CALON santri yang semakin banyak, telah mengakibatkan pesantren
Darussalam, di kota Martapura, Kalimantan Selatan menjadi
semakin sempit. Sehingga para santri yang seluruhnya berjumlah
2.312 orang itu (terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah,
Aliyah dan Mualimin enam tahun), terpaksa harus berjejal dan
masuk secara bergilir pada ruang-ruang kelas yang hanya
berjumlah 30 buah itu. Letaknya yang tidak strategis, terapit
antara jalan raya yang ramai dan sungai yang mengorek tepiannya,
menyebabkan pesantren yang sudah berdiri sejak tahun 1914 itu
tidak bisa menambah ruang kelas lagi. Padahal berdasarkan jumlah
santri dan peminat yang tiap tahun bertambah banyak (kebanyakan
berdatangan dari luar Kalimantan, misalnya dari Ujung Pandang),
masih dibutuhkan kira-kira 23 bilik lagi. Untuk menambah
kekurangan itu, pimpinan pesantren mau tidak mau terpaksa
menoleh ke tanah seluas 10 hektar yang memang sudah jadi
miliknya berkat pemberian Menteri Amirmachmud ketika masih jadi
Pangdam di daerah itu. Tentu saja harus ada modal untuk membikin
bangunan kelasnya. Cara yang ditempuh pun tidak lain kecuali
mohon bantuan sumbangan uang dari Bina Graha di Jakarta. Dengan
rekomendasi Bupati Soeindiyo. diperkuat Gubernur Subardjo, April
1975 kemarin berhasil dikorek dompet bantuan Presiden sebesar Rp
8.640.000.
Kandang Peternakan
Perkara mencari sumbangan ini, nampaknya belum berhenti sampai
di sana. KH Badruddin, pimpinan pesantren, juga mengedarkan
les-les derma sampai ke pelosok-pelosok desa. Ada 5 ribu karcis
yang beredar, tapi sampai kini 4 ribu belum kembali, walaupun
sudah menghasilkan Rp 2,6 juta. Jumlah sumbangan itu masih
ditambah dari Habih Alhabsyi, Kwitang, Rp 100 ribu dan H. Karim
Rp 1 juta, keduanya dari Jakarta. "Sumbangan yang disebar ke
pelosok desa itu seret, karena mungkin di sana sudah penuh
dengan berbagai pungutan", ujar Zamain Marlim, Sekretaris
Panitia Pembangunan Pesantren. Namun sulitnya sumbangan mengalir
ke kantong panitia, tidak membuat pimpinan pesantren putus asa.
"Nanti para ulama sendiri akan turun tangan mendekati para
dermawan dan hartawan. terutama ,mereka yang alumni Darussalam
sendiri", ujar Jamain lagi. Tekad untuk mengumpulkan duit
banyak-banyak itu, memang bukan tanpa alasan. Sebab walaupun
kini uang dari bantuan Presiden itu sudah menghasilkan enam
ruang kelas plus kantor guru, rencana pembangunan kompleks
pesantren yang nantinya akan terdiri dari laboratorium
keterampilan, poliklinik, kandang peternakan, perkebunan dan
mussala itu, diperkirakan seluruhnya akan menyedot biaya sebesar
Rp 305 juta lebih. Barangkali karena itu pula, lewat Menteri
Amirmachmud (lagi), sehari setelah pelantikan Gubernur Subardjo,
Nopember kemarin, bantuan Presiden datang lagi sebanyak Rp 1
juta.
Berdiri lewat tokoh pergerakan Sarikat Islam, KH Jamaluddin,
pesantren Darussalam pada mulanya tak sedikit pun menggunakan
huruf latin. Maklumlah pada waktu itu huruf semacam itu dianggap
huruf "Belanda". Bahkan sampai ketika pimpinan kemudian berada
di tangan KH Kasful Anwar almarhum, pesantren itu selain tidak
menggunakan huruf latin, pengetahuan umum pun nyaris tidak
disentuh. Baru pada tahun 1960, ketika pimpinan dipegang oleh KH
Anang Syarani, pembaharuan terhadap pesantren itu, misalnya
dengan memasukkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum, mulai
dilakukan.
Serba Taggung
Ustad yang satu ini, tentu saja cukup berhati-hati, mengingat
masih ada ustad-ustad senior lain yang tetap menginginkan agar
pesantren itu hanya mengajarkan tentang agama saja. Lebih-lebih,
banyak santri-santri muda lulusan Darussalam - yang kemudian
mendirikan madrasah-madrasah di desa-desa yang orientasi
pengajarannya cenderung berpola pendidikan Darussalam semula.
Gejala serupa itu, sudah tentu berpengaruh terhadap keputusan
tiga Menteri yang menyebutkan bahwa madrasah paling sedikit bisa
mengajarkan pengetahuan umum sebanyak 70 persen dan 30 persen
pelajaran agama. Walaupun memang SK tiga Menteri itu akan
dilaksanakan secara hertahap. "Kalau dilaksanakan secara
drastis, bisa menimbulkan goncangan-goncangan". ujar HM Saleh,
Kepala Kantor Departemen Agama, Kabupaten Banjar.
Bagi pesantren Darussalam, pembaharuan yang dikehendaki oleh SK
Tiga Menteri itu, bukan tidak menumbuhkan masalah. Memang para
ustad di sana cukup mafhum akan dimaksud pemerintah. Tapi sampai
seberapa jauh tentu tenaga guru untuk mata pelajaran umum bisa
tersedia di pesantrennya? HM Saleh sendiri mengatakan bahwa dia
belum jelas betul tentang apa-apa saja pelajaran umum yang 70
persen itu. Walaupun penataran pelajaran-pelajaran umum sudah
juga dilakukan terhadap para ustad, misalnya dalam mata
pelajaran matematik, IPA dan sebagainya, waktu yang singkat
karena biaya sendiri itu menyebabkan hasilnya kurang bisa
diharap banyak. Bak kata seorang guru madrasah: "Mailap-ilap,
ibarat mandi kada basah, ibarat makan kada kanyang" Maksudnya,
segalanya serba tanggung. Itu sebabnya, Saleh kemudian
berpendapat bahwa pelaksanaan SK Tiga Menteri itu di daerahnya,
mungkin baru bisa terlaksana sekitar tahun 1984. "Itupun bila
pengadaan tenaga guru dan buku-buku pelajaran sudah bisa
teratasi secara menyeluruh ke desa-desa", katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini