dituding sebagai morfinis. "Bertahun-tahun cerita
buruk tak pernah menimpa keluarga kami. Tapi cerita itu justru
terdengar saat kematian Sofyan," ungkap Rohili dengan nada
sedih.
Bazar bisa mengerti bila pihak keluarga Sofyan hendak menuntut.
"Itulah beratnya menjadi polisi. Ia bertugas menangkap
seseorang, tapi bila terjadi sesuatu, hal itu merupakan tanggung
jawab pribadinya sendiri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini