Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka. Hasto ditengarai sebagai pihak pemberi suap bersama-sama politikus PDIP yang kini jadi DPO Harun Masiku untuk mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto belum mengetahui perihal informasi penetapan tersangka tersebut. "Saya akan coba cek terlebih dahulu infonya, bila ada update akan disampaikan ke rekan-rekan jurnalis," kata Tessa dikonfirmasi Tempo, Selasa, 24 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto merespons singkat upaya konfirmasi yang dilakukan Tempo. "Sabar," kata Fitroh.
Menurut informasi yang diperoleh Tempo, penetapan Hasto sebagai tersangka dilakukan setelah pimpinan baru KPK serah-terima jabatan dengan pimpinan lama. Upaya tim Kedeputian Penindakan untuk menaikkan status Hasto sebagai tersangka sudah lama. Namun upaya itu kandas di tangan pimpinan KPK lama. Bahkan dalam gelar perkara pada 18 Desember 2024 lalu, pimpinan lama yang terdiri atas Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Johanis Tanak tidak setuju kasus yang menyeret Hasto naik ke penyidikan.
Tempo masih berupaya mengkonfirmasi kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, atas informasi tersebut. Namun belum direspons.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo yang berjudul “Di Bawah Lindungan Tirtayasa” pada Januari 2020, KPK pernah disebut akan menangkap Hasto terkait keterlibatan Politikus PDIP tersebut dalam kasus suap Harun Masiku. Namun, penangkapan itu batal meski KPK telah memiliki bukti-bukti yang cukup.
KPK diketahui akan menangkap Hasto yang tengah bersama Harun Masiku di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Sembari memantau keberadaan target, sejumlah penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka justru malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun gagal.
Bahkan, penyidik KPK gagal menggeledah kantor PDIP di Jalan Diponegoro, Nomor 58, Jakarta Pusat, pada Kamis, 9 Januari 2020 karena dihalang-halangi petugas keamanan partai. Di hari yang sama, KPK juga menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan dalam kasus suap serupa.
Menurut catatan Majalah Tempo berjudul “Jejak Hasto dan Puyer Kupu-Kupu”, pada hari ketika KPK akan menggeledah kantor PDIP dan melakukan Operasi Tangkap Tangan, keberadaan Hasto tiba-tiba tidak diketahui sejak pagi hingga sore.
Padahal, hari itu Hasto dijadwalkan memberikan keterangan kepada media pukul 12.30 WIB terkait persiapan Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan. Hingga waktu yang telah ditentukan, Hasto tak kunjung muncul. Tugasnya pun kemudian digantikan oleh Djarot Saiful Hidayat.
“Pak Hasto diare tadi katanya,” ucap Djarot ketika ditanya mengenai keberadaan Hasto.
Kepada Tempo, Hasto saat itu beralasan tidak bisa memberikan keterangan media karena sedang menunggu pengumuman KPK terkait dengan kasus Wahyu Setiawan yang menyeret Harun Masiku. “Biar komprehensif,” ujar dia. Hasto baru muncul pada pukul 17.00 WIB di kawasan Jakarta International Expo, Kemayoran. Dia datang dengan wajah sumringah sembari memegangi perutnya.
Sekjen PDIP itu mengatakan rumahnya kebanjiran sehingga dua mobilnnya ikut tenggelam. Akibat banjir ini juga, dia mengaku menderita diare. Namun, diare itu akhirnya sembuh setelah ia meminum obat tradisional. “Dengan puyer Cap Kupu-kupu ternyata sangat ampuh,” kata dia.
Adapun kasus suap yang menyeret nama Hasto tersebut terjadi pada November 2019. Ketika itu anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas, meninggal beberapa pekan sebelum pemilihan umum 2019.
Harun Masiku berminat untuk menggantikan posisi Nazarudin. Namun, keinginan itu terganjal oleh aturan. Demi duduk di parlemen, Harun Masiku diduga melakukan segala cara termasuk menyuap Wahyu Setiawan, yang saat itu menjadi Komisioner Komisi Pemilihan Umum.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020 disebutkan, uang suap kepada Wahyu Setiawan diberikan melalui Saeful Bahri yang disebut-sebut sebagai orang dekat Hasto Kristiyanto. Hasto lalu membantah kabar bahwa Saeful adalah salah satu anggota stafnya. Kendati demikian, setelah diperiksa KPK Saeful membenarkan bahwa sumber uang untuk menyuap Wahyu Setiawan itu berasal dari Hasto.“Iya, iya,” kata Saeful.
Baca Selengkapnya: Di Balik Gagalnya Operasi KPK Menangkap Hasto Kristiyanto
Pilihan Editor: Gatot Kaca dan Pandawa Lima di Era Pimpinan Baru KPK