Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kenapa KPK Menetapkan Hasto Kristiyanto Tersangka Sekarang?

Kasus suap anggota KPU, Wahyu Setiawan, mandek nyaris lima tahun. KPK akhirnya menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.

27 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto didampingi kuasa hukumnya, usai diperiksa sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Agustus 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka suap terhadap anggota KPU, Wahyu Setiawan.

  • Kasus ini mandek nyaris lima tahun setelah Harun Masiku, salah satu tersangka, kabur entah ke mana.

  • Hasto dianggap terlibat karena Harun Masiku adalah kader PDI Perjuangan.

PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2024-2029 yang baru menjabat beberapa hari langsung menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum periode 2017-2022, Wahyu Setiawan. Kasus yang berhubungan dengan buron Harun Masiku itu sudah mandek di KPK sejak 2020. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua KPK yang baru, Setyo Budiyanto, mengumumkan penetapan Hasto dan kader PDIP lain, Donny Tri Istiqomah, sebagai tersangka pada Rabu, 25 Desember 2024. Setyo menyatakan pihaknya sebenarnya sudah mengetahui keterlibatan Hasto sejak empat tahun lalu saat penyidik lembaga antirasuah menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu cs. Namun Hasto baru ditetapkan sebagai tersangka saat ini karena adanya alat bukti yang cukup. "Ini karena kecukupan alat buktinya. Kemudian ada kegiatan pemeriksaan, ada kegiatan penyitaan terhadap barang bukti elektronik," kata Setyo saat konferensi pers penetapan tersebut pada Rabu, 25 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat tahun lalu, tepatnya pada 8 Januari 2020, penyidik KPK menggelar OTT dan menangkap delapan orang. Dari delapan orang itu, tiga di antaranya Wahyu Setiawan; kader PDIP, Saeful Bahri; dan eks anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustina Tio Fridelina, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama Harun Masiku. OTT itu berhubungan dengan suap untuk memuluskan Harun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal.

PDIPmenginginkan Harun menjadi pengganti Nazarudin dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Padahal calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak kedua, di bawah Nazarudin, dalam Pemilihan Umum 2019 adalah Riezky Aprilia. Untuk menggeser posisi Riezky itulah kemudian Harun menyerahkan uang sebesar S$ 57.630 atau sekitar Rp 600 juta kepada Wahyu melalui Saeful dan Tio. 

KPK sebenarnya saat itu sudah mengincar Hasto, Harun, dan Donny. Menurut tulisan majalah Tempo berjudul “Di Bawah Lindungan Tirtayasa”, OTT tersebut bocor sehingga ketiganya lolos setelah drama penyanderaan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan. Harun Masiku pun masuk dalam daftar pencarian orang sejak 29 Januari 2020.

Setelah Harun Masiku melarikan diri, menurut Setyo, penyidik KPK terus melakukan penelusuran. Mereka memeriksa sejumlah orang serta menyita beberapa barang bukti elektronik. “Nah di situlah kami mendapatkan banyak bukti dan petunjuk yang menguatkan keyakinan penyidik, baru kemudian diputuskanlah terbit surat perintah penyidikan,” kata Setyo.

Hasil penyidikan KPK, kata Setyo, menemukan bukti Hasto mengatur dan mengendalikan proses penyerahan uang kepada Wahyu Setiawan melalui perantara. “Saudara HK mengatur dan mengendalikan saudara DTI untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada komisioner KPU, Wahyu Setiawan, melalui Tio,” kata Setyo. 

Tak hanya itu, Setyo menyatakan Hasto juga berperan dalam kaburnya Harun Masiku. Hasto memerintahkan Nur Hasan, penjaga kantornya, menelepon Harun dan memberitahukannya agar merendam telepon selulernya dalam air serta segera melarikan diri. Selain itu, Setyo menyatakan Hasto memerintahkan ajudannya, Kusnadi, menenggelamkan sebuah telepon seluler pada 6 Juni 2024, sebelum Hasto diperiksa KPK. Tujuannya agar telepon tersebut tidak ditemukan penyidik KPK. “Saudara HK juga mengumpulkan beberapa saksi perkara Harun Masiku dan mengarahkan agar saksi tidak memberikan keterangan yang sebenarnya,” ujarnya. 

Sumber Tempo di kalangan penegak hukum menyatakan penyidik KPK sebenarnya sudah akan menetapkan Hasto sebagai tersangka sebelum pergantian pimpinan pada 20 Desember 2024. Dalam gelar perkara pada 18 Desember 2024, penyidik sudah menyatakan memiliki alat bukti yang cukup untuk menjerat Hasto. Namun pimpinan periode sebelumnya tak setuju kasus ini naik ke tahap penyidikan. 

Setyo tak membantah ataupun mengiyakan informasi yang diterima Tempo tersebut. Hanya, dia menyatakan penetapan tersangka ini merupakan amanat dalam memori serah terima jabatan dari pimpinan periode sebelumnya. “Ini juga bagian isi dari memori serah terima yang kami terima dari pejabat lama. Jadi sebetulnya kami tinggal melanjutkan saja,” kata Setyo.

KPK pun menjerat Hasto dengan dua pasal, yakni perkara suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Untuk perkara suap, KPK menjerat Hasto dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara itu, kasus perintangan penyidikan Hasto dijerat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. KPK pun mencegah Hasto serta mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laolly, bepergian ke luar negeri sejak 24 Desember 2024.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan penyidik menetapkan Hasto sebagai tersangka setelah menyita telepon seluler saat pemeriksaan di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, pada Senin, 10 Juni 2024. Ponsel itu disita penyidik dari tangan Kusnadi. Selain menyita ponsel, agenda (catatan) milik Hasto menjadi alat bukti. Tessa menyatakan tak bisa membuka secara detail bukti yang dimiliki penyidik tersebut. “Belum bisa dibuka saat ini, akan dibuka di ruang yang sesuai, yaitu persidangan,” kata dia melalui pesan pendek pada Kamis, 26 Desember 2024.

Dalam sidang kasus tersebut pada April 2020, sejumlah bukti keterlibatan Hasto terkuak. Di antaranya bukti percakapan dengan Saeful Bahri yang membahas soal uang. Saeful saat itu mengaku melapor ke Hasto bahwa dia sudah menerima uang senilai Rp 850 juta dari Harun.

Dia menyatakan melaporkan hal itu karena pernah ditegur oleh Hasto setelah beberapa kali meminta uang kepada Harun untuk biaya operasional pemulusan pergantian tersebut. Sebagian uang itu kemudian diserahkan Saeful ke Wahyu Setiawan melalui Tio. Saat itu, Hasto mengaku tak ingat percakapannya tersebut dengan Saeful. Namun dia mengaku pernah menegur Saeful karena meminta uang kepada Harun. 

Soal penetapannya sebagai tersangka, Hasto akhirnya buka suara pada Kamis, 25 Desember 2024. Melalui video singkat, pria yang pernah menjadi anggota DPR periode 2004-2009 tersebut menyatakan siap menghadapi proses hukum yang berjalan di KPK. Dia pun menyatakan partainya menghormati keputusan KPK yang menetapkannya sebagai tersangka. “Setelah penetapan saya sebagai tersangka oleh KPK, sikap dari PDI Perjuangan adalah menghormati keputusan KPK,” kata Hasto. “Kami adalah warga negara yang taat hukum, PDI Perjuangan adalah partai yang menjunjung tinggi supremasi hukum.”

Peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengapresiasi langkah pimpinan baru KPK yang langsung menetapkan Hasto sebagai tersangka. Secara teknis hukum, Zaenur menyatakan KPK memang seharusnya tak ragu menetapkan seseorang sebagai tersangka jika memiliki alat bukti yang cukup. “Seseorang ditetapkan sebagai tersangka karena ada alat bukti. Itu satu-satunya jawaban yang berdasarkan hukum di luar itu bukan jawaban hukum,” kata Zaenur saat dihubungi pada Kamis, 26 Desember 2024.

Dia pun yakin KPK telah mengantongi alat bukti yang cukup untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka. “Keterangan saksi, ekstraksi komunikasi, dan barang-barang bukti berupa elektronik dan buku catatan sudah punya, dan dua tindak pidana itu masing-masing ada dua alat buktinya,” katanya.

Soal tersendatnya pengusutan perkara ini sejak 2020, Zaenur menilai telah terjadi penghalangan penyidikan. Dia tak menutup kemungkinan tindakan obstruction of justice ini juga dilakukan oleh pihak dari lingkup internal KPK. Karena itu, dia menilai KPK seharusnya mengusut tuntas pelaku obstruction of justice baik di lingkup internal mereka maupun di eksternal. 

Zaenur tak menampik kabar bahwa tersendatnya penanganan kasus ini membuat munculnya prasangka adanya faktor politik di balik itu. Untuk menghapus hal tersebut, menurut dia, solusinya adalah KPK segera mengajukan perkara ini ke pengadilan untuk disidangkan agar segera ada kepastian hukum. 

Peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, tak kaget atas penetapan Hasto sebagai tersangka KPK. Dia bahkan menilai Hasto sebenarnya sudah bisa ditetapkan sebagai tersangka sejak lama. “Justru yang menjadi persoalan sebenarnya adalah ada problem di KPK pada periode Firli Bahuri, 2019-2024. Kenapa Hasto justru dibiarkan begitu saja, termasuk Harun Masiku juga dibiarkan begitu saja tanpa ada proses pengusutan lebih lanjut,” kata pria yang akrab disapa Castro tersebut saat dihubungi Tempo pada Kamis, 26 Desember 2024.

Castro menilai kasus ini mandek cukup lama pada periode sebelumnya karena adanya aspek politik. Padahal nama pria kelahiran Yogyakarta 58 tahun lalu tersebut sudah disebut sejak awal. “KPK kemarin memang begitu banyak masalah dan tersandera persoalan politik,” ujarnya.

Harun Masiku. Facebook Harun Masiku

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pun menilai wajar penetapan Hasto sebagai tersangka. Pasalnya, menurut dia, berdasarkan fakta persidangan sebelumnya pun telah terlihat jelas peran Hasto dalam perkara ini. Perihal KPK yang baru menetapkan Hasto saat ini, Fickar menduga pimpinan baru punya kepentingan yang berbeda dengan pimpinan yang lama. Dia menjelaskan, pimpinan KPK yang duduk saat ini belum punya kepentingan apa pun dengan semua pihak, selain kepentingan memberantas korupsi.

Selain itu, dia menduga terjadi perbedaan persepsi soal alat bukti yang dianggap cukup dari dua periode pimpinan tersebut. Hal itu yang kemudian menyebabkan mereka memiliki sikap yang berbeda untuk menaikkan atau tidak perkara ini ke tahap penyidikan. “Namun kekuatan alat bukti yang dimiliki lembaga antirasuah ini akan dibuktikan dalam persidangan,” kata Fickar. 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menilai wajar pengusutan sebuah perkara membutuhkan waktu lama. Pasalnya, menurut dia, seorang penyidik harus yakin betul mereka memiliki dua alat bukti untuk menjerat seseorang sebagai tersangka. Akhiar menjelaskan, hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dia menjelaskan, alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 

Selain itu, dia menyatakan penetapan seseorang sebagai tersangka harus sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Ada kriteria orang harus dijadikan tersangka adalah karena orang itu diduga melakukan suatu tindak pidana. Ada dugaan orang itu melakukan suatu tindak pidana. Siapakah pelaku ini tadi? Pelaku itu diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita,” kata Akhiar saat dihubungi secara terpisah.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP, pelaku tindak pidana adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi janji atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Perihal penetapan tersangka terhadap Hasto Kristiyanto, Akhiar juga yakin KPK telah memenuhi dua persyaratan tersebut. 

Dia pun mengimbau KPK harus menangani perkara ini secara cepat dan transparan. KPK, menurut dia, harus membuka semua nama yang terlibat dalam perkara tersebut. “Pengusutan perkara ini harus dilakukan secepat mungkin. Jangan dibiarkan berlarut-larut karena akan memunculkan berbagai opini,” katanya.

Ade Ridwan Yandwiputra dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus