Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polemik Bedah Pesawat

Hasil seminar tentang "penyelidikan kecelakaan pesawat terbang dengan penekanan pada aspek medis" yang membahas perlunya pembedahan mayat korban kecelakaan pesawat terbang, menimbulkan polemik. (hk)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAL-HAL mengenai keselamatan penumpang tetap diperhatikan", begitu pesan Presiden Soeharto sehubungan musibah pesawat terbang yang menyita banyak jiwa belakangan ini. Usaha memang sudah banyak juga dilakukan: dari mulai menilai cuaca, mesin, jam terbang pilot, kotak hitam alias black-box, bahkan sampai menyerempet ke urusan tahyul. Namun, dari sekian itu, "sayang orang melupakan sesuatu yang penting", seperti kata dr Imran Yahya, pimpinan Komite Pengarah pada Seminar tentang Penyelidikan Kecelakaan Peswat Terbang dengan Penekanan pada Aspek Medis, dari tanggal 11 hingga 13 bulan lalu. Tak Sayang Yang penting itu, menurut Perwira Kesehatan TNI-AU tersebut adalah "faktor manusia, yang berada dalam pesawat dan yang bisa jadi penyebab terjadinya kecelakaan, hal itu belum pernah diselidiki di Indonesia". Ia mengajak melihat AS dan Inggeris. Di sana, katanya. rata-rata 40 - 50% kecelakaan penerbangan militer disebabkan oleh pengemudinya. Volume yang sama juga menimpa penerbangan sipil. Dari itu, dokter penerbanganlah, yang harus "mengetatkan seleksi bagi para penerbang dan calon penerbang berdasarkan medis dan menutup kelemahan dari penerbang lain yang sudah jatuh dan berhasil diketahui sebab musababnya", sambung Imran. Satu irama dengan Mardjono Reksodiputro SH MA, Lektor Kepala pada Lembaga Kriminologi FH-UI, yang dalan bagian prasarannya menekankan bahwa kalau kecelakaan sudah terjadi, yang penting "bukan saja untuk menentukan di mana atau pada siapa letak kesalahan, tapi juga (dan ini harusnya yang tertama) untuk mencegah kemungkinan terjadinya hal yang sama". Maksudnya: apa saja hasil penyelidikan atas manusia, jika itu jelas sebagai penyebab terjadinya bencana, hendaknya ia dapat digunakan sebagai dasar buat mencegah terjadinya hal serupa di masa mendatang. Pokoknya, begitulah pentingnya keharusan penyelidikan atas manusia yang terlibat dalam penerbangan--entah ia pilot, awak pesawat lain maupun para penumpang - di samping penyelidikan teknis. Dan, "tak ada jalan lain untuk penyelidikan itu, selain dengan melakukan bedah mayat atas diri para korban". kata Imran lagi. Kesulitan melakukan hal itu memang ada saja. Di samping entah bagaimana caranya nanti membedah mayat yang sudah mengarang dan patah-patah itu, ada beberapa hal lain yang dianggap merintangi penyelidikan cara itu. Karena membicarakan masalah yang cukup penting itulah makin tak percuma pemerintah membiayai seminar yang seharga Rp 2,8 juta itu. Lain ABRI Masalah yang menonjol: apa dasar hukumnya melakukan pembedahan mayat korban kecelakaan pesawat itu. Apakah cara itu dapat dilangsungkan begitu saja jika ada keberatan dari keluarga korban yang tidak rela mayat anggotanya disayat-sayat pisau dokter? Memang sulit. Bedah mayat yang diperlukan dalam penyelidikan sebab-sebab kecelakaan pesawat itu. menurut Mardjono, "secara hukum dapat dibedakan antara yang mempunyai akibat dalam bidang hukum pidana, dan yang berakibat di luar bidang hukum pidana". Sedangkan yang lazim berlaku sekarng ini, cuma peraturan otopsi bagi hal yang pertama--yang menyangkut soal pidana. Lihat saja undang-undang hukum acara (RIB atau HR fasal 69 ayat 1): bedah mayat itu terkandung dalam Bab II, Tentang Pengusutan Kejahatan. Jadi seminar pun berpendapat: walaupun "pemeriksaan bedah mayat korban kecelakaan pesawat terbang mutlak diperlukan", tapi karena belum ada undang-undang yang mengatur, maka" pandangan masyarakat sendiri akibat kurang pengertian akan manfaat bedah mayat", merupakan hambatan yang merintang. Lain halnya jika kecelakaan itu terjadi dan yang menjadi korban adalah semuanya anggota ABRI. Sebab Menhankam Pangab bulan Mei lalu telah membuat keputusan yang menyatakan: memerintahkan bedah mayat klinis dalam lingkungan ABRI tanpa diperlukan persetujuan keluarganya. Padahal seminar juga mengharapkan, agar mayat-mayat sipil korban kecelakaan pesawat juga dapat langsung dibedah tanpa dapat diprotes oleh sanak-keluarganya. Ini demi kepentingan penerbangan umum berikutnya. Apa Lagi Kalau saja salah satu hasil semula ini tak dibuntuti oleh polemik kecil di harian Kompas bulan lalu, persoalan yang dibahas itu tidak akan begitu menarik - setidaknya bagi kalangan tertentu. Hasil seminar itu - yang juga mendapat prasaran dari dua ahli asing: Negus dan Cullen, dari RA Institute of Pathology and Tropical Medicine, London - ternyata mendapat kritik pedas di kolom pembaca harian ibu-kota tersebut. Dokter Handoko Tjondroputranto, dari Lembaga Kriminologi FH-UI menyatakan: "Dengan rasa heran bercampur malu saya telah membaca berita tentang kesimpulan seminar . . . " Diuraikannya dengan agak panjang lebar pendapatnya yang berbeda dengan hasil-hasil seminar, terutama mengenai perlu dan tidaknya suatu hukum baru bagi pembedahan mayat korban kecelakaan pesawat. Dengan yakin Handoko menyatakan pendapatnya mengenai undang-undang yang tercantum dalam HIR 6-9 ayat 1: dasar hukum dilakukannya pemeriksaan mayat forensik sudah terdapat dalam ketentuan di atas. Dalam fasal itu, "sama sekali tidak disebutkan bahwa, pemeriksaan mayat forensik itu haru dapat dilakukan jika ada persangkaan pidana". Mau cari dasar hukum apa lagi? Seraya menyatakan bahwa pendapat seminar itu suatu kealpaan yang memalukan, dr Handoko juga mengkhawatirkan, apa nanti pendapat orang asing terhadap hukum negara kita, "jika para ahlinya sendiri mengatakan, hanya untuk melakukan pemeriksaan mayat korban kecelakaan pesawat terbang saja belum ada dasar hukumnya?". Tampaknya polemik kecil itu memang berkisar soal bagaimana menafsirkan undang-undang yang telah ada saja. Mardjono sendiri -- rupanya setelah agak lama menahan diri sempat menguraikan pendapatnya, yang menguatkan kebenaran kesimpulan seminar, dalam surat kabar yang sama. Kiranya Kepala Humas Kejaksaan Agung, Tomasouw ikut juga berpendapat. Apa yang tercantum dalam undang-undang mengeni bedah mayat, "jelas kelihatan memang untuk keperluan jaksa dalam mencari pembuktian dalam perkara pidana", katanya. Selama ini, masih menurut Tomasouw, karena tak ada sangkaan pidana dalam kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang, "jaksa merasa tidak perlu untuk memerintahkan pembedahan mayat untuk mendapatkan fisum et repertum". Nah, jika ada instansi yang merasa perlu pembedahan mayat, entah untuk keperluan apa saja itu terserah saja dan bukan urusan jaksa", ujar Tomasouw. Terserah di sini artinya kurang lebih: silakan cari dasar hukumnya masing-masing. Bagi Kepala Dinas Penerangan Markas Besar Kepolisian RI. Kolonel Sidarto, persoalannya boleh dilihat lebih jauh lagi. Seandainya pembedahan mayat memang mutlak perlu, terutama bagi keselamatan penerbangan umum, apa salahnya dilakukan pembedahan mayat tanpa menunggu keluarnya peraturan?", katanya. Bukan apa-apa, "jangan sampai kepentingan umum itu tertunda gara-gara belum ada peraturan tertulis saja", kata Sidarto. Bagaimana menghadapi protes keluarga korban? "Itulah sulitnya, memang diharapkan pengertian dari masyarakat lebih banyak lagi", sambut Sidarto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus