Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sofyan Effendi Dan Roda Delapan

Pelajar SMEA negeri jakarta, Sofyan Effendi tewas, dikeroyok oleh petugas polisi, dituduh ganjais. keluarganya menuntut.(krim)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah keremangan malam yang mulai turun, Abdul Muin Ahmad melihat seorang pemuda dikeroyok tiga orang bertubuh kekar. Seorang di antaranya menyepak pemuda bertubul kecil itu hingga masuk got. Wartawan Barata Minggu itu mengurungkan niat mengajak anak istrinya berjalan-jalan malam itu. Buru-buru ia menuju rumah Suwandi, Ketua RW 10, Kelurahan Kalipasir, Jakarta Pusat. Kembali ke tempat kejadian, Suwandi dan Ahmad menyaksikan pengeroyokan masih berlangsung. Seorang diantaranya berusaha memborgol tangan si terkeroyok. Lainnya memukul kepalanya dengan gagang pistol. Darah pun mengucur. "Allahu Akbar. Saya tidak bersalah. Selamatkan saya, Pak!" jerit si pemuda. Suwandi dan Ahmad tak bisa berbuat apa-apa. Juga ketika pemuda ini diseret sambil terus dipukuli. Lalu di mulut Jalan Kalipasir, kepalanya dibenturkan ke tiang besi. Semula Ahmad menduga, para pengeroyok yang tampak brutal itu penjahat. Tapi ketika melihat pistol dan walkie-talkie, ia berkesimpulan," "mereka pasti polisi." Dia benar. Jumat malam dua pekan lalu itu petugas polisi dengan sandi Roda Delapan tengah melakukan razia ganja. Pemuda yang ditangkap, tak lain Sofyan Effendi, 19 tahun, pelajar SMEA Negeri 22, Jakarta. Malam itu ia hendak ke rumah kakaknya di bilangan Utan Kayu, untuk menyusun karya tulis. Dibekali uang Rp 300, ia juga membawa tas berisi pakaian. Sofyan tak pernah kembali lagi ke rumah. Setelah dibawa petugas sekitar pukul 19.00, pada pukul 02.00 dini hari Sofyan diantar ke Kodak Metro Jaya, dengan status tahanan. Kondisinya sudah begitu payah, hingga ia tak dimasukkan ke kamar tahanan. Pada dini hari itu juga, menurut Letkol Pol Z. Bazar Kepala Dinas Penerangan Kodak VII Sofyan dilarikan ke Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta Timur. Petugas jaga menolak, karena korban ternyata suda sekarat. Akhirnya ia dibawa ke RS Cipto--dan rupanya tak tertolong lagi. Di subuh Sabtu, dua pekan lalu Sofyan meninggal. Petang harinya, Rohiii Effendi, ayah Sofyan, kedatangan tamu polisi yang memberitahu anaknya yang keenam itu telah meninggal. "Kami langsung histeris," kata pensiunan Bea Cukai itu. Surat keterangan pemeriksaan mayat dari Lembaga Kriminologi UI (LKUI) jelas menyebut sebab kematian Sofyan akibat pembunuhan. Tubuh Sofyan memang penuh luka: di kening, hidung, mata kanan, bibir dan pelipis. Dada dan bahunya juga memar. Lehernya konon patah, dan ada luka bekas sundutan (api). Tapi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo membantah seolah Sofyan mati akibat kekerasan petugas polisi. "Ia menyerang ketika hendak ditangkap, sehingga petugas mengadakan self defence," kata Sudomo di Balai Wartawan Hankam, Rabu pekan lalu. Ia berjanji akan mengusut kasus itu sampai tuntas, lewat tim yang dibentuk. "Pimpinan Polri tak akan mentolerisasi tindakan anggotanya yang sewenang-wenang," katanya lagi. Menurut Letkol. Bazar tak ada niat polisi untuk mencelakakan seseorang. Apalagi sampai membunuhnya. Kata Bazar petugas yang menangkap Sofyan yang konon kedapatan membawa seamplop ganja, hanya seorang, Bharatu SM. Dia kini diperiksa provost. Jadi, katanya, "tak benar dia dikeroyok. Perkelahian berjalan satu lawan satu." Bahkan, katanya lagi, semula Bharatu SM hampir kalah. Baru setelah kepala Sofyan terbentur tiang gang, perlawanannya bisa dipatahkan. Namun, tambah Bazar pula, sebelumnya Sofyan sempat menggigit lengan SM. Banyak yang meragukan keterangan Bazar. "Mana mungkin polisi yang berbadan kekar kalah sama Sofyan yang bertubuh langsing?" kata seorang penduduk Kalipasir yang menyaksikan kejadian itu. Yang lebih masuk akal, katanya, Sofyanlah yang kewalahan, sehingga sampai menggigit lengan. Walaupun Sofyan melawan, kata Abdurahman Saleh, Direktur LBH, "bukan alasan bai polisi untuk menyiksanya sampai mati." Maqdir Ismail, pengacara LBH Jakarta, juga tak sependapat dengan azar. Melihat luka-luka di sekujur tubuh Sofyan, ia berkesimpulan pelaku penganiayaan itu pasti lebih dari satu orang. Alasan petugas melakukan sey defence juga kurang bisa diterima. "Korban sudah menjerit-jerit minta tolong dan polisi masih memukulinya. Apakah itu self defence?" Ismail bertanya. Ismail kini tengah mengumpulkan data sekitar kasus itu. Pekan lalu Abdul Muin Ahmad menemui pengacara itu untuk memberi keterangan sebagai saksi mata. Dan POM Garnisun Ibukota, pekan lalu juga memanggil Suwandi untuk didengar keterangannya. Perkara itu nampaknya bakal panjang juga. Setelah melayangkan surat pengaduan ke alamat Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin, dengan tindasan ke Menhankam, Kadapol Metro Jaya dan Kodam V Jaya, Rohili berniat menuntut petugas yang menganiaya anaknya. Dengan bantuan LBH, ia juga hendak melakukan gugatan perdata. "Anak kamij mati dianiaya, dengan luka di sekujur tubuhnya. Masa saya harus tinggal diam?" kata ayah delapan anak itu. Ia tak habis pikir, Sofyan yang berpembawaan tenang dan rajin sembahyang itu dituding sebagai morfinis. "Bertahun-tahun cerita buruk tak pernah menimpa keluarga kami. Tapi cerita itu justru terdengar saat kematian Sofyan," ungkap Rohili dengan nada sedih. Bazar bisa mengerti bila pihak keluarga Sofyan hendak menuntut. "Itulah beratnya menjadi polisi. Ia bertugas menangkap seseorang, tapi bila terjadi sesuatu, hal itu merupakan tanggung jawab pribadinya sendiri," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus