19 Desember 1948. Sore itu, persis 27 tahun yang lalu, Yogya
sepi. Di jalan Code belakang Hotel Garuda, seorang lelaki
bersepeda membawa setumpuk map dan mesin tulis. Ia bergegas.
Mendadak sebuah kapal terbang muncul. Bersama 4 orang lainnya
ia tiarap di bawah pohon. Sebentar sepi, mereka meneruskan
perjalaskan. Sekejap pesawat itu kembali terbang rendah dan
memuntahkan peluru. Tak seorang pun selamat: 3 orang meninggal,
2 luka-luka - termasuk si pengendara sepeda. Sebentar ditolong
oleh dr Faruqi, orang Pakistan yang kebetulan menginap di hotel
Garuda selanjutnya ia harus 5 hari dirawat dr Picaully di RS
Bethesda. Luka di jari tangan kanannya cukup parah. Karena
agresi Belanda (terkenal dengan Clash II), perawatannya terpaksa
pindah-pindah ke RS Dr Yap kemudian RS Panti Rapih. Setelah 6
bulan, tepatnya 13 Mei 1949, Roeslan Abdulgani sembuh. Dan 24
tahun kemudian, ia ketemu dengan bekas-bekas penembaknya di
negeri Belanda.
"Peristiwa itu punya arti penting bagi saya. Ketika itulah saya
benar-benar mengalami pergolakan revolusi. Bukan hanya di bidang
diplomasi tapi juga merasakannya secara fisik. Saya baru keluar
dari sidang kabinet membicarakan rencana agresi Belanda bagai
sekjen Kementerian Penerbangan mewakili Menteri Penerangan
Mohammad Natsir yang lagi sakit. Saya buru-buru ke kantor
menyelamatkan beberapa dokumen sampai jam 3. Dalam perjalanan
pulang menjelang sore itulah peristiwa itu terjadi" tuturnya dua
pekan lewat di rumahnya jalan Diponegoro. Dan ia mendapat
'kenang-kenangan revolusi': ibu jari tangan kanannya kaku,
seperti tulang terbungkus kulit seadanya. Pangkalnya berkeriput
hitam-bakar, kulit batangnya kuning mengkilap. Ada bagian yang
agak penyok sedikit. Telunjuk dan jari tengah putus tandas sama
sekali. Itulah sebabnya ia sering berjabat-tangan dengan tangan
kiri, meski tanan kanan bukannya tak berfungsi. Sudah sejak
lama ia bisa mempergunakannya untuk mulai (dengan senduk),
mengetik. menulis dan mencoretkan tanda tangan. Tapi dulu
pernah berlatih tanda-tanda dengan tangan kiri.
6 bulan dirawat, ia banyak membaca. Mulai dari Sarinahnya Bung
Karno, The Story of Jaivaharlal Nehru punya Shakuntala Masani.
Polemik, Kebudayaan susunan Achdiat, Kebudayaan Islam oleh
Natsir dan Prof Kemal C.P. Wolff Indonesie. Nederland en de
Wereld karangan van Mook sampai Korte Inleiding in de Existentie
Philosophie-nya van Peursen. Bahkan ia sempat menuliskan sekedar
resensi, yang kemudian distensil sebagai buku berjudul Butiran
oleh Oerip Hartojo (mahasiswa dan sopirnya ketika itu) yang
kemudian menjadi domine. Ada pendapat-pendapatnya yang menarik
da lam Butiran yang membuat resensi atas 15 buku yang ia tulis
untuk Bung Natsir. Misalnya tentang Lenin en Gandhi oleh Rene
Fulop Miller: "Membaca riwayat hidupnya Lenin, sama seperti kita
diajak melihat angin taufan dan lautan samodra yang bergelora.
Membaca riwayat hidupnya Gandhi, sama seperti kita diajak
melihat angin berbisik sayup-sayup dan air tenang sedang
mengalir. Bila dalam pergolakan politik sekarang ini, terutama
di dalam negeri, kita berkehendak mencari pegangan dari
pelajaran kedua hervormers ini, maka tentu akan timbul
pertanyaan, jalan yang betul? saya kira jalan yang tengah".
Tentang Polemik Kebudayaan: "Kurang sekali dilukiskan hubungan
antara kebudayaan bangsa dan kemerdekaannya. Bagi saya
kebudayaan dan peradaban adalah suatu produk dari pada suatu
kemerdekaan. Tidak mungkin cultuur berkembang dan peradaban
meningkat dari suatu bangsa yang, baik politis maupun ekonomis,
keadaannya diikat oleh bangsa lain". Tentang Korte Inleiding in
de Existentie Philsophie: "Saya anggap Chairil Anwar sebagai
seorang pujangga yang jiwanya bergulat juga dalam badainya
lautan existensialisme. Bung Sjahrir dan Bung Natsir sendiri
saya anggap masih tengah bergulat rupanya dalam derasnya aliran
existensialisme ini. Bung Sjahrir dengan sadar, Bung Natsir
mungkin belum sadar".
Heikal
Roeslan yang sejak belasan tahun sudah 'kutu buku' ini sekarang
lagi asyik membaca The Road to Ramadhan karangan pemimpin
redaksi Al-Ahram dan politikus Mesir Mohamed Heikal (TEMPO 11
Oktober). "Saya senang buku itu. Saya sendiri pernah ketemu
Heikal di Kairo tahun 1965. Orangnya memang hebat", kata
Roeslan. Tapi yang paling mengesan dua: De Vrijmaking der
Mensheid (Hendrik Willem van Loen) yang mengisahkan ikhtiar
manusia membebaskan diri dari rasa takut dan memberi semangat
melawan penindasan, dan De Heilige Qoer'an (Soedewo). tafsir
Qur'an pemberian almarhum Kyai Achmad Zakaria, "nasionalis
Islam dan ulama kenamaan". Ketika ditangkap Belanda, Roeslan
membiarkan seluruh miliknya disita asal kedua buku itu tetap
padanya. Ketika tahun 1945 ia mengungsi dari Surabaya ke
Mojokerto, koper yang saya bawa mengungsi isinya hanya beberapa
potong pakaian dan sejumlah buku".
Ia paling suka sejarah. "Asal ada buku baru tentang sejarah
dari penerbit dalam atau luar negeri saya selalu kepengen
mendapatkannya", katanya. Sejarah bangsa Romawi misalnya, sangat
dikaguminya. Bisa difaham, sebab sejak kecil ibunya sering
mendongeng tentang Sriwijaya, Majapahit, Trunojoyo. Untung
Suropati, Diponegoro. Dan setelah dewasa membaca buku-buku karya
sejarawan besar Toynbee, Jan Romein, Thomas Carlyle, Ibn
Khaldun. Dalam usia 61 sekarang (dengan rambut 90% masih hitam)
hampir setiap pagi menengok toko buku kalau-kalau ada buku baru.
Ini dilakukannya jam 10--11 kalau tak ada tamu atau undangan.
Sebelum itu, sesudah sembahyang subuh, ia jalan-jalan sebentar
lalu mandi kemudian minum kopi sembari membaca koran atau buku
yang dilanjutkan malam hari sampai jam 23.
Begitu mendalam pengaruh bacaan atas dirinya. Ia pernah tertarik
pada Hafil, nama samaran Sutan Sjahrir untuk menyebut Bung Hatta
dalam buku tentang para Digoelis. Ketika anaknya ke-4
(laki-laki) lahir di Yogya, diberinya nama Hafil ditambah Yanto
- nama pemuda yang meninggal akibat tembakan Belanda. Maka
jadilah: Hafil Budianto. Masih tertarik Sjahrir, ketika anaknya
ke-5 (perempuan) lahir di Jakarta ia namakan Hafilia Riniati
yang kini 17 tahun, masih duduk di kelas I SMA Negeri IV
Jakarta. Dua anaknya yang lebih tua, Rustini Wulan dan
Retnowati, dibesarkan dalam suasana revolusi. Waktu mengungsi
dari Surabaya ke Mojokerto tahun 1945 keduanya baru 5 dan 3«
tahum Rustini yang menikah dengan Drs Aisar Rifki Indrakesuma
sekarang sudah dianugerahi 3 anak, sementara Retnowati yang
sarjana hukum bekerja sebagai assistan cashier dari Bank of
America New York. Adapun anak ketiga, Rudiono Iskandar yang
lahir dalam pengungsian di Malang (1946) adalah insinyur ahli
komputer elektronik di Amsterdam. Ia sudah menikah dengan gadis
Belanda. Roeslan sendiri menikah dengan Sihwati Nawangwulan 37
tahun yang lalu, 1938, ketika berusia 24 tahun.
Lahir di kampung Palmpitan Surabaya, 24 Nopember 1914, sejak
belasan tahun ia sudah masuk Natipij, National Indonesische
Padvinderij, organisasi kepanduan adik kandung Jong Islamiten
Bond pimpinan Mr. Moh. Roem. Tahun 1930, tanpa melepaskan
keanggotaan Natipij, Roeslan masuk Indonesia Moeda, bahkan 3
tahun kemudian terpilih sebagai ketua cabang Surabaya dan tahun
berikutnya ketua IM Jatim membawahkan 15 cabang beranggotakan
sekitar 700 orang. Tahun 1935 Sukarni Kartodiwirjo (kemudian
tokoh partai Murba) ketua Pedoman Besar (pengurus pusat) IM
menghilang karena mau ditangkap Belanda. Dalam pemilihan IM
beberapa waktu kemudran, Roeslan terpilih sebagai penggantinya
dan sekretariat PB-IM pindah ke Surabaya.
Hilangnya Sukarni mengakibatkan Roeslan ditangkap pula. Tapi
cuma menginap seminggu di Kantor Besar Polisi (jalan Perniagaan
Surabaya sekarang). Dan 2 bulan setelah itu diciduk lagi, 10
hari. Lalu 4 bulan sebelum kongres IM, 1937, ia ditangkap untuk
ketiga kalinya. Toh usaha Belanda menelacak Sukarni tetap nihil.
"Kami memang menghilang dari Jakarta, nyamar sebagai nelayan
berbaju hitam-hitam, datang ke Surabaya dengan perahu nelayan
malam-malam menemui saya. Setelah saya kumpulkan dana, ia pergi
lagi dengan kereta api. Saya jumpa lagi 12 tahun kemudian, 1947,
di Yogya. Karni memang hebat", ujar Roeslan. Akibat ikut gerakan
kebangsaan, Roeslan mengalami kesulitan di sekolah. Setelah
tamat HIS (197), MULO (1930) dan HBS-B (1934) ia masuk
Europeesche Kweekschool (sekolah guru Eropa) semacam Kursus
B-I. Kira-kira 2 bulan sebelum ujian ia dikeluarkan. Gurunya
tahu ia masuk IM . Ketika itu yang diizinkan masuk EK cuma orang
Eropa, pribumi anak bangsawan atau anak pegawai tinggi. Dan
menjadi anggota pergerakan nasional tentu saja terlarang.
Taopa Diploma
Apa boleh buat. Tanpa diploma, sejak 1935 itu Roeslan mengajar
mata pelajaran ekonomi dan sejarah di bberapa sekolah
partikelir. Antara lain di Sekolah Menengah Islamiyah jalan
Baliwerti (kemudian pindah jalan Arjuno). Di antara pengurus dan
pengajarnya terdapat Mohammad Sarjan (kemudian tokoh Masyumi dan
Menteri Pertanian) dan Surowijono (anak-buah HOS Tjokroaminoto
yang kemudian Menteri PP & K). Perguruan Rakyat jalan Peneleh
dan kursus malam Taman Siswa (untuk kaum tua) pimpinan Ki
Darmobroto. Di sini Roeslan hanya menerima honor, bukan gaji,
yang jumlahnya antara 6-8 rupiah sebulan. "Tapi saya puas, sebab
merupakan sumbangan murid-murid sendiri yang jumlahnya tak sama,
tergantung kemampuan orang tua masing-masing", katanya. Oleh
pengurus uang itu dihimpun. Setelah dipergunakan untuk ini-itu
(semuanya dicatat), baru sisanya dibagi sesama guru. "Kalau ada
guru yang sakit, uang tidak dibagi dulu sebelum dipisahkan
sebagian untu, membantu" .
Terutama setelah menjadi guru, Roeslan banyak bergaul dengan
politisi Muslim, kaum nasionalis dan Marxis. Ini karena rumahnya
berdekatan dengan tempat tinggal HOS Tjokroaminoto, pusat
kegiatan Syarikat Dagang Islam. Ayahnya sendiri bendahara SDI,
"tapi tidak aktif kecuali menghimpun dana untuk pertemuan
ini-itu". Sejak kecil Roeslan sudah sering melihat Bung Karno
meski belum mengenalnya, sebab umurnya terpaut belasan tahun.
"Kata ibu, Bung Karno sering ngutang rokok di warung ayah. Tapi
semua itu sudah beres, sudah lunas", kata Roeslan. Haji
Abdulgani, ayah Roeslan, dulu membuka warung klontong makanan,
minuman dan rokok. Meski warungnya sederhana, pak Abdulgani juga
punya 7 Fiat yang disaksikan. "Itulah sebabnya sampai sekarang
saya suka Fiat" kata Roeslan. Dan Fiatnya yang sekarang punya
nomor B 45 WW, mengingatkan angka tahun proklamasi. Ayah Roeslan
juga punya beberapa rumah yang disewakan. Tak heran ketika Bung
Karno tahun 50-an mampir ke rumahnya jalan Plampitan Surabaya
sempat berseloroh, "pak Abdulgani ini burjuis kapitalis....".
Roeslan sendiri sekalipun dekat dengan Bung Karno tapi tak
terlalu akrab. "Bung Karno pernah sekali berkunjung ke rumah
saya yang sekarang ini bersama Bu Fat, tahun 1952, setelah
almarhum mendengar ibu saya datang dari Surabaya. Ternyata
keduanya sudah saling mengenal. Ibu sendiri bilang, Bung Karno
itu dulu bernama Kusno", tutur Roeslan.
TEMPO: Apa yang paling mengesan dari Bung Karno?
Jawab: Manusiawinya. Bung Karno sebagai idealis, teoritikus dan
dreamer. Ia selalu ingin memadukan segala apa yang kontradiktif
dalam alam, dalam dunia internasional dan masyarakat kita. Ia
menarik garis tegas antara klonialisme imperialisme di satu
fihak dengan nasionalisme-patriotisme di lain fihak. Dia tak
pernah menyembunyikan diri, selalu blak-blakan, hingga
sering-sering 'sikap berhati-nati' yang diperlukan dari sorang
negarawan atau Kepala Negara dilupakan. Ia dapat membenci atau
mencintai sesuai, kadang secara berlebih-lebihan. Cita-citanya
besar, kekuatan keyakinannya besar. Kelemahan-kelemahannya pun
besar. Itu termasuk "les defauts de ses qualites" kata orang
Perancis, yakni kekurangan-kekurangan dari kwalitasnya setiap
orang besar dan sebagai manusia.
Mengapa Bung Karno bangkrut, Roeslan merasa "tak baik mengusik
orang yang sudah tak ada atau bicara tentang orang yang sudah
jatuh". Tapi ia berkesimpulan, mulai 1963 Bung Karno sudah
digarap oleh PKI. Adapun tentang Nasakom, asumsinya bertolak
dari pemikiran menarik PKI bekerja sama. Ternyata PKI lebih
mementingkan ideologinya "Dan memang, dengan Manipol-yang antara
lain bertujuan menyederhanakan kepartaian dan sekaligus memberi
jalan bagi golongan karya--sebenarnya sudah curiga. PKI jelas
tak mau menerima pikiran demikian, sebab punya loyalitas
internasional." Toh Roeslan juga mengakui, Manipol ada juga
positif dan negatifnya. "Saya bukannya tak tahu kalau ada yang
menyebut saya dengan predikat jurubicara USDEK Manipol atau
Jubir Usman dengan nada sinis. Itu risiko perjuangan berlayar
tentu selalu kena ombak. Cuma saya meyayangkan orang yang
bersikap demikian tidak berkonsultasi lebih dulu secara
sepatutnya".
Perjalanan karir Roeslan cukup menarik. Saat-saat menjelang
revolusi, ia sudah menduduki jabatan penting dan berkumpul
dengan banyak tokoh. Jaman Jepang misalnya, bekerja di kantor
Perindustrian Jatim pimpinan Ir. Darmawan Mangunkusumo (kemudian
Menteri Prekonomian Kabinet Sjahrir). Tahun pertama RI, ia
sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya yang
diketuai Doel Arnowo (kemudian Wali kota Surabaya). Beberapa
anggotanya yang sempat menjadi orang gedean, antara lain dr.
Siwabessy, Ir. Darmawan Mangunkusumo, Notohamiprodjo. dr. Moh.
Suwandhi. Baru 6 bulan mengungsi di Malang (akhir 1946), ia
dipanggil pemerintah pusat Yogyakarta menjabat Sekjen
Kementerian Penerangan (1947--1954). Setahun setelah pengakuan
kedaulatan, 1950, ia pundah ke Jakarta. Sementara ia menjabat
Sekjen Kemlu (1954--1956) tahun 1955 terpiih sebagai Sekjen
Konperensi Asia Afria di Bandung. Barangkali karena sukses
menyelenggarakan konperensi yang menurut Roeslan hasilnya sampai
sekarang masih bisa dimanfaatkan untuk nengurangi ketegangan
dunia - setahun kemudian diangkat menjadi Menlu (1956--1957)
menggantikan Soenarjo SH. Maka semangat Bandung pun ia
kobarkan .
T: Sekarang banyak orang bicara tenang New International
Economic Orler singkatnya pembagian rezeki yang merata di
dunia. Dalam kerangka ini. bagaimana hari depan negeri-negeri
sedang berkembang seperti Asia-Afrika, Amerika Latin, khususnya
ASEAN?
J: Cagasan seperti itu tak dapat dilihat lepas dari imbangan
kekuatan yang nyata antara negara-negara maju dengan
negara-negara terbelakang. Barangkali dalam hal ini saya terlalu
'traumatis', masih tercekam oleh pengalaman-pengalaman zaman
saya. Yaitu bahwa tak ada satu kelompok, baik negara maupun
manusia, yang begitu saja secara suka rela mau melepaskan
'previleged position'-nya. Mungkin mereka mau membagi
'rontokan-rontokan ' nya kepada Dunia Ketiga sebagai semacam
penebusan dosa yang filantropis' Lebih dari itu sulit
diharapkan, kecuali kalau mereka dihadapkan pada desakan dan
paksaan yang terorganisir. Seperti OPEC umpamanya. Dalam
rangka ini, Indonesia jangan terlalu simple mindeakan masalah
ekonomi dunia tidak ada kaitannya dengan masalah politik dan
militer. Kita pun harus hemat dengan kekayaan alam kita,
sekalipun mungkin anka-angka perkiraan persediaannya sangat
optimis. Bagaimana pun juga ada hikmah kebenaran pokok dalam
laporan Club of Rome tentang the limits to economic growth.
Juga growth di Indonesia akan menghadapi limits-nyaa,
apalagi uang tak berimbang dalam keadaan sosial budayanya.
Bung Karno puas tas sukses-sukses Roeslan. Maka ketika Dewan
Nasional yang dipimpinnya terbentuk. Roeslan ditunjuk sebagai
wakil (1957-1959). Dewan ini mendampingi Kabinet Kerja
(sebelumnya disebut Kabinet Gotong Royong), konon sebagai rem
bagi krisis pemerintah. Juga ketika Dewan ganti nama menjadi
Dewan Pertimbangan Agung, Bung Karno tetap menempatkannya
sebagai pendamping (1959-1962). Tapi setelah Dr. Soebandrio
diangkat sebagai Menlu, timbul perkebangan lain. "Waktu saya
jadi Menlu, saya angkat Soebandrio sebagai sekjen. Karenanya
saya cukup mengenalnya.
Garis politiknya lebih banyak didorong ambisi pribadi, mudah
ditunggangi PKI", ujar Roeslan. Dulu saya tegas non aligned atas
dasar Dasa Sila Bandung, sedan Soebandrio lebih condong ke blok
kiri. Berulang kali Bung Karno saya peringatkan bahwa garis
Soebandrio bisa merugikan. Tapi reaksinya tenang-tenang saja,
malah kedudukan saya semakin sulit. Saya memang dekat dengan
Bung Karno, tapi selalu ada batas".
Sekitar 1956/1957,kata Roeslan, Bandrio pernah mencoba masuk PNI
tapi tak dilayani. Tapi 1961 kelihatan Bandrio sering membawa
Njoto, tokoh PKI itu, ke Istana. "Apa maksudnya, saya tak tahu.
Yang jelas, mulai 1962 PKI mulai mengerosi saya", tambahnya.
Misalnya ketike ada isyu tentang GAS (Gerakan Anti Soekarno) di
Surabaya, 1962, seperti disiarkan Harian Djawa Timur. Tanggal 8
Nopember 1962 malam, seorang lelaki 40 tahun sedang omong-omong
dengan gelandangan di sebuah gubug pinggir kali jalan Peneleh.
Tiba-tiba datang serombongan orang yang menamakan diri
"Arek-arek Suroboyo" (ternyata BTI/PKI) mengeroyoknya sampai
babak-belur, diarak dengan becak keliling kota sebagai "anasir
subversi dan pengacau rakyat". Sekitar jam 22 polisi datang lalu
membawanya ke rumah sakit. Di sana, ada dokter yan mengenal
lelaki malang tadi segai Gatot Goenawan, adik kandung nyonya
Roeslan. Sembuh dari perawatan, Gatot mengadu ke pengadilan.
Perkaranya belum beres, 2 tahun kemudian ipar Roeslan ini
diambil dari rumahnya, jalan Betek 51 Malang. "Waktu itu
Menteri Kehakiman memang sudah Astrawinata yang pro PKI", kata
Roeslan.
Gatot dibawa ke berbagai tempat, sampai ditahan di markas Biro
Pusat Intelijen-nya Bandrio. Bahkan juga di sebuah sel bawah
tanah di suatu tempat di Jakarta dan akhirnya dijebloskan ke
penjara Kalisosok Surabaya. Semuanya tanpa boleh dijumpai
keluarga dan baru bebas tahun 1966 dengan tuduhan mendalangi
GAS. "Itu tidak benar", kata Roeslan. "Sejak 1957 Gatot aktif
dalam yayasan atau koperasi pertanian di Malang, mengusahakan
produksi dan pemasaran semangka, jagung dan lain-lain. Kecuali
bergaul dengan petani, juga dengan abang-abang becak. Tanggal 8
Nopember 1962 malam itu ia memang lagi omong-omong dengan
gelandangan bekas petani Malang. Gatot membujuknya kembali
pulang. Rupanya itu salah satu cara Subandrio untuk
menyingkirkan saya. Dalam rapat KOTI sampai-sampai ia bilang
'adik Roeslan mendalangi GAS', hingga Bung Karno bertanya 'apa
betul?' Untung Jenderal Yani almarhum membantahnya", tutur
Roeslan.
Mencium PKI mau kup, Roeslan yang ketika itu wakil ketua DPA dan
ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi buru-buru menerbitkan pidato
Bung Karno antara tahun 1926-1957, berjudul Kepada Bansaku,
setelah konsultasi dengan Jenderal Nasution dan Jenderal Yani.
Sukarni Kartodiwiryo yang ketika itu juga anggota DPA, mendukung
usaha Roeslan. PKI memang menafsirkan apa yang disebut ajaran
Bung Karno dengan caranya sendiri untuk merebut penaruh. Tapi
justru karena buku itu pula Roeslan semakin tersisih. "Soalnya
isi pidato Bun Karno dalam buku itu, yang mengutuk peristiwa
Madiun, sangat merugikan PKI", katanya. Bagaimana pun tahun 1962
itu juga ia terpental. Jabatannya sebagai wakil ketua DPA
diganti Sartono SH yang menurut Roeslan "sudah tua". Meski
kemudian 'Bung Karno menawari jabatan lebih tinggi - Menteri
Koordinator hubungan dengan Rakyat - Roeslan tetap menuntut
penjelasan apa kesalahannya. "Bung Karno bilang saya tidak
bersalah. Karena jawaban itu tidak memuaskan, saya tetap menolak
jabatan Menko".
Akhirnya Mr. Moh. Yamin --sebelumnya ketua Dewan Peranang
Nasional (Depernas) - yang diangkat. Tapi ketika setahun
kemudian Yamin mangkat, Roeslan toh kembali ke kabinet
menggantikan Yamin. Mengapa? "Sesudah saya dicopot dari DPA, Pak
Gatot Soebroto almarhum datang. 'Apa? Monyet kamu!' katanya.
Kalau pak Gatot menyebut monyet itu tandanya sayang. Tapi kalau
memanggil dengan sebutan 'Paduka Yang Mulia' berarti almarhum
punya sikap lain. Pak Gatot bilang 'Soekarno itu jangan dijauhi,
nanti malah berbahaya'. Dan setelah pak Yamin mangkat, Jenderal
Yani datang ke rumah menyatakan, kalau nanti Bung Karno
memanggil saya menggantikan Yamin, saya jangan menolak. Waktu
itu saya kaget, apa iya Bung Karno masih mau memakai saya.
Menurut pak Yani, kemungkinan itu sudah diatur rapi. Itu harus
saya terima, sebab lewat Subandrio PKI sudah punya calon yang
meskipun bukan PKI tapi crypto-komunis macam Astrawinata. Dua
hari kemudian sekretaris militer Presiden BrigJen Santosa
datang, menyampaikan salam Bung Karno dan sekaligus minta agar
saya menggantikan Yamin. Saya masih menolak sebelum mendapat
penjelasan garis politik yan harus ditempuh. Tiga hari
berikutnya Santosa datang lagi menyatakan, Bung Karno
mempersilakan saya bekerja seperti dulu, bebas". Dua minggu
setelah itu Roeslan kembali masuk kabinet sebagai Menko Hubungan
dengan Rakyat merangkap Menpen (1963-1965). Dan dalam masa
peralihan ke Orde Baru, selama setahun (1965--1966) ia menjadi
anggota Presidium Kabinet yang mengkoordinir kegiatan
Lembaga-Lembaga Negara non Departemen.
T: Pak Roeslan pernah ceramah tentang Pancasila di Universitas
Nomensen Medan. Kalau kita ingin melaksanakan cita-cita falsafah
Pancasila dalam pembangunan politik, bagaimana sebaiknya menata
kembali birokrasi kita?
J: Max Weber pernah berkata, bahwa birokrasi sebagai roda
administrasi negara adalah penting. Dalam perkembangannya di
mana-mana ia merupakan suatu 'power instrument of the first
order' yang sulit untuk dirobah. Tapi sebaliknya mudah dan cepat
mengikuti perubahan kekuasaan. Ia paling sukar dihancurkan dan
ia juga paling cepat menyediakan diri bagi mereka yang berkuasa.
Sudah tentu kwalifikasi Max Weber ini agak berlebih-lebihan.
Tapi saya kira pada umumnya dapat dikonstatir bahwa padanya
melekat 2 sifat kontradiktif: Lamban dalam orde tertentu, cepat
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan orde yang buru. Apabila
birokrasi sudah mencium kekuasaan politik, maka jiwa 'service to
the public' akan berkurang. Menata kembali birokrasi yang
demikian itu dapat dilakukan dengan 2 jaman. Pertama,
menyadarkan kembali kepada tugas 'public service'-nya untuk
masyarakat dan rakyat banyak. Kedua, dengan meningkatkan
mekanisme check-and-balance dalam pengendalian kekuasaan
politik Negara dan Pemerintah kita. Usuha ini tidak mudah dan
makan waktu lama.
T. UUD 45 kan mengandng kemungkinan adanya check-and-balance
itu?
J: Jelas. Sekarang ini ada juga check and-balance itu, cuma
masih kurang.....
Mengambil kasus kegagalan PKI, Roeslan berpendapat partai-partai
di masa lewat memang gagal. "Karena mereka terlalu berpretensi
merebut kekuasaan. Itulah sebabnya, kepada kaum muda sekarang
saya selalu katakan bahwa dinamisme itu harus dipelihara tetapi
bentuk penyalurannya harus lain. Sekrang tidak lagi boleh
bersikap nihilistis, mendobrak asal mendobrak. Aparat
pemerintahan sekarang memang belum sempurna, tapi kita
berkewajiban menyempurnakannya bersama-sama'
PNI dan Kuman
T: Tentang PNI bagaimana?
J: PNI sebagai partai politik yang besar sebelum 1963 besar
pula jasa dan peranannya terhadap negara dan rakyat. Misalnya
dalam menggulung federalisme Belanda tahun 1950, merintis
Konperensi AA di Bandung tahun 1955, membela Pancasila di
Konstituante dan mendukung Dekrit kembali ke UUD 45 tahun 1959.
Tapi penyakit-penyakitnya pun besar pula. Setiap organisasi yang
besar tidak selalu dapat bertahan 'imun' terhadap kuman penyakit
dari bar. Apalagi dalam saingan perebutan pengaruh. Semoga
PDI dapat belajar dari masa silam. Demikian juga Partai
Persatuan Pembangunan dan Golkar.
Dalam periode kepemimpinan PNI yang terakhir di bawan Mr Ali
Sastroamidjojo, Roeslan sebagai wakil ketua IV. "Ketika itu
dalam PNI sudah heterogin. Dalam kongres Bandung - menjelang
perpecahan dengan kelompok Ir. Surachman--saya tidak ikut. Saya
tak mau ikut-ikutan rebutan kepemimpinan partai dalam perpecahan
semacam itu", katanya. Ia menyayangkan, sejak tahun 60-an PNI
mulai kropos "Dan tak bisa secara 100% menerapkan garis Bung
Karno tentang penyederhanaan kepartaian, yang mereka anggap
merugikan. Padahal gagasan itu kalau terwujud merupakan wadah
nasionalisme dan bisa menyingkirkan PKI. PNI kurang berfikir
strategis. Selain itu juga, karena kejangkitan trauma of the
past. Ingin tetap radikal tapi dalam penerapannya tidak bisa
selalu sinkron dengan perkembangan politik, sosial dan ekonomi.
Apalagi di dunia ada perkembangan lain - perang dingin".
Jabatan Roeslan yang terakhir adalah wakil tetap RI di PBB
dengan pangkat Dubes (1967--1971) setelah secara kebetulan
umumnya mendekati pensiunan. Dalam masa jabatannya, 1969,
Roeslan pernah menjadi Wakil Presiden Sidang Umum PBB. "Sekolah
saya yang pertama di bidang diplomasi adalah pergolakan Surabaya
yang terkenal dengan Hari Pahlawan itu", ujarnya. Sejak 25
oktober 1945 ketika Inggeris mendarat di pelabuhan Perak tanpa
izin, sejak itu pula ia terlibat dalam beberapa perundingan,
sampai akhirnya diangkat sebagai sekretaris Biro Kontak. "Karena
sekretaris dari fihak Inggeris berpangkat Kapten, yaitu Kapten
Shaw, kawan-kawan pun berseloroh 'mengangkat' saya sebagai
'kapten' pula", katanya tertawa. "Hei, kep!" begitu
kawan-kawannya sering bergurau memanggilnya. Bicaranya
sehari-hari tetap berbau 'dialek Surabayan', Roeslan juga
sering dipanggil dengan 'Cak Roes'--panggilan akrab untuk arek
Suroboyo. Sekitar tahun 60-an, ketika AU memberi Subandrio
pangkat Lasama Udara, maka AD pun mengangkat Roeslan sebagai
Mayjen. "Itu kepangkatan politis, tak ada artinya apa-apa bagi
saya", tambahnya masih tertawa. Unik juga, dari 'kapten'
langsun naik menjadi 'jenderal'--dan keduanya bukan pangkat
efektif. Dalam pertempuran Surabaya, Roeslan mengaku "cuma
lari-lari". Hadir juga dalam bentrokan senjata, pernah tiarap,
merangkak-rangkak mencari perlindungan, bahkan masuk kali
kecipratan darah orang. "Tapi saya tak bisa menembak. Pernah
juga sekali waktu pegang pestol. saya gemeter Ketika melepas
tembakan, ya ngawur....".
T: Apa peranan PBB sekarang dan bagaimana hari depannya? Manfaat
apa yang bisa kita ambil sebagai angota dan apa yang bisa kita
sumbangkan?
J: Peranan PBB sebagai forum penutaraan cita-cita Dunia Ketiga
akan tetap penting. Sekalipun Dunia Baru akan merasa tidak
senang dengan peranan ini, toh mereka akan terpaksa 'main tenis'
dalam PBB. Bacalah artikel saya tentang Masa Depan PBB dalam
TEMP0 yang lalu. Manfaat materiil yang dapat diambil oleh RI
dari PBB agak terbatas. Mungkin tambahan bantuan di bidang
Mechanical assistance dapat diusahakan dalam rangka
multilateral aid-diplomacy. Sebaliknya tenaga-tenaga RI sendiri
yang berpengalaman di bidang pembangunan desa, di bidang
pendidikan masyarakat, dibidang nation and character building,
dapat ditawarkan kepada perwakilan-perwakilan PBB untuk
dimanfaatkan pengalaman-pengalamannya bagi negara-negara Dunia
Ketiga. Jangan sampai kita 'kebanjiran' dengan tenaga-tenaga
ahli PBB di sini yang kurang berbobot.
Ketika Indonesia berniat kembali masuk PBB setelah ngambek tahun
1964, Roeslan ditugasi melicinkan jalan. "Keluarnya kita dari
PBB memang keliru. Dengan begitu kita terpencil. Dulu itu kan
gara-gara Subandrio juga", katanya. Indonesia keluar setelah
Malaysia duduk dalam Dewan Keamanan 1964, yang menurut Roeslan
sebenarnya bukan keputusan baru. Tahun sebelumnya, pemungutan
suara dalam MU PBB sudah memberi suara sama banyak pada
Tjekoslowakia dan Malaysia. Karena masa jabatan untuk anggota
tak tetap hanya 2 tahun, MU mengambil kebijaksanaan:
kedua-duanya duduk, masing-masing setahun. "Keputusan itu tidak
dilaporkan Subandrio kepada Bung Karno. Akibatnya Presiden jadi
lebih naik pitam", kata Roeslan.
Pensiunan
Tunjangan pensiunnya sebagai bekas Menteri cuma Rp 18 ribu
sebulan. Dan sebagai bekas Dubes Rp 16 ribu. Dengan uang sekian,
ia tak bisa berbuat banyak. Mungkin itulah sebabnya Oktober
kemarin ia sibuk mengurus warisan. "Saya mendapat beberapa rumah
warisan. Ada di antaranya yang akan saya jual untuk ongkos 2
anak saya yang masih sekolah". Ia tak merasa senang kalau
anak-anaknya belum beres sekolah. Ayah Roeslan sendiri dulu
menginginkan anaknya jadi dokter. Sekarang, hal itu agak
meleset. Tahun 1960, 1964, 1965 berturut-turut Roeslan menerima
gelar DR-HC dengan (duta besar) dari Unpad (ilmu politik),
Unair (hukum) dan IAIN Sunan Kalijaga (pendidikan). Dan sampai
setua sekarang, semangat belajarnya masih tinggi. Ketika masih
jadi Dubes di PBB dulu misalnya, kalau lagi tak ada sidang, ia
ikut kuliah musim panas (6 bulan) di Hunter University untuk
masalah kebijaksanaan politik luar negeri AS. Juga di Columbia
University dalam perbandingan agama.
Ia telah menunaikan Rukun Islam ke-5, tahun 1955. "Ketika itu
persis tahun Akbar. Disebut begitu karena pada saat Wukuf di
Arafah jatuh hari Jum'at seperti tahun ini. Tidak semua orang
mendapat kesempatan naik haji pada tahun Akbar. Jadi saya merasa
beruntung sekali", katanya. Di kamar studinya kecuali deretan
dan tumpukan ratusan buku - tampak ayat-ayat Qur'an lengkap yang
ditulis hanya pada selembar kertas ukuran 1 meter persegi. Juga
3 gambar suasana sekitar Ka'bah di kota Mekah. Impian naik haji
memang sudah mencekam sanubari Roeslan sejak kecil. "Ketika saya
masih duduk di Sekolah Rakyat, ayah naik 'naji. Saya mau diajak,
tapi pak Surowijono -guru saya yang kemudian menjadi tokoh
nasionalis Muslim -- melarang. Naik haji ketika itu kan lama
naik kapal api lantas naik onta dan sebagainya. Sejak itu saya
selalu kepingin naik haji", tutur Roeslan. Ibunya, Sitti Murad,
dulu mengharap Roeslan memperdalam agama. "Setiap malam ibu
mengajar ngaji 100 anak dalam kamar di belakang rumah. Lelaki
dan perempuan terpisah. Mula-mula ibu sendiri membaca, kemudian
anak-anak menirukan. Saya sendiri pernah gagal membaca surah
Ya-Sin - hanya mampu sampai 2--3 baris saja. Maka upahnya
sebatang rotan menimpa kaki saya. Sakit juga....", ia tertawa.
T: Seberapa jauh perhatian kaum intelektuil sekarang terhadap
agama?
J: Syukur alhamdulillah, perhatian itu kian meningkat. Mungkin
karena akibat keresahan umum dan stabilitas semu yang
dirasakannya, hingga memerlukan pegangan-pegangan spirituil
yang lebih mendalam. Ada juga yang memasuki kebatinan. Namun
semua itu baik, asal selalu dipelihara jiwa rasionil dan
humanismenya.
Sekarang karir eksekutipnya sudah berakhir. Tapi prakteknya
belum sepi. Letjen Kartakusuma, Sekjen Dewan Pertahanan
Keamanan, menunjuknya sebagai konsultan. Beberapa perguruan
tinggi pun kerap memintanya berceramah. Antara lain IAIN Sunan
Kalijaga Yogya dan Universitas Nomensen Medan. Juga Monash
University Australia yang memberinya uang rokok 2000 dolar AS
untuk 6 bulan, belum termasuk ongkos pp Australia-Indonesia.
Sekalipun sekarang punya kesibukan lain sebagai sesepuh Yayasan
Bhinneka Tunggal Ika dan pengurus Yayasan '45 (dua lembaga yang
sering berseminar tentang masalah-masalah sosial) toh kebiasaan
lamanya, menulis artikel, tidak dilupakannya. Dalam setiap
diskusi tampak kelihaian Roeslan 'melempar' dan 'memancing'
persoalan, hingga kecuali semakin hangat, di sana-sini terselip
humor yang segar. Dalam diskusi tentang Birokrasi dan
Pembangunan Politik 15 Desember kemarin di UI (bersama Letjen
Sayidiman dan drs. Soemiskum depan para peserta Program
Pendidikan Non-Degree untuk Wartawan Senior) selain menguasai
masalah, ia juga cukup berani melontarkan pendapat-pendapat.
Sejak muda Roeslan sudah menulis untuk Garuda (organ IM pusat),
Garuda Semeru (IM propinsi) dan Garuda Merapi (IM cabang).
Sekarang antara lain menulis di harian Merdeka. Beberapa
bukunya yang telah terbit antara lain 100 hari Di Surabaya
(tentang pertempuran yang terkenal itu), 25 Tahun Indonesia-PBB,
Dr. Soetomo Yang Saya kenal dan Sejarah, Cita-cita dan Pengaruh
konperensi AA Bandung, ia merasa cukup bahagia dengan
'status'-nya kini. Katanya: "Setiap orang kan punya rencana
sendiri-sendiri".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini