MANAKALA komandan upacaa di tempat yang agak ketinggian
selesai memberi aba-aba, tiba-tiba lebih dari sepuluh orang
pengurus kuburan muncul setengah berlari dari balik pohon-pohon
kemboja yang tak begitu rindang. Orang-orang yang sebagian besar
berbaju hijau tentara itu, biarpun model gunting Cina, mengatur
posisi: beberapa langsung terjun ke dalam liang dan beberapa
lagi dengah cermat menguakkan bendera merah putih yang menutup
keranda, lalu menguakkan kain yang bertulisan Arab dan baru
mengangkat tutup keranda. Sesosok tubuh berbalut kain putih
diturunkan pelan-pelan, di bawah naungan Sang Saka. Dor ....
bunyi salvo kehormatan dari sepasukan polisi. Para hadirin yang
mengunjungi Taman Makam Pahlawan Kalibata di siang 12 Desember
itu terkejut, tapi jasad Profesor Doktor Hazairin SH gelar Sutan
Pangeran dibumikan sudah. Ketika kembang-kembang ditaburkan oleh
keluarga almarhum lagu Gugur Bunga dimainkan oleh seregu
anggota Hankam, di bawah pohon kemboja juga.
Kepergian Guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam itu banyak
mendapat perhatian. Terik matahari pekuburan yang menyengat
bagai tak dirasakan oleh Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro
Kapolri Widodo dan pembesar-pembesar militer lainnya. Sementara
Rektor UI Prof Mahar Mardjono dan Dekan FH-UI Padmo Wahyono
serta Menteri Sosial ad interim Sunawar Sukowati yang jadi
Inspektur Upacara untunglah berada di tempat kelindungan. Di
rumah almarhum, bilangan bapak-bapak yang hadirpun tak
terkatakan banyaknya.
Siapa yang tak kenal orang pandai, yang disegani, tapi tak
kurang ditakuti ini? Ahli waris ilmunya tersebar di mana-mana.
Siapa saja yang pernah belajar hukum, setidaknya di ibukota,
pasti punya kenangan sendiri tentang tokoh yang lahir pada 28
Nopember 1908 ini. Misalnya suatu pagi di tahun 1960-an.
Profesor Hazairin telah mengambil tempat di bagian muka ruang
III gedung Salemba 4 yang berbentuk tribun itu. Dua asistennya
segera pula duduk di belakang. Kuliah Hukum Islam II yang
diberikannya pagi itu, mengharuskan nya mengutip beberapa
kata-kata Inggeris. Tetap duduk di kursi sambil menyilang kaki,
Hazairin meminta asistennya yang muda menuliskan kata-kata asing
tersebut. Si asisten turun, ambil kapur. Celaka, ia tak begitu
tepat menuliskan bahasa Inggeris itu. Lebih celaka lagi,
karena kemudian terdengar komentar profesor: "Inilah sarjana
hukum zaman sekarang. Menulis bahasa Inggeris saja tidak bisa".
Sang pengajar pembantu, mau bilang apa, malu saja lah.
Hazairin, orang yang sangat berterusterang, sehingga bagi
yang-kurang memahami, kata-katanya yang tak berbalut itu bisa
dirasakan menyakitkan hati. Akan tetapi bila si pendengar suka
mendudukkan dirinya sebagai anak, maka ia akan mendapat mutiara
dari keterusterangan tersebut. Seperti disinggung Hazairin
sendiri dalam bagian pidato penebalannya selaku Gurubesar Hukum
Adat dan Hukum Islam pada FH-UI 1952: "Sebagaimana encik-encik
dan tuan-tuan telah alami, maka saya adalah seorang guru yang
sekali suka bercumbu-cumbu dan sekali lagi suka mencela-cela,
seorang-orang yang lekas berobah corak, sekali riang, sekali
gusar. Itu adalah disebabkan ukuran kesusilaan saya mengenai
perhubungan antara guru dan murid, yang bagi saya sama dengan
perhubungan antara bapak dan anak. Jika saya riang atau gusar,
jika saya memuji atau mencela, maka itu adalah untuk kebahagiaan
anak-anak atau murid-murid, menurut keyakinan saya mampan malu
dan mampan bangga itu adalah sifat-sifat roh yang sehat menurut
ukuran kesusilaan. Sebab itu saya berdaya upaya mempertinggi
mampan malu dan mampan bangga itu, yaitu dengan memuji-muji
murid-murid yang manis, yaitu murid-murid yang mengikuti
tuntunan dan rajin belajar, dan sebaliknya dengan mencela dan
menaikkan malu murid-murid yang lengah dan lalai.
Demikian ia disegani begitu ia ditakuti, demikian mahasiswa
harus tabah menjawab pertanyaan-pertanyaan mautnya, begitu pula
orang cinta padanya: "Almarhum mendidik kita untuk tidak
main-main dalam belajar, untuk tidak bisa main spekulasi",
komentar Mayjen E.Y. Kanter SH, bekas asuhan almarhum kepada
TEMPO selesai acara penguburan. Dunia hukum kehilangan seorang
pemuncak dua buah bidangnya. Siapa yang bakal menggantinya?
Para asistennya sudah banyak. Seperti kata Mayor Jenderal Drs.
Subadi, Gubernur PTIK kepada T seusai pemakaman: "Untnglah
almarhum telah membina asisten-asistennya yang cukup mampu
mengantikan fungsi beliau dalam memberi kuliah-kuliah". Tapi
persoalan bagi sementara pengamat, adalah jauhnya jenjang kadar
antara si profesor dan sistemnya. Ini pada pandangan mereka
juga menyangkut sebagian besar cabang ilmu hukum yang lain. E.Y.
Kanter, yang mengetuai perkumpulan para sarjana hukum (Persahi),
dengan kepulangan Profesor Hazairin mengatakan belum ada melihat
dari daftar anggotanya, orang yang menurutnya sudah dapat
menggantikan posisi almarhum.
Dari sudut administrasi Fakultas Hukum UI telah kehilangan
seorang sekretaris, yang resminya akan menandatangani ijazah
para lulusan. PTIK kebobolan seorang dekan dan Ketua Dewan Guru
Besar. Universitas Islam Jakarta ditinggalkan oleh seorang
rektor. Sedangkan Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum
Militer ditinggalkan gurubesarnya.
Tokoh yang mempunyai empat bintang itu (Satya Lencana Widya
Sistha Gerilya, Bhayangkara kelas III dan Bintang Kartika Eka
Paksi kelas III) lulus dari Rechtshooge School 1920. Karir
Kampus dimulainya setelah ia mendapat gelar Doktor (disertasi
De Rejang) pada 1936. Di tahun 1938 Dr. Hazirin mendapat
peluang menyelidiki hukum adat di Tapanuli Selatan, di mana ia
mendapat gelar Pangeran Alamsyah Harahap. Di masa-masa sebelum
kemerdekaan ia pun pernah jadi pegawai Pengadilan Negeri di
Padang Sidempuan Penasehat Hukum Penguasa Jepang. Kemudian
setelah kemerdekaan ia jadi Ketua Pengadilan Negeri Tapanuli
Selatan, kemudian asisten residen di Sibolga serta berikutnya
residen di Bengkulu. Tahun 1953 menjadi Kepala Bagian Hukum
Sipil pada Kementerian Kehakiman. Lalu antara 1953-54 menjabat
Menteri Dalam Negeri. Setelah itu berturut-turut pegawai tinggi
pada Departemen Kehakiman dan P & K dengan jabatan terakhir
sebagai gurubesar.
Usia tua tidak jadi halangan bagi Hazairin untuk tambah sibuk.
Memberi kuliah di banyak tempat, menerima mahasiswa di rumah,
membaca dan menulis, adalah kegiatan yang terus menjelang akhir
hayatnya. Ia meninggalkan kurang lebih 17 buku, antaranya
Demokrasi Pancasila Hukum Islam, Quo Vadis? Nabi Isa dan
Roh Kudus dan Tujuh Serangkai tentang Hukum.
Hazairin juga manusia yang banyak humor. Ketika pada tahun 1966
ada mahasiswa yang bertanya kenapa kita impor beras dari Mesir,
yang 75% wilayahnya terdiri dari padangpasir, Hazairin menjawab:
"Karena belas Mesir ada keistimewahannya. Di sana padinya
ditanam wanita pakai giring-giring". Suatu ketika, di rumahnya
ada kerepotan mengurus pembantu-pembantu rumah yang lari
terus-terusan. Di depan isteri dan tamu-tamunya, Pangeran
Alamsyah Harahap minta dicarikan dua pembantu wanita yang
cantik. "Mereka akan saya kawini, sebab dengan begitu mereka
tidak akan lari lagi", katanya. Tentu berseloroh .
Para perawat mungkin repot juga menjaga Hazairin yang sejak
Idulfitri yang lalu berada di RS Tjiptomangunkusumo. Ia tidak
mau menerima obat dari siapapun (juga tidak dari anak-anaknya)
kecuali dari isterinya sendiri. Pada suatu pagi para perawat
hendak memeriksa bekas operasinya. Tapi Hazairin melarang mereka
membuka selimutnya. Yang boleh membuka hanya isterinya.
Terpaksalah mereka menunggu yang terakhir ini tiba.
Mendiang juga pencinta musik. Di MULO ia masuh klub orkes
sekolah. Sebuah biola tua kesayangannya hingga kini masih
tersimpan baik di rumah yang -ditinggalkannya di bilangan
Menteng. Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini