PELAN-PELAN Soediono mengayuh sepedanya menembus larut malam. Huriah, istrinya, membonceng. Mereka habis menonton banyolan Cak Kartolo pelawak jawa timuran -- di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, dua pekan lalu. Jalan desa itu lengang. Tapi kemudian deru motor mendekat, dan bahkan mengarah pada mereka. Lalu .... brukk. Soediono, 34, terpelanting. Istrinya juga. Dua lelaki penubruknya turun dari motor mengangkat tubuh korban. Namun, bukan untuk menolong, melainkan untuk menghunjamkan kepalan tangan pada muka rahang, dan dada Soediono. Ayah tujuh anak asal Desa Besuki, Porong, itu terjungkal. Lalu ia diinjak-injak dan dihantam dengan kopelrim. Huriah menjerit-jerit. Orang-orang berdatangan berkerumun, tapi tetap tak ada yang melerai. Dunia sudah terbalik? Siapa menabrak, siapa ditabrak? Mengapa malah penabrak menganiaya yang ditabrak? Dan mengapa pula orang-orang hanya menonton tanpa berbuat apa pun? "Tentu saja kami tak berani. Dia polisi," kata Rahmat, seorang saksi mata. Dia, yang dimaksudkannya, adalah Riduan, 22, anak petani kaya dari seberang desa, dari Desa Glagaharum. Dan Riduan memang polisi, berpangkat serda. Baru tiga bulan Riduan menyelesaikan pendidikannya di Secaba, dan sekarang menjadi staf administrasi di Polres Surabaya Selatan. Di kampungnya Riduan memang biasa pamer diri sebagai jagoan. "Ia suka memamerkan pistol pada kawan-kawannya," tutur seorang penduduk yang mengenalnya. Minggu malam saat Cak Kartolo berpentas, Riduan pamer kekuatan lagi. Ia, dengan sepeda motornya, memboncengkan dua wanita sekaligus. Pada saat itulah, ia tanpa sengaja menabrak Soediono di keramaian. Kaget lantaran tertabrak, Soediono mengingatkan penabraknya agar tak terlalu kencang mengendarai motor di keramaian. Ditegur begitu, bukannya membuat Riduan minta maaf. Ia malah melotot, menantang, dan mengatakan: tunggu sebentar, sebelum pergi dengan kedua wanita tadi. Petani miskin itu bisa menangkap gelagat tak enak dari ancaman Riduan. Mak, ia pun mengayuh sepedanya lewat jalan yang tak biasanya dilaluinya untuk pulang. Tapi Riduan menemukannya. "Wong polisi kok kejam," kata Mbok Iyah. "Dulu muka suami saya tak sebundar ini," ucap Huriah, menunjuk muka Soediono yang sembab. "Saya yang ditabrak, dia yang salah, eee . . . kok malah saya yang dihukum," keluh Soediono, di pembaringannya. Akibat pemukulan memang tak ringan. Gigi saya mau copot rasanya," kata Soediono. "Jangankan untuk makan, untuk mendahak pun sakitnya bukan main." Ia, yang sempat pingsan ketika diangkut ke rumah saklt, menurut para perawatnya, memang patah rahang. Menurut atasan Riduan, Kapolres Surabaya Selatan, Letkol Hasan Latief, anak buahnya yang satu ini memang sering menyombong pada kawan-kawannya. "Sebagai polisi dia itu masih baru. Jadi, over acting," kata Hasan. Ia berjanji akan menindak Riduan, setelah berkas pemeriksaannya diserahkan oleh Polres Sidoarjo peristiwa itu berlangsung di daerah Sidoarjo. Seumpama Soediono yang salah jalan pun, tak ada hak bagi si penabrak main hakim sendiri. Apalagi bukankah polisi -- disebutkan sebagai nomor satu dalam Tri-Brata, pedoman hidup polisi -- "Abdi teladan daripada Negara"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini