HAL-HAL mengenai keselamatan penumpang tetap diperhatikan",
begitu pesan Presiden Soeharto sehubungan musibah pesawat
terbang yang menyita banyak jiwa belakangan ini. Usaha memang
sudah banyak juga dilakukan: dari mulai menilai cuaca, mesin,
jam terbang pilot, kotak hitam alias black-box, bahkan sampai
menyerempet ke urusan tahyul. Namun, dari sekian itu, "sayang
orang melupakan sesuatu yang penting", seperti kata dr Imran
Yahya, pimpinan Komite Pengarah pada Seminar tentang
Penyelidikan Kecelakaan Peswat Terbang dengan Penekanan pada
Aspek Medis, dari tanggal 11 hingga 13 bulan lalu.
Tak Sayang
Yang penting itu, menurut Perwira Kesehatan TNI-AU tersebut
adalah "faktor manusia, yang berada dalam pesawat dan yang bisa
jadi penyebab terjadinya kecelakaan, hal itu belum pernah
diselidiki di Indonesia". Ia mengajak melihat AS dan Inggeris.
Di sana, katanya. rata-rata 40 - 50% kecelakaan penerbangan
militer disebabkan oleh pengemudinya. Volume yang sama juga
menimpa penerbangan sipil. Dari itu, dokter penerbanganlah, yang
harus "mengetatkan seleksi bagi para penerbang dan calon
penerbang berdasarkan medis dan menutup kelemahan dari penerbang
lain yang sudah jatuh dan berhasil diketahui sebab musababnya",
sambung Imran. Satu irama dengan Mardjono Reksodiputro SH MA,
Lektor Kepala pada Lembaga Kriminologi FH-UI, yang dalan bagian
prasarannya menekankan bahwa kalau kecelakaan sudah terjadi,
yang penting "bukan saja untuk menentukan di mana atau pada
siapa letak kesalahan, tapi juga (dan ini harusnya yang tertama)
untuk mencegah kemungkinan terjadinya hal yang sama". Maksudnya:
apa saja hasil penyelidikan atas manusia, jika itu jelas sebagai
penyebab terjadinya bencana, hendaknya ia dapat digunakan
sebagai dasar buat mencegah terjadinya hal serupa di masa
mendatang.
Pokoknya, begitulah pentingnya keharusan penyelidikan atas
manusia yang terlibat dalam penerbangan--entah ia pilot, awak
pesawat lain maupun para penumpang - di samping penyelidikan
teknis. Dan, "tak ada jalan lain untuk penyelidikan itu, selain
dengan melakukan bedah mayat atas diri para korban". kata Imran
lagi. Kesulitan melakukan hal itu memang ada saja. Di samping
entah bagaimana caranya nanti membedah mayat yang sudah
mengarang dan patah-patah itu, ada beberapa hal lain yang
dianggap merintangi penyelidikan cara itu. Karena membicarakan
masalah yang cukup penting itulah makin tak percuma pemerintah
membiayai seminar yang seharga Rp 2,8 juta itu.
Lain ABRI
Masalah yang menonjol: apa dasar hukumnya melakukan pembedahan
mayat korban kecelakaan pesawat itu. Apakah cara itu dapat
dilangsungkan begitu saja jika ada keberatan dari keluarga
korban yang tidak rela mayat anggotanya disayat-sayat pisau
dokter? Memang sulit. Bedah mayat yang diperlukan dalam
penyelidikan sebab-sebab kecelakaan pesawat itu. menurut
Mardjono, "secara hukum dapat dibedakan antara yang mempunyai
akibat dalam bidang hukum pidana, dan yang berakibat di luar
bidang hukum pidana". Sedangkan yang lazim berlaku sekarng ini,
cuma peraturan otopsi bagi hal yang pertama--yang menyangkut
soal pidana. Lihat saja undang-undang hukum acara (RIB atau HR
fasal 69 ayat 1): bedah mayat itu terkandung dalam Bab II,
Tentang Pengusutan Kejahatan.
Jadi seminar pun berpendapat: walaupun "pemeriksaan bedah mayat
korban kecelakaan pesawat terbang mutlak diperlukan", tapi
karena belum ada undang-undang yang mengatur, maka" pandangan
masyarakat sendiri akibat kurang pengertian akan manfaat bedah
mayat", merupakan hambatan yang merintang. Lain halnya jika
kecelakaan itu terjadi dan yang menjadi korban adalah semuanya
anggota ABRI. Sebab Menhankam Pangab bulan Mei lalu telah
membuat keputusan yang menyatakan: memerintahkan bedah mayat
klinis dalam lingkungan ABRI tanpa diperlukan persetujuan
keluarganya. Padahal seminar juga mengharapkan, agar mayat-mayat
sipil korban kecelakaan pesawat juga dapat langsung dibedah
tanpa dapat diprotes oleh sanak-keluarganya. Ini demi
kepentingan penerbangan umum berikutnya.
Apa Lagi
Kalau saja salah satu hasil semula ini tak dibuntuti oleh
polemik kecil di harian Kompas bulan lalu, persoalan yang
dibahas itu tidak akan begitu menarik - setidaknya bagi kalangan
tertentu. Hasil seminar itu - yang juga mendapat prasaran dari
dua ahli asing: Negus dan Cullen, dari RA Institute of
Pathology and Tropical Medicine, London - ternyata mendapat
kritik pedas di kolom pembaca harian ibu-kota tersebut. Dokter
Handoko Tjondroputranto, dari Lembaga Kriminologi FH-UI
menyatakan: "Dengan rasa heran bercampur malu saya telah membaca
berita tentang kesimpulan seminar . . . " Diuraikannya dengan
agak panjang lebar pendapatnya yang berbeda dengan hasil-hasil
seminar, terutama mengenai perlu dan tidaknya suatu hukum baru
bagi pembedahan mayat korban kecelakaan pesawat. Dengan yakin
Handoko menyatakan pendapatnya mengenai undang-undang yang
tercantum dalam HIR 6-9 ayat 1: dasar hukum dilakukannya
pemeriksaan mayat forensik sudah terdapat dalam ketentuan di
atas. Dalam fasal itu, "sama sekali tidak disebutkan bahwa,
pemeriksaan mayat forensik itu haru dapat dilakukan jika ada
persangkaan pidana". Mau cari dasar hukum apa lagi? Seraya
menyatakan bahwa pendapat seminar itu suatu kealpaan yang
memalukan, dr Handoko juga mengkhawatirkan, apa nanti pendapat
orang asing terhadap hukum negara kita, "jika para ahlinya
sendiri mengatakan, hanya untuk melakukan pemeriksaan mayat
korban kecelakaan pesawat terbang saja belum ada dasar
hukumnya?".
Tampaknya polemik kecil itu memang berkisar soal bagaimana
menafsirkan undang-undang yang telah ada saja. Mardjono sendiri
-- rupanya setelah agak lama menahan diri sempat menguraikan
pendapatnya, yang menguatkan kebenaran kesimpulan seminar, dalam
surat kabar yang sama. Kiranya Kepala Humas Kejaksaan Agung,
Tomasouw ikut juga berpendapat. Apa yang tercantum dalam
undang-undang mengeni bedah mayat, "jelas kelihatan memang
untuk keperluan jaksa dalam mencari pembuktian dalam perkara
pidana", katanya. Selama ini, masih menurut Tomasouw, karena tak
ada sangkaan pidana dalam kasus-kasus kecelakaan pesawat
terbang, "jaksa merasa tidak perlu untuk memerintahkan
pembedahan mayat untuk mendapatkan fisum et repertum". Nah,
jika ada instansi yang merasa perlu pembedahan mayat, entah
untuk keperluan apa saja itu terserah saja dan bukan urusan
jaksa", ujar Tomasouw. Terserah di sini artinya kurang lebih:
silakan cari dasar hukumnya masing-masing. Bagi Kepala Dinas
Penerangan Markas Besar Kepolisian RI. Kolonel Sidarto,
persoalannya boleh dilihat lebih jauh lagi. Seandainya
pembedahan mayat memang mutlak perlu, terutama bagi keselamatan
penerbangan umum, apa salahnya dilakukan pembedahan mayat tanpa
menunggu keluarnya peraturan?", katanya. Bukan apa-apa, "jangan
sampai kepentingan umum itu tertunda gara-gara belum ada
peraturan tertulis saja", kata Sidarto. Bagaimana menghadapi
protes keluarga korban? "Itulah sulitnya, memang diharapkan
pengertian dari masyarakat lebih banyak lagi", sambut Sidarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini